Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Monday, December 29, 2008

Sajakku

sajakku sajak trotoar
temani kecoak di sehelai tikar
ogah ikutan hati terbakar
mending mojok makan kelakar



sajakku sajak jalanan
sajak campuran debu dan angan
sambil setia kais harapan
duduk di sudut nonton dagelan

Selengkapnya ...

Nyanyian Alam

Nyanyian alam tak pernah malas menyapa
Iramanya selalu sama
Tetap setia
Dari zaman ke zaman
Tak ada keluh kesah
Hanya kepatuhan
Ia lambang Kepasrahan
Kesabaran tanpa batas

Nyanyian alam tak pernah malas menyapa
Selalu menyertai
Dari generasi ke generasi
Menjadi saksi
Segala tingkah anak manusia
Yang nyata dan tersembunyi
Merekam, bahkan tiap dengus nafas
Betapa pun kita coba menghindar

Nyanyian alam tak pernah malas menyapa
Dari waktu ke waktu
Membawa kesejukan
Bagai oase di tengah padang gersang
Memadamkan api amarah yang membakar
Menentramkan jiwa yang dahaga

Nyanyian alam tak pernah malas menyapa
Syairnya adalah kejujuran
Apa adanya
Ia tak mengerti bagaimana berpura-pura
Ia tak bertopeng

Nyanyian alam tak pernah malas menyapa
Selalu menemani
Dari hari ke hari
Hanya mengenal kasih
Ia adalah cinta sejati
Tanpa kata-kata, mengajarkan ketulusan
Meski kita tak mampu atau tak mau mendengar
Ia tak surut
Tak pernah sakit hati

Nyanyian alam tak pernah malas menyapa
Dari detik ke detik
Bertutur tentang Tuhan
KuasaNya, KebesaranNya
CintaNya, KasihNya
Kelembutannya, Keagungan WajahNya
Ia adalah kalimatNya

Nyanyian alam tak pernah malas menyapa
Sampai dititahkan
Untuk tak lagi menyapa

Selengkapnya ...

Ada Dan Tiada

Ada Dan Tiada

Dari tiada
Menjadi ada
Terlalu dalam untuk diselami
Terlalu rumit untuk dimengerti
Gejolak batin anak manusia
Di antara Nikmat dan derita
Di antara suka dan duka
Di antara tawa dan air mata

Dari tiada
Menjadi ada
Terlalu dalam untuk diselami
Terlalu rumit untuk dimengerti
Permainan tak berujung pangkal
Menerpa dari segenap arah
Mengharu biru perasaan
Memutar balik akal pikiran

Dari tiada
Menjadi ada
Dan .. akan kembali tiada

Selengkapnya ...

Wednesday, December 24, 2008

Rengeng-Rengeng : Wajah Jalan Kita, Wajah Aparat Kita?

Akhir minggu kemarin dan hari ini, untuk ke sekian kalinya saya melintasi jalan raya Ngawi-Sragen pulang-balik dengan sepeda motor. Sebenarnya tidak ada yang istimewa, karena saya sudah berulangkali melintasi jalan itu baik dengan sepeda motor maupun menumpang bus AKAP jurusan Solo-Surabaya. Di samping itu, tiap hari entah berapa ribu orang melakukan hal yang sama dengan saya.

Yang terasa istimewa bagi saya, kondisi jalan khususnya di kawasan hutan antara Ngawi-Mantingan lubang-lubang serta lipatan gelombang jalan yang dulu "menghias" begitu banyak sekarang sudah hampir tidak ada lagi. Yang lebih terasa istimewa lagi, hilangnya "hiasan-hiasan" tersebut ternyata tidak terlepas dengan kecelakaan yang mengakibatkan tewasnya aktor senior Sophan Sophiaan di jalan itu.

Sebenarnya, beberapa hari setelah tewasnya Sophan Sophiaan saya tahu bahwa perbaikan jalan sudah mulai dilakukan, karena saya sempat melintasi jalan itu juga dengan sepeda motor. Namun karena saat itu perbaikan baru dimulai dan baru satu sisi, saya belum merasakan perubahan yang signifikan.

Jelas saya bersyukur dengan kondisi jalan yang sekarang, karena sebagai 'biker' yang menjadikan sepeda motor bukan alat transportasi semata, tapi juga hobi (damn, saya baru menyadari bahwa saya punya hobi nge-bike jarak jauh setelah kembali ke Jawa) setidaknya potensi sumber kecelakaan sudah berkurang satu.

Bagi orang yang sering melintasi jalan itu, terutama yang menggunakan sepeda motor pasti tahu persis bahwa selain harus ekstra waspada terhadap bus AKAP yang kerap bertingkah seolah jalan raya punya Embah-nya itu, kita juga harus berjibaku dengan jalanan yang penuh lubang dan gelombang. Belum lagi kondisi jalan yang sempit (apa pantas disebut jalan raya ya?) yang kalau mendahului kendaraan lain harus 'over-lap' ke jalur yang berlawanan arah.

Beberapa saat setelah sampai di tempat tujuan saya langsung surfing, mencari informasi tentang jalan raya tersebut. Hasilnya, saya cukup tercengang sekaligus prihatin dengan tersajinya data bahwa sejak Januari-Mei 2008 di situ telah terjadi 110 kecelakaan dan menewaskan 40 termasuk Sophan Sophiaan (http://www.lantas.jatim.polri.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=91&Itemid=1). Jadi, sebelum Sophan Sophiaan sudah ada 39 orang lainnya yang tewas di jalur yang sama.

Lantas, apakah nyawa ke 39 orang yang lain itu dianggap tidak berharga sehingga baru setelah Sophan Sophiaan yang jadi korban perbaikan baru cepat-cepat dilakukan?

Tentu saya tidak bermaksud mempersoalkan nama Sophan Sophiaan, karena secara pribadi saya menaruh respek terhadap almarhum baik sebagai aktor maupun politikus. Saya hanya sangat menyayangkan langkah perbaikan jalan diambil hanya setelah ada kejadian yang menjadi perbincangan dalam skala nasional, dan sangat mungkin tudingan serta tekanan-tekanan.

Puas dengan informasi jalan Ngawi-Solo, ingatan saya pindah ke berita beberapa hari yang lalu tentang tersangka baru kasus pembunuhan Munir. Meski beberapa kali dibantah, sulit dipungkiri bahwa tekanan terutama dari internasional cukup kuat berperan dalam pengungkapan kembali kasus Munir tersebut.

Mundur lagi, melihat kasus Monas tanggal 1 Juni, kemudian penyerbuan polisi ke kampus UNAS. Nampak cukup jelas bahwa seandainya tidak ada tekanan yang kuat, penanganan kasus sangat mungkin tidak akan dilakukan segera.

Sebenarnya saya sangat berharap bahwa contoh penanganan jalan Ngawi-Solo itu bukan tipikal aparat pemerintahan dalam menangani masalah. Sebenarnya saya sangat ingin meyakini bahwa "wajah" jalan Ngawi-Solo itu bukan "wajah" aparat kita. Namun saya harus jujur, bahwa saya gagal.

24 Juni 2008

Selengkapnya ...

Rengeng-rengeng : Sepakbola dan Kita

Ada yang mencibir, orang main sepakbola itu kurang kerjaan. Bola satu kok diperebutkan 22 orang. Apa tidak mampu beli bola sendiri-sendiri? Ada juga yang bilang, orang-orang yang mendukung tim A atau tim B sebenarnya orang-orang bodoh. Toh kalau tim yang didukung menang atau jadi juara, yang mendukung tidak mendapat apa-apa.

Harus saya akui yang dibilang itu memang betul. Jika saya menyatakan diri sebagai penggemar sepakbola, dan rela memelototi televisi tiap malam belakangan ini untuk sekedar nonton perhelatan Euro 2008, itu artinya saya dengan senang hati menggabungkan diri bersama jutaan orang-orang bodoh di seantero dunia. Artinya juga, saya rela menjadi bagian orang-orang kurang kerjaan, atau setidaknya doyan menonton orang-orang yang kurang kerjaan.

Saya juga sadar sepenuhnya, kecuali bagi sebagian orang yang dengan ketajaman naluri bisnisnya mampu memanfaatkan momen Euro 2008, pada umumnya apapun hasil yang telah, sedang dan akan terjadi dalam perhelatan itu tidak ada relevansinya secara langsung dengan hidup yang semakin tidak gampang di republik ini.

Jika Belanda menang misalnya, tidak serta merta harga barang yang telanjur melambung itu turun kembali. Jika Jerman kalah, dampaknya terhadap perbaikan ekonomi bangsa ini tidak akan terasa. Bahkan tidak juga saat wasit mempertontonkan ketegasannya dan keteguhannya dalam menghukum pemain atau satu tim, tidak lantas aparat penegak hukum di negeri ini menunjukkan ketegasan dan keteguhan yang sama.

Namun begitu, boleh dong saya mengemukakan alasan atau membela diri kenapa saya bisa dengan sadar dan rela bergabung ke dalam aktivitas yang bodoh, kurang kerjaan dan tidak punya relevansi dengan kesulitan hidup itu.

Pertama, saya memandang sepakbola bukanlah sekedar permainan tanpa makna. Sepakbola -seperti juga cabang olahraga yang lain- bagi saya adalah wujud nyata keberhasilan mengelola "nafsu syahwat". Harap jangan berpikiran ngeres dulu dengan istilah "nafsu syahwat", karena "nafsu syahwat" di sini lebih berarti pada keinginan atau dorongan untuk menunjukkan eksistensi maupun keunggulan, baik dalam skala individu, kelompok maupun bangsa.

Dapat dibayangkan, jika seandainya "nafsu syahwat" itu gagal diarahkan ke dalam wadah yang lebih manusiawi seperti sepakbola, dunia bakal tidak pernah sepi dari bentuk pelampiasan "nafsu syahwat" lainnya yang lebih mengerikan.

Terlepas dari kontroversi maupun dampak langsungnya bagi hidup kita, menyaksian kesebelasan Belanda bertanding habis-habisan melawan Italia, atau Kroasia yang "bertempur" di lapangan hijau melawan Jerman, jauh lebih menarik, lebih manusiawi dan lebih layak ditunggu ketimbang masing-masing negara menembakkan rudalnya ke negara lainnya.

Hidup akan terasa lebih indah dan nyaman jika penyerang-penyerang kesebelasan Amerika Serikat -yang di luar perhelatan Euro itu- membombardir gawang lawannya, ketimbang pesawat-pesawat tempurnya yang meluluh lantakkan Irak dan mencabut ribuan nyawa tak berdosa.

Atau kalau mau contoh yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari, menyaksikan suatu tim sepakbola mempertontonkan superioritasnya terhadap tim lain jauh lebih mampu memikat ketimbang menyaksikan kelompok seperti FPI -misalnya- menunjukkan kekuatannya pada kelompok lain.

Kedua, tentang sepakbola antar negara itu sendiri. Bagi saya pertandingan di level antar negara seperti di Euro 2008 selalu memiliki daya tarik lebih dibandingkan pertandingan antar klub. Karena meskipun tetap berperan, kekuatan uang bukan lagi menjadi unsur yang sangat dominan. Jika kesebelasan seperti Kroasia mampu menyingkirkan Inggris di babak kualifikasi dan mengalahkan Jerman di putaran final, sangat sulit mengharapkan Dinamo Zagreb mampu melakukan hal yang sama terhadap klub superkaya seperti MU, Chelse atau Bayern Muenchen.

Level antar negara ditentukan terutama bukan karena kekuatan finansial negara bersangkutan. Kekuatan kesebelasan suatu negara lebih ditentukan pada adanya tradisi yang kuat, yang memungkinkan lahirnya bakat-bakat hebat, serta kemampuannya mengelola bakat-bakat tersebut.

Jika kekuatan finansial jadi faktor paling dominan dalam membentuk kekuatan kesebelasan suatu negara, maka negara-negara seperti Brasil, Argentina dan negara-negara di benua Afrika tidak akan masuk hitungan.

Ketiga, seperti sering dilontarkan komentator-komentator di televisi, kita sebenarnya bisa mengambil pelajaran dari perhelatan seperti Euro itu. Bahwa pada kenyataannya kita selalu gagal dan gagal lagi dalam mengambil pelajaran, tidak ada salahnya jika kita juga terus mencoba dan mencoba lagi.

Selamat menikmati Euro 2008.

Selengkapnya ...

Monday, September 1, 2008

Paijo : Sunnatullah (3)

"Di dunia ini nggak ada yang tetap, kecuali perubahan itu sendiri," kata Paijo.

"Omongan kok mbulet ! Perubahan ya berubah, lha kok dibilang tetap !" bantah Blothonk.

"Ooo.. cah menyun ! Itu kan kayak nggak milih nomer 1 atau 2 atau 3, berarti juga satu pilihan tersendiri. Gitu aja dibilang mbulet !"

"Omongan sama wong gendeng emang susah. Nggak milih berarti satu pilihan ?"

"Iyalah. Milih untuk nggak milih, itu juga pilihan !"

"Iya deh .. emang Paijo itu nggak pernah mau kalah," komentar Blothonk. "Eiitt, tapi nanti dulu. Tadi kamu bilang nggak ada yang tetap. Emangnya kamu sekarang nggak laki-laki lagi, karena nggak tetap ?"

"Thonk .. Thonk .. " Paijo tersenyum. "Perubahan itu nggak cuman yang bisa dilihat doang, nggak cuman pada fisik doang."

"Ah, bisa-bisa kamu aja .. "

"Ini beneran ! secara fisik, dari sejak lahir sampai sekarang, ya jenis kelaminku tetap laki-laki, kayak dapurmu juga !" kata Paijo. "Tapi dari sisi batin, pemahamanku tentang kelaki-lakianku misalnya, atau tingkah lakuku sebagai makhluk berjenis kelamin laki-laki toh selalu berubah. Belum lagi kalo ngomong perubahan yang sifatnya biologis, yang nggak jelas kelihatan .."

"Perubahan emang udah jadi sunnatullah," Budi mulai nimbrung. "Tapi perubahan kan nggak selalu berarti perbaikan ?"

"Lha .. aku kan juga nggak bilang begitu !" kata Paijo. "Perubahan ada yang maju ada yang surut. Ada naik ada turun. Kalo objek yang diomongin jelas kayak benda, tekhnologi dan yang sejenisnya, gampang, karena parameternya juga jelas. Tapi kalo udah nyangkut manusia dengan segala macem rentetannya, udah nggak ada lagi parameter yang bisa dipake dengan pasti. Semuanya serba subyektif."

"Ya sih .. kalo udah nyangkut manusia, kita emang nggak bisa lagi pake pendekatan hitam-putih," komentar Budi. "Justru karena itulah kita nggak bisa langsung bilang orang yang berubah berarti juga maju, dan sebaliknya yang nggak mau berubah berarti kolot."

"Logika kayak gitu juga mesti dipake buat nggak nge-cap orang yang mau berubah sebagai nggak baik, durhaka, atau nggak tahu adat. Sebaliknya yang nggak mau berubah juga nggak lantas berarti baik," kata Paijo. "Aku pikir .. kalo udah ngomong soal manusia dengan segala problematikanya, kita mesti berangkat dari kesadaran soal subyektivitas pandangan kita. Namanya aja subyektif, berarti orang lain sangat mungkin punya pandangannya sendiri, juga dengan subyektivitasnya. Dan yang namanya subyektivitas nggak bisa dijadiin standar."

"Lha kalo begitu kan bubrah, Jo !" Blothonk memotong. "Kalo subyektivitas nggak bisa dijadiin standar, padahal semua orang itu punyanya hanya subyektivitas, berarti nggak ada donk yang bisa dijadiin standar ? Rak yo bubrah tho ?"

"Raimu !" semprot Paijo sambil nyengenges. "Yang aku omongin itu baru basic-nya, kesadaran yang mesti ada dalam diri kita. Selanjutnya tiap orang mesti merundingkan lagi subyektivitasnya masing-masing. Dicari jalan terbaiknya agar di antara berbagai macam subyektivitas, yang bisa jadi saling bertentangan atau malah menguatkan, ada sesuatu yang bisa dijadiin standar. Tapi kalo kesadaran itu nggak ada, yang bakal terjadi adalah pemaksaan satu jenis subyektivitas."

"Kalo udah gitu berarti bukan subyektivitas lagi Jo ?" tanya Blothonk.

"Tetap subyektivitas, tapi subyektivitas yang disepakati. Dan kesepakatan ini sangat punya peluang, bahkan harus diubah di kemudian hari jika ada kesepakatan baru lagi, dengan subyektivitas baru lagi, yang mungkin lebih baik lagi. Begitu dan begitu terus."

"Tapi orang kan berhak melontarkan idenya sampai dengan memperjuangkan ide subyektif-nya itu supaya dijadiin standar ?" tanya Budi.

"Jelas. Tapi juga mesti tahu konsekuensinya," jawab Paijo.

"Konsekuensi apaan Jo ?" gantian Blothonk tanya.

"Konsekuensinya, ide yang dilontarkan itu dikritik, digempur sana-sini. Kalau ide yang subyektif nggak mau dikritik, keberatan digempur orang lain yang juga punya subyektivitasnya sendiri, itu namanya fasis," jawab Paijo.

"Lha kan malah bisa berantem, Jo !" kata Blothonk.

"Lho kan berantem nggak selamanya jelek Thonk !" kata Paijo. "Tinggal dipilah-pilah aja, mana yang bisa dibikin 'berantem', dan mana yang nggak. Juga gimana caranya berantem ? di situ masalahnya. Kalo kita bisa mewadahi 'berantem' dengan bener, maka berantem justru hasilnya bakal bagus."

"Lha, kalo sebaliknya ?"

"Harus dibiasakan. Mesti dilatih terus mewadahi berantem secara sehat. Kita tidak mungkin selamanya menghindar dari kemungkinan berantem, karena ketika satu ide dilontarkan ke publik, maka sudah ada ide lain, yang barangkali bertentangan, yang menunggu. Kita nggak mungkin terus-terusan berlindung dibalik ungkapan yang indah-indah, sekedar menyembunyikan ide kita dari kemungkinan dikritik orang. Arus listrik negatif dengan positif, kalo ketemunya lewat wadah yang bener, kayak bolahm, malah jadi nerangin. Tapi kalo asal ketemu aja, ya ludes satu rumah."

"Sunnatullah lagi ya Jo ?" komentar Budi sambil tersenyum. "Berarti kalo nggak dilempar ke publik, nggak perlu berantem kan ?"

"Ya ! jadi kalo nggak mau dikritik, masuk kamar , ngomong di depan cermin sampai gempor .. pasti nggak ada yg ngritik, asal nggak ngganggu orang tidur aja," Paijo mulai kumat cengar-cengirnya.

"Jo, tapi kalo berantem terus .. gimana, apa nggak abis energi buat berantem doang ?" tanya Blothonk.

"Itu kan kalo kita nggak bisa milah-milah. Kapan saat berantem, kapan nggak. Mana yang bisa diberantem-in mana yang nggak. Berantem secara sehat kan berarti nyari jalan yang bakalan dipake landasan kerja selanjutnya. Selama itu kan udah ada landasan yang udah disepakati. Jadi, dua-duanya tetep jalan. Kan bisa juga bagi tugas ?"

14 Januari 2003

Selengkapnya ...

Paijo : Sunnatullah (2)

Blothonk diam-diam ternyata masih menyimpan rasa kesal pada Paijo. Meski tidak ditampakkan dengan mengajak Paijo berantem, tapi itu terlihat dari wajahnya yang masih saja cemberut. Saat Rakhmat sudah di rumah, ditanyakannya lagi soal sunnatullah itu.

"Lho, kan tadi udah dijelasin sama Paijo Thonk. Apa masih kurang ?" Budi langsung menyambar.

"Walah, nanya sama orang sableng. Bukannya jelas, tapi malah kesel dikata-katain. Yang maunya disuapin lah, yang nggak mau mikir lah ! Emangnya cuman dia sendiri yang pinter ?" mulut Blothong plethat-plethot sambil melirik Paijo yang asyik main game.

"Ee.. masih dendam tho ?" kata Budi. "Yah, kamu 'kali baru beberapa bulan kenal Paijo. Lha, aku ini yang udah dua tahun lebih ngumpul sama anak itu, tahu betul tabiatnya."

"Tabiat apa ? ngata-ngatain orang ?" Blothonk masih cemberut.

"Dulupun waktu awal kenal sama si sableng itu, sebelnya bukan main. Tapi lama-lama aku paham juga apa maunya anak itu," jawab Budi.

"Maunya apaan ? dia ngerasa puas kalau udah ngata-ngatain orang ?"

"Thonk .. memotivasi orang itu ada dua cara. Yang satu didorong-dorong, dipuji, disanjung-sanjung."

"Lha, satunya lagi ?" Blothonk langsung memotong sebelum Budi selesai.

"Di Enyek !" Rakhmat yang nyahut.

"Kok bisa ?" Blothonk masih penasaran.

"Lha itukan bisa dicari pake sunnatullah lagi. Orang dienyek itu akibatnya apa ?" kali ini Budi yang gantian tanya.

"Ya tersinggung, marah, ngamuk .. " jawab Blothonk.

"Kenapa tersinggung, kenapa ngamuk ?" lanjut Budi.

"Ya jelas tersinggung dong .. lha wong harga dirinya direndahkan .. "

"Nah itu .. kamu sudah ketemu jawaban awalnya," kata Budi sambil tersenyum. "Apa kalau sudah begitu kamu cuman mau berhenti di tersinggung dan ngamuk doang, atau mau nglanjutin ke yang lain ? Di situlah kualitas mental kamu bisa kelihatan."

"Nglanjutin kayak gimana ?"

"Ya .. nglanjutin dengan mbuktiin apa yang dibilang Paijo bahwa kamu maunya disuapin, nggak mau mikir, itu nggak bener. Itulah sebabnya kalau di-enyek orangpun bisa dijadiin motivasi."

"Jadi ?"

"Jadi, Paijo itu sedang njadiin dirinya sparring partner buat kamu. Kalo seringnya kamu di-enyek itu maunya biar kamu bisa mengubah kebiasaan kamu, biar kamu juga bisa maju !" papar Budi.

"Tapi kan, salah-salah ngenyek orang malah cuman bikin ribut ?" Blothonk coba membantah.

"Itu sih cuman soal kebiasaan aja. Orang yang biasanya disanjung-sanjung dan nggak pernah di-enyek, kalau di-enyek ya .. malah jadi ribut," jawab Budi. "Tapi kalau tahu manfaatnya di-enyek, bisa jadi nanti malah marak berdiri klinik khusus therapy perngenyekan .. ha..ha..."

"Dan yang jadi dokternya si sableng. Nanti nulis namanya jadi dr. Paijo SPNG," Blothonk menimpali.

"SPNG apaan ?" tanya Rakhmat.

"Spesialis Ngenyek ha..ha.."

"Tapi kayaknya Paijo juga nggak sembarang ngenyek kok. Aku belum pernah dia ngenyek orang yang belum dia kenal betul, kecuali sekedar ngetes saja," kata Budi. "Lha kalau aku sama Rakhmat ini dari dulu udah kenyang dienyek terus. Cuman sekarang udah jarang. Tinggal ngenyek kamu yang masih sering."

"Nah, berarti itu sentimen sama aku .. "

"Bukan. Yang betul, dia peduli sama kamu," kata Budi.

"Betul gitu Jo ?" Paijo tidak menyahut. "Betul kayak gitu Jo ?" tanya Blothonk lagi lebih keras.

"Embuh ! opone sing betul ? wong aku ora ngerti opo-opo .. " kata Paijo.

"Raimu ! pura-pura nggak denger .. " semprot Blothonk.

"Lha wong lagi enak main game. Emangnya ndengerin omongan kalian hukumnya wajib apa ?" kata Paijo dengan gaya seenaknya.

"Woo .. dasar cah sableng !" Blothonk mulai sengit. "Soal mikir itu ?"

"Mikir opo-an ? Mikir utang ? mikir bojo ? mikir gawean ? mikir negara ? Atau mikir yang buat najemin gergaji itu ?"

"Lhaa .. itu mah kikir !" meski masih nampak kesal, tak urung Blothonk tersenyum juga.

"Yang jelas donk mikir apaan ? Lha wong kalau mikir utang .. utang itu nggak usah dipikir, tinggal dilunasi aja. Mikir bojo, wong belum punya bojo. Mikir negara .. lha wong udah ada yang mikir .."

"Itu lho soal mikir sama sunnatullah .. " kata Blothonk gemes.

"Oooo itu .. ," Paijo tersenyum. "Yang aku tahu soal mikir sama sunnatullah sih .. kayak gini .. misalnya kalau kamu nggak pernah olahraga dari kecil, terus tiba-tiba harus lari ngelilingi lapangan bola 50 kali, kamu bisa langsung opname. Lain halnya kalau rutin latihan terus sedikit-sedikit secara bertahap. Mikir pun juga kayak gitu .."

"Tapi .. " Blothonk coba menyela.

"Otak kalau nggak terbiasa dilatih mikir akibatnya jadi telmi. Makanya biar nggak telmi, rajin-rajinlah latihan olah pikir. Kalo pengin jelas syaraf-syaraf atau zat-zat apa di dalam otak yang nggak bisa fungsi optimal kalo jarang dipake, cari aja bukunya. Banyak kok."

"Tapi Jo .."

"Tapi apa ?"

"Tapi .. nggak nyambung Jo ! bukan itu yang kumaksud," kata Blothonk.

"Salah sendiri ! Dibilang nggak denger dari tadi .. maksa aja," Paijo menggerutu. "Giliran nggak nyambung, diprotes. Piye tho ?"

"Kirain tadi pura-pura nggak denger .. " kata Blothonk. "Udahlah .. sekarang udah ada Rakhmat, 'kali kita bisa omongin lagi lebih serius."

"Ntar aja deh .. " Rakhmat mengelak. "Aku mau makan dulu. Laper !"

9 Januari 2003

Selengkapnya ...

Paijo : Sunnatullah (1)

"Contohnya, kalau kutonjok hidungmu, terus syaraf di hidungmu ngirim pesan ke otak. Terus otak kamu merespon rasa sakit. Terus otak ngirim pesan lagi ke sekitar mulut, menggerakkan syaraf-syaraf di sana, termasuk mengaktifkan pita suara. Terus dari mulut kamu terdengar teriakan : WADUUUUHHH ! Nah, itulah sunnatullah .. " jelas Paijo sambil cengar-cengir waktu ditanya Blothonk tentang sunnatullah. "Mau dicoba ? he..he.. ?"

"Raimu. Nyari contoh nyengsarain temen. Dasar !" jawab Blothonk sengit.

"Lho .. katanya pengin jawaban yang jelas. Nah itu tak kasih contoh, sekalian prakteknya kalau mau ha..ha..ha.. " Paijo cekakakan.

"Contoh ya contoh. Emangnya nggak ada yang lain ? .. " kata Blothonk sambil mulutnya plethat-plethot.

"Oh, mau yang lain ? Ada kok. Kalau nggak mau hidung, ya jidatmu saja yang kutonjok. Gimana ? ha..ha..ha.."

"Dasar wong edan !" Wusss .. bantal pun melayang ke arah Paijo yang agak gelagapan menangkis sambil tidak berhenti terkekeh-kekeh.

"Heh, anak dua ini .. bikin ribut aja !" gerutu Budi yang sedang asyik dengan diktat kuliahnya.

"Tuh .. si Paijo yang mulai .. " Blothonk coba membela diri.

"Lagi ngributin apa sih ?" tanya Budi.

"Itu .. si Blothong nggak mau ditonjok hidungnya. Penginnya jidatnya aja yang ditonjok he..he.. " Paijo masih cengengesan.

"Gundulmu ! lha wong ditanya soal sunnatullah, kok malah nyebut-nyebut nonjok hidung .. "

"Lho .. kan contohnya pas .. " Paijo membela diri.

"Wis .. wis .. kok malah berantem lagi," Budi coba menengahi saat melihat Blothonk hampir melontarkan balasannya. "Ngomong soal sunnatullah aja dibikin ribut."

"Bukan soal sunnatullah-nya .. tapi contohnya itu yang bikin sesek," Blothong masih manyun.

"Lha salah sendiri nanya ke aku. Ya suka-sukaku dong milih contohnya," Paijo tidak mau kalah sambil terus cengar-cengir. "Apa mesti muter-muter dulu, ngomong ngalor-ngidul, tapi giliran masuk ke isi malah kosong melompong ?"

"Thonk .. sunnatullah itu sering diterjemahkan jadi hukum alam. Ada sebab ada akibat, ada stimulus ada respon, ada aksi ada reaksi. Begitu kurang lebihnya," Budi mengambil alih agar dua temannya itu tidak ribut lagi.

"Sunnatullah itu pangkal dari segala pangkal ilmu. Kalau paham sunnatullah, maka itu bisa dipake di ilmu apa saja, meskipun tentu beda-beda tingkat kesulitannya. Ada yang simple, ada yang rumit. Ada yang bahasannya melebar, ada yang menyempit. Tergantung objeknya apa dan perangkat apa yang dipake," Paijo menambahi. Kali ini dengan mimik serius.

"Bisa dipake di mana-mana ?" Blothonk bertanya dengan nada heran.

"Ya. Kalau pengin tahu kenapa air sekian, dicampur teh segini, dicampur lagi gula segitu rasanya jadi manis, itu bisa dicari dengan sunnatullah. Kalau kamu sering nggumun kenapa Ronaldo yang kerjanya cuman main bola, kok gajinya lebih dari cukup buat ngidupi orang satu RT kita, itu juga bisa ditelusuri melalui sunnatullah tadi," Paijo menjelaskan. "Juga kalau pengin tahu kenapa Britney Spears, yang suka bikin jakunmu naik turun itu, penghasilannya puluhan bahkan ratusan kali lipat orang yang kerjanya banting tulang tiap hari, itupun bisa diurai satu persatu dengan sunnatullah tadi."

"Jo .. kamu nggak lagi mabuk kan ?" Blothonk masih diliputi rasa heran.

"Paijo itu ngomong serius Thonk .. " sela Budi.

"Eeee .. Budi ternyata ikut ndengerin tho ? kirain serius bacanya," kata Blothonk.

"Bacanya ya serius. Tapi karena denger omongan si sableng itu, mau nggak mau agak terusik juga," jawab Budi. "Jo, tadi sempet nyinggung gajinya Ronaldo sama Britney Spears. Itu hukum supply-demand kan ?"

"Betul. Nah, kalau mau dilanjutin lagi kenapa demand terhadap Ronaldo atau Britney Spears begitu tinggi, itu bisa ditelusuri lebih jauh lagi masih dengan sunnatullah. Mencari mata rantai sebab-akibatnya."

"Maksud-e piye Jo ?" giliran Blothonk tanya.

"Maksudnya .. bahwa demand yang nempatin orang kayak Ronaldo atau Britney Spears pada posisi begitu tinggi itu, bukan sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Kayak model sim-salabim. Tapi ada proses di sana, yang bisa sangat panjang, yang punya sebab-akibat tersendiri," jawab Paijo. "Dan sangat mungkin mata rantai sebab-akibat itu bukan lempeng satu jalur saja, tapi bercabang-cabang dan beranting-ranting."

"Jelasnya gimana Jo ?" tanya Blothonk lagi.

"Minta disuapin mlulu ! Sesekali mikir sendiri napa sih ?"

"Sombong amat !"

"Bukan sombong. Kan udah dikasih modalnya, tinggal nglanjutin sendiri," jawab Paijo. "Kalau anak muda semua kayak kamu yang maunya disuapin terus, kayak apa masa depan Indonesia dan Islam nanti."

"Yang jelas, nggak ada yang gondrong kayak kamu he..he.. !" balas Blothonk sambil nyengenges.

"Hubungannya dengan sosiologi .. atau antropologi ?" tanya Budi.

"Nggak tahu pasti. Lha wong aku nggak pernah secara formal belajar sosiologi, antropologi maupun logi-logi yang lain," jawab Paijo. "Aku hanya tertarik nekunin apa itu sunnatullah. Jika dari situ kemudian aku masuk ke wilayah satu disiplin ilmu, jujur saja, aku nggak sengaja. Yang aku tahu, sunnatullah itu bisa merekatkan berbagai disiplin ilmu yang mestinya nggak terpisah, tapi sambung menyambung. Belajar satu disiplin ilmu, sangat membuka peluang menyeret
kita pada disiplin ilmu yang lain."

"Itukah maksudmu bahwa sunnatullah itu bisa dipake di mana-mana ?" tanya Budi lagi.

"Ya. Sunnatulah kayak pisau analisis yang bisa dipake mbahas soal apapun. Kalau pengin ngerti kenapa orang minang suka makanan pedas. Atau kenapa orang Jawa paling terkenal santai dan seolah sangat menikmati hidup. Kenapa juga orang Jepang, yang jalannya kayak dikejar setan dan makannya main jejel ke mulut itu, terkenal sebagai bangsa pekerja keras ? Apa itu sesuatu yang tiba-tiba, atau sangat dipengaruhi kondisi alam, misalnya."

"Manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal. Hmmm .. apa sunnatullah juga mesti dipake buat memahami ayat itu ?" gumam Budi.

"Ya. Sunnatullah itu wahyu non verbal. Kata kyai, ayat kauniyah. Sunnatullah itu bukan hanya di fenomena alam, tapi juga fenomena sosial dan di mana-mana. Kalau dikaitkan dengan konsep 'mizan', maka akan ditemukan di mana posisi satu bangsa, lengkap dengan budayanya, di tengah percaturan berbagai bangsa. Di mana posisi satu makhluk dalam satu ekosistem. Apa akibatnya terhadap 'mizan', jika ada yang dihapuskan, baik akibat langsung maupun rentetan-rentetannya?"


8 Januari 2003

Selengkapnya ...

Paijo : Tahun Baru A la Paijo

Blothonk uring-uringan tidak karuan. Paijo yang diharapkan mau diajaknya puter-puter dengan motor bututnya, malah nggelosor tidur pulas di dipan pada malam tahun baru itu. Lebih menjengkelkan lagi, gaya tidurnya sama sekali tidak enak dilihat. Tidur tengkurap dengan pakaian masih lengkap, kepala miring ke kanan, bibir monyong tertekan pipi yang nempel ke bantal. Kaki kiri menjuntai ke lantai, dan kedua tangan ikutan tengkurap dengan telapak tangan sedikit di atas pinggang. Persis penjahat yang diringkus polisi seperti di filem-filem Holywood. Gaya tidur Paijo seperti pelecehan habis-habisan terhadap nilai estetika, itu tentu jika tidur juga mesti dinilai estetis atau tidak.

"Jo .. bangun Jo. Ayo jalan-jalan !" Blothonk coba membangunkan Paijo dengan mengguncang-guncang lengannya. Tapi yang dibangunkan tidak memperlihatkan reaksi apapun.

"Udahlah Thonk, orang tidur pulas kayak gitu nggak usah diganggu," kata Rakhmat yang berdiri di depan pintu.

"Enak aja. Dia udah janji mau jalan-jalan. Nggak bisa seenaknya ninggal tidur !"

"Kali aja dia capek. Kalo nggak mau ditinggal, ya sono kamu ikutan tidur !" kata Rakhmat.

"Thonk, lihat tuh mulut Paijo. Monyong amat !" Budi yang sudah siap lengkap dengan sepatu dan jaket ikut nimbrung.

"Iya .. ha .. ha .. ha .. ," Blothonk terbahak. "Kalau ada kamera, mau aku potret terus tak tempelin ke dinding, biar dia nggak bisa kemethak lagi."

"Kali dia ngimpi jadi Freddy Mercuri lagi nyanyiin 'I want to break free'," sambung Budi. "Mulutnya dimonyong-monyongin biar kayak si Freddy."

"He..he.. iya juga. Sore tadi Paijo nyanyi lagu itu terus," Blothonk menimpali. "Cuman ada yang aneh."

"Apanya yang aneh ?" tanya Budi.

"Bait keduanya selalu dilewatin. Abis bait satu langsung loncat ke refrain kalo nggak balek lagi ke awal," jelas Blothonk.

"Dia lupa kali Thonk .. " Rakhmat coba menetralisir 'kecurigaan' Blothonk.

"Lha, itu kan lagu favorit Paijo waktu sekolah dulu. Lagian lagunya belakangan sering dia puter lagi pakai walk-mannya itu. Aku pernah minjem kok."

"Ya udah. Kayak gitu aja kamu gede-gedein. Kali dia emang nggak mau nyanyiin bait kedua itu," kata Rakhmat lagi.

"Iya, tapi kenapa ?" Blothonk masih belum puas.

"Biarin lah Thonk. Biar itu jadi urusannya Paijo. Toh kita nggak bayar waktu dia nyanyi, jadi ya suka-suka dia," sela Budi. "Eh, Thonk kira-kira dia lagi ngimpi apa ya ?"

"Ngimpi ditangkep Hansip kali ha..ha..," kata Blothonk sambil cekakakan.

"Husy .. bukan ! Ngimpi ditabok bidadari sampai bibirnya monyong !"

"Ee.. enak aja ditabok bidadari. Cewek-cewek sini aja nggak ada yg mau sama dia, apalagi bidadari," bantah Blothonk.

"Kamu sentimen amat sih sama Paijo ? Mentang-mentang cuman dia sendiri yang nggak punya pacar."

"Salah sendiri nggak mau nyari pacar. Suka pilih-pilih sih. Mau nyari yang kayak bidadari ?" Blothonk masih ngeyel.

"Jangan-jangan dia pernah patah hati Thonk !" kata Budi. "Soalnya si sableng itu tergolong cukup supel bergaul sama cewek."

"Ya.. nggak tahu ya ! makhluk satu ini super tertutup soal yang satu ini," sahut Blothonk. "Eeiit , apa ya kira-kira hubungannya sama bait yang hilang itu ?"

"Hey, udah-udah. Nggak baik ngrasani orang lagi tidur. Kalo sempet dia denger bisa repot," Rakhmat coba menyetop kedua temannya.

"Kalo itu sih .. nggak mengkhawatirkan. Paling dia nyengenges kalo denger," Blothonk tidak mau kalah.

"Lha yang mengkhawatirkan apa Thonk ?" tanya Budi.

"Yang mengkhawatirkan kalo dia tiba-tiba kentut. Dampak sosialnya yang nggak tahan. Posisi tidurnya itu lho yang rada gawat ha..ha..ha..," Blothonk cekakakan lagi.

"Dasar wong ngeyel ! Udah bangunin aja dia," Rakhmat akhirnya menyerah.

Serasa mendapat mandat dari komandan, Blothonk langsung bergegas membangunkan Paijo. Diguncang-guncangnya lagi lengan Paijo. Belum bangun. Dicobanya lebih keras, tetap tidak bangun juga. Dijewernya kuping Paijo, malah anak itu menggumam sambil membalikkan posisi kepalanya. Tidak ada tanda-tanda terbangun. Karena jengkel, dipencetnya hidung Paijo dan mulutnya ditutup dengan bantal. Paijo yang tidak bisa bernafas terbangun sambil gelagapan.

"Heh, ada apa sih, ngganggu orang tidur aja !" Paijo geram sambil menahan kantuk.

"Ayo jalan-jalan. Malem tahun baru nih," kata Blothonk.

"Males ah, ngantuk !"

"Males .. males .. ! Kan udah janji," Blothonk coba memaksa.

Merasa disodok dengan kata 'janji', Paijo memaksa diri bangun dan duduk dengan kepala masih bergoyang-goyang menahan kantuk.

"Jam berapa sekarang ?" tanya Paijo setengah menggumam sambil mata merem separuh.

"Jam setengah dua belas," jawab Budi.

"Emang kenapa sih kalau jalan-jalannya dibatalkan ?" Paijo masih coba menawar.

"Ini malem tahun baru Jo. Besuk udah ganti tahun !" Blothonk mulai kesal.

"Kalau ganti tahun kenapa, bulannya masih dua belas kan ?" tanya Paijo seenaknya.

"Raimu !" Blothonk benar-benar kesal. "Ini kesempatan buat jalan-jalan. Dan nanti kita bisa nyari tempat buat merenung."

"Tahun baru itu siklus alam yang diwakili oleh waktu. Tidur itu siklus alam yang diwakili tubuh," gumam Paijo seolah tanpa dosa. "Siklus waktu jadi penting dan diritualkan, berarti siklus tubuh juga penting dan pantas diritualkan."

"Nggak usah bertele-tele. Kalau nggak mau ya udah, sini mana kunci motornya biar
aku yang pakai," Blothonk habis kesabarannya.

"Daripada ribut, udah gini aja !" Budi tiba-tiba sudah memegang gayung berisi air di tangannya. Diambilnya air dengan tangan lantas diusapkan ke muka dan rambut Paijo.

Paijo nyengenges. Masih terlihat menahan rasa kantuk. Diambilnya rokok sebatang, terus disulut untuk membantu melawan rasa kantuk.

"Oke guys. Karena udah ada yang nyuciin mukaku, jadi nggak perlu cuci muka lagi. Ayo berangkat," Paijo beranjak dari dipan.

Sambil menuntun motor keluar dari halaman, Paijo bernyanyi-nyanyi kecil. Dan lagunya masih sama dengan yang diributkan Blothonk : I Want To Break Free.

"I want to break free
I want to break free
I want to break free from your lies
You're so self satisfied I don't need You
I want to break free
God knows, God knows I want to break free

I've fal ... !" Paijo tiba-tiba berhenti.

"Kok brenti Jo ? Di bait itu lagi brentinya."

"Ngrokok dulu !" Paijo mengulum batang rokok sambil nyengenges.

31 Desember 2002

Selengkapnya ...

Paijo : Tuhan Yang Malang

Dunia persilatan boleh panas akibat 'kenakalan' Ulil, seorang pendekar muda dari padepokan NU yang sekarang memegang bendera Jaringan Islam Liberal. Para pendekar dan pemerhati dunia persilatan boleh 'ketar-ketir' dan geram dengan fatwa mati Al-Mukarram KH Athian Ali, tapi Paijo dan teman-teman kosnya tetap saja adem ayem. Bukan karena anak-anak itu tidak lagi punya kepedulian pada apa yang terjadi dalam ruang lingkup kecil maupun nasional. Namun karena fenomena seperti Ulil dengan jurus 'mbelingnya' serta Athian yang mewakili kemarahan kaum mapan yang ingin melanggengkan kemapanannya sudah lama jadi bahan obrolan anak-anak itu. Juga bukan karena menganggap remeh fatwa mati, yang bisa dikategorikan ke dalam 'hate speech' dan selanjutnya bisa diperdebatkan lagi apakah 'hate speech' itu bisa dimasukkan ke dalam 'hate crime' atau tidak. Namun justru fatwa mati itu merupakan 'blunder' yang menyisakan lubang besar yang akan jadi kuburan buat pemikiran Islam ala Athian, serta membantu membebaskan kaum liberalis dari keterpojokan secara teologis di mana-mana. 'Kenakalan' Ulil juga bukanlah sesuatu yang baru bagi mereka, karena fenomena seperti itu sudah jamak ditemui dalam sejarah Islam yang awal, serta akan berulang dan terus berulang.

Namun toh Paijo dan kawan-kawan tidak bisa selamanya bebas dari topik itu. Waktu istirahat di sela-sela kerja bakti hari Minggu pagi, mau tidak mau Paijo harus melayani temannya seorang aktivis masjid yang mengeluhkan pemikiran model Ulil sebagai membahayakan Islam.

"Mas percaya Islam itu agama dari Allah ?" tanya Paijo.

"Sampeyan ini aneh-aneh saja. Ya tentu saja percaya."

"Mas juga percaya kalau Allah itu maha besar, maha kuasa, maha segala ?"

"Kok nanya kayak gitu lagi sih ?! Tentu saja percaya !" jawab teman Paijo itu dengan agak gusar.

"Kalau percaya, kenapa Mas risau dengan ulah Ulil. Apa seorang Ulil itu bisa menghancurkan Islam yang Mas percayai dari Allah itu, seperti yang dituduhkan oleh sebagian orang sampai mengeluarkan fatwa mati segala ? Apa nggak kepikir, jangan-jangan kerisauan Mas dan kemarahan orang-orang itu yang sebenarnya menghina Allah ?"

Teman Paijo itu agak tersentak, seperti tidak menyangka bakal dapat pukulan 'straight' yang membuatnya limbung. Anak-anak muda lainnya yang semula pada asyik ngobrol bikin kelompok sendiri-sendiri mendadak juga ikut tertarik mendengar suara Paijo yang agak meninggi.

"Tapi kan penafsiran model Ulil itu bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya ?" tanya teman Paijo setelah bisa menguasai dirinya kembali.

"Mas saya nanya ya ?" kata Paijo sambil tersenyum. "Tuhan itu ada berapa Mas ?"

"Tuhan ya satu," jawabnya sambil menebak-nebak jurus Paijo selanjutnya.

"Teman-teman, benar Tuhan itu satu ?" Paijo mendadak mengalihkan pertanyaan pada teman-temannya yang duduk di dekat-dekat situ, dan semuanya membenarkan.

"Kalau memang benar Tuhan itu satu, coba tolong jelaskan Tuhan menurut teman-teman semua. Silakan, mulai dari sampeyan," Paijo meniru jurus Nashrudin Hoja.

Seperti terkena sihir, anak-anak itu mau saja mengikuti instruksi Paijo. Setelah empat orang selesai menggambarkan Tuhannya masing-masing, Paijo menghentikannya.

"Sudah, cukup empat orang saja !" Paijo mulai keluar penyakit cengar-cengirnya. "Gimana nih, katanya Tuhan itu satu, tapi kok empat orang saja nggak ada yang sama menggambarkan Tuhan?"

"Tuhan itu ya tetep satu. Meski digambarkan berbeda-beda oleh empat orang, Tuhan bukan lantas berarti empat, karena nggak semua orang bener menggambarkan Tuhan !" kata si aktivis masjid.

"Oke .. sekarang saya nanya lagi ke Mas-Mas yang tadi menggambarkan Tuhan. Menurut Mas-Mas Tuhan yang sampeyan gambarkan itu bener atau nggak ?" Yang ditanya menganggukkan kepala semua.

"Nah, sekarang semua merasa benar dengan Tuhannya masing-masing. Terus gimana, Tuhan yang bener yang mana, atau jangan-jangan memang Tuhan itu tidak satu ?" tanya Paijo sambil belum hilang cengar-cengirnya.

"Wah, bahaya itu Mas. Bisa kafir itu ! Allah kan sudah jelas dalam Quran dan hadits !" bantah si aktivis masjid.

"Betul. Tapi bukankah yang membaca Quran itu juga banyak orang, dan hasilnya pun bisa berbeda-beda ? jadi gimana dong ?"

"Berarti cara membacanya yang nggak bener !"

"Terus untuk memastikan cara yang bener itu gimana ? apa kita bisa nanya ke Allah langsung, atau paling tidak ke Nabi ?" tanya Paijo lagi.

"Ya nggak bisa. Jangan mengada-ada ah !"

"Bukan mengada-ada Mas, ini pertanyaan prinsipil. Jika kita memang tidak bisa memastikan cara baca yang bener, ya .. buat apa kita bersitegang, mengutuk sampai mengancam mati segala?"

"Ulil itu membaca Mas. Athian juga, kyai ini, kyai itu, saya, sampeyan, semuanya hanya membaca. Dan jika dari proses membaca kita masing-masing hasilnya nggak ada yang sama, ya biarkan saja, lha wong kita nggak dapet bisikan langsung dari Allah bahwa hasil baca kita yang paling bener," lanjut Paijo setelah sepi tanggapan dari temannya.

"Tuhan sejati itu memang satu, tapi Tuhan dalam realita itu banyak, sebanyak jumlah manusia yang masing-masing punya pikiran berbeda tentang Tuhan. Tuhan jenis kedua inilah yang masing-masing kita miliki dan sembah, Tuhan hasil refleksi kita masing-masing yang tentu berbeda tingkat pemahaman maupun latar belakangnya. Nggak pada tempatnya kalau kita ngotot Tuhan yang ada di pikiran kita sebagai Tuhan yang sejati, dan lantas menafikkan Tuhan yang ada di pikiran orang lain," Paijo terus ngerocos.

"Itulah kenyataan yang mesti diterima oleh semua umat beragama. Inilah kesadaran awal yang mestinya kita tumbuhkan dalam pendidikan agama. Jika kita menyalahkan orang yang mempersepsi Tuhan berbeda dengan kita, mestinya yang harus disalahkan adalah Tuhan sendiri, kenapa Dia tidak membuat persepsi semua orang tentang Dia sama semua, padahal Dia Maha Kuasa. Padahal ..."

Ups .. Paijo mendadak menghentikan ocehannya. Paijo baru sadar, kalau sempat didengar KH Athian Ali atau simpatisannya, bisa dihukum mati dia. Akhirnya Paijo sadar juga, bisa gawat kalau kata-katanya disalah pahami orang yang memang tidak bisa dan tidak mau memahami. Mulutnya yang sudah mau mendedarkan masalah Tuhan sebagai sesuatu yang abstrak dan sebagai Dzat yang real, 'the ultimate reality', terpaksa ditahannya. Keluhannya tentang Tuhan "yang malang", yang ditarik sana-sini dan dijadikan stempel pembenaran tiap perbuatan juga hanya tinggal keluhan dalam hati.

"Udahlah, ayo kerja bakti lagi. Ulil, Athian nggak usah diurus. Mereka semua orang dewasa yang kalau salah biarlah Allah sendiri yang menghukumnya kelak di akhirat. Mereka baru perlu kita urus kalau sudah mengganggu orang lain, mencelakakan orang lain, serta menghambat anugerah Tuhan berupa kemerdekaan berpikir dan berpendapat."

28 Desember 2002

Selengkapnya ...

Paijo : Imajinasi

Bukannya takut dengan hujan jika Paijo memilih berteduh di emperan toko sampai saat menjelang buka puasa. Tubuh manusia di desain untuk tahan terhadap air hujan, begitu yang diyakini Paijo. Rasa takut serta tidak biasa terkena air hujanlah yang menyebabkan seseorang masuk angin kalau kehujanan. Sedang bagi Paijo yang sejak kecil menjadikan hujan sebagai saat bermain, tentu ketidak takutan dan daya tahan sudah terbentuk dengan sendirinya. Paijo juga tidak khawatir motor bututnya ngadat jika lewat di genangan air, yang seolah sudah jadi bagian tak terpisahkan dari jalan, kota dan hujan, karena si butut telah dikerjai melalui proses kreativitas yang njlimet dan mengagumkan oleh bengkel langganannya.

Paijo sengaja memilih tempat berteduh agak ke pinggir, terpisah dari orang-orang lain yang memilih ngobrol sesama peteduh. Tidak begitu jelas apa-apa yang diobrolkan, karena suara tiap kelompok obrolan saling kemriyek dan tumpang tindih tidak karuan. Belum lagi di tambah suara hujan yang cukup deras. Paijo memilih menyendiri tentu bukan karena tidak mau berbaur dan ngobrol dengan yang lain, tapi memang Paijo sedang ingin menyendiri memanfaatkan momen yang tidak setiap hari di dapat. Saat bisa menyendiri seperti itu adalah saat yang sangat
berharga bagi si sableng. Itu saat yang sangat tepat untuk melepaskan imajinasi mengikuti objek apa saja yang bisa diikuti.

Paijo bukan seorang pakar bahasa, jadi dia tidak tahu persis apakah imajinasi itu sinonim dengan fantasi atau sekedar ada persamaan di satu sisi dan berbeda di sisi lain. Paijo juga tidak tahu persis yang tepat menurut tata bahasa, kapan harus pakai kata fantasi dan kapan digunakan kata imajinasi. Tapi Paijo coba meletakkan imajinasi di antara fantasi dan rasio. Jadi dalam benak si sableng itu, imajinasasi adalah perpaduan antara fantasi dan rasionalitas. Tentu tidak ada yang mesti setuju dengan Paijo. Toh Paijo tidak mengantongi sertifikasi apapun yang memungkinkannya cukup legitimat melontarkan satu teori atau pendapat.

Begitulah, yang di-imajinasi-kan Paijo ternyata soal imajinasi itu sendiri. Apalagi anak itu punya "dendam" tersendiri terhadap sistem yang tidak ramah terhadap imajinasi. Ketidak ramahan sistem itu begitu kuat menghajar pembentukan imajinasi yang sehat, karena ia merasuk ke mana-mana termasuk pula ke bidang pendidikan. Sistem itu telah begitu "kejam" mengintervensi benak setiap orang mulai dari masa kanak-kanak dengan cara men-strukturisasi benak anak-anak yang mestinya merupakan lahan subur untuk menyemaikan benih-benih imajinasi.

Diam-diam Paijo meneteskan airmata, saat ingat bahwa proses penghambatan imajinasi yang bebas dan sehat itu masih ditemuinya sampai saat ini. Masih sering Paijo temui larangan dari bentuknya yang halus sampai terang-terangan, yang langsung ke anak-anak maupun melalui orangtua. Teletubbies, Sin Chan, Doraemon, Digimon, Batman, Superman, Power Rangers, Ultra Man dan yang sejenisnya, yang notabene merupakan tontonan yang kaya fantasi dan sangat sehat membantu proses pembentukan imajinasi anak termasuk dalam daftar utama yang dilarang. Paijo hanya bisa mengelus dada ketika apa yang dialaminya selama kanak-kanak masih terjadi saat ini dalam bentuknya yang berbeda. Perampasan hak anak-anak masih berlangsung, dan yang paling menyedihkan itu dilakukan dengan berlindung di balik nama Tuhan.

"Ada apa mas, kok geleng-geleng kepala sendirian ?" tanya seseorang yang tiba-tiba sudah ada di belakang Paijo.

"Nggak apa-apa Pak. Cuman baru mikir, apa iya sih kita harus menyembah Tuhan yang tidak PeDe ?" jawab Paijo sambil tersenyum.

"Maksudnya apa tho mas ?" tanya si orang itu sambil mengerutkan dahi.

"Sudahlah Pak. Seperempat jam lagi maghrib. Maaf, saya mau pulang sekarang," kata Paijo masih sambil tersenyum.

"Tapi kan masih hujan mas ?" tanya orang itu lagi dengan sedikit heran.

"Hujan toh tidak akan membunuh kita kan Pak ? Saya tidak ingin ketinggalan buka puasa bareng teman-teman di rumah," jawab Paijo sambil men-starter si butut.

"Betul juga ya. Mas mau ke arah Barat kan ? Kalau begitu saya numpang sampai simpang masjid Raya," kata orang itu sambil langsung nangkring di boncengan tanpa menunggu persetujuan Paijo.

20 November 2002

Selengkapnya ...

Paijo : Senandung Cinta (3)

dengar angin mengusik batang-batang padi
sebelum matahari meninggalkan senja
dengar juga senandung di balik jendela
sebelum memasuki sunyi ...

"Duh puitisnya. Ada apa ya dibalik lagu yang puitis dan romantis ?" goda Dini dengan gaya sablengnya.

Seolah tidak peduli dengan godaan adiknya Paijo terus saja nyanyi sambil memainkan gitarnya.

"Emang enak dicuekin !" Dini memukul bahu Paijo dengan gulungan kertas.

Paijo menoleh sebentar. Nyengir, terus nyanyi lagi. Tidak tahan dengan perlakuan kakaknya, Dini memegang senar gitar Paijo sehingga gitar itu tidak bisa menghasilkan bunyi yang wajar.

"Apa nggak ada yang lain, selain ngrecokin keasyikan orang ?!" ujar Paijo dengan mimik dibuat-buat seolah marah.

"Ada. Nonjok jidatmu !" Dini melotot.

"Mbok yao, aku ini sekali-kali diberi kesempatan menikmati hidup. Jangan terus-terusan direcokin," kata Paijo setengah memelas.

"Salah sendiri. Siapa nyuruh nyanyi di depan orang ?! Itu kan resiko !" jawab Dini dengan galak. "Kalau nggak mau direcokin, sono nyanyi di tengah hutan, aman !"

"He..he.. anak satu ini udah nyebelin, galak lagi. Untung aku udah telanjur sayang. Kalau nggak ... kalau nggak ... " Paijo tidak meneruskan kalimatnya.

"Kalau nggak .. apa ?! Kalau nggak, apa hayo ?!" Dini berkacak pinggang.

"Kalau nggak .. kalau nggak .. nyanyi lagi ahh .." Paijo cengar-cengir, lantas memainkan gitarnya lagi.

"Wek takut .. wek !" ledek Dini dengan senyum kemenangan. Setelah itu diteruskan dengan nyanyi sendiri tumpang tindih dengan nyanyian Paijo.

"Heh centil ! Suka amat nggangguin orang sih ?!"

"Siapa yang ngganggu ?! Kamu nyanyi, aku juga nyanyi. Sama-sama punya hak buat nyanyi."

"Maunya apa sih ?!" tanya Paijo sambil memandang wajah adiknya.

Dini tidak menjawab pertanyaan Paijo, malah balik bertanya, "Tumben nyanyi lagu romantis, ada apa sih ?"

"Ya nggak ada apa-apa. Lha wong orang nyanyi kan bebas mau nyanyi lagu apa," jawab Paijo.

"Iya, tahu. Tapi kayaknya kali ini nyanyinya dihayati betul. Wajar kan kalau ngirain ada apa-apa."

"Nggak ada apa-apa, cuman sedang bermesraan aja," ujar Paijo.

"Wuih ! Bermesraan dengan siapa, dengan bayang-bayang ya ?"

"Bermesraan dengan hidup," jawab Paijo datar.

"Gayanya. Bermesraan dengan hidup kok pake lagu romantis. Bohong nih, pasti sedang ada bayangan seseorang," Dini kambuh nakalnya.

"Sok tahu !" wajah Paijo sedikit memerah. "Orang memesrai hidup kan macem-macem caranya," Paijo meneruskan setelah bisa menguasi dirinya.

"Tapi kok pake lagu romantis ?" kejar Dini.

"Lagu kan cuman sarana. Mau lagu romantis, lagu kehidupan, lagu tentang alam, sholawatan atau puji-pujian, itu cuman sarana."

"Lha, lagu romantis, lagu cerita tentang cinta itu apa hubungannya dengan memesrai hidup ?" Dini tidak mau berhenti.

"Din, bahasa yang paling awal dikenal manusia itu bahasa cinta. Sebelum kenal dengan segala macem tetek-bengek, manusia itu sudah terlebih dulu kenal cinta."

"Wah .. wah .. macem filsuf aja ngomongnya. Terus apa hubungannya dengan memesrai hidup ?"

"Cinta itu udah built-in dalam diri manusia. Cuman karena perkembangan hidup dan pengalaman yang makin kompleks, cinta bisa pudar dari diri manusia. Makanya cinta perlu diasah terus."

"Tapi kan nggak mesti pake lagu romantis ?" Dini masih belum puas.

"Siapa bilang mesti. Kan udah kubilang tadi, lagu romantis itu cuman sarana, dan itupun juga sekedar salah satu dari berbagai macem sarana. Lagu romantis juga perlu untuk menjaga kelembutan hati."

"Tapi biasanya kamu nggak suka dengan lagu-lagu cinta ?" kejar Dini.

"Ya, dulunya sih begitu. Terkadang aku suka mencibir sama lagu-lagu cinta, apalagi yang cengeng."

"Terus sekarang berubah ceritanya ?" tanya Dini lagi.

"Berubah total sih nggak. Cuman menggeser sudut pandang. Aku mencoba berempati pada orang yang suka dengan lagu cinta, termasuk yang cengeng sekalipun. Barangkali itu cara orang mengekspresikan perasaan menghadapi tekanan hidup yang sedemikian nggak ramah."

"Weleh, ternyata seorang Paijo bisa ngomong soal empati juga ya. Inikah hasil nyanyi lagu romantis ?"

"Cinta sekarang jadi barang mahal. Cinta sudah sebegitu tertutup dengan segala macem hal yang nggak ramah dengan cinta."

"Termasuk cinta sama seorang kekasih ?" tanya Dini dengan mimik menggoda.

Paijo tersenyum kecut. Tidak ditanggapinya godaan adiknya, tapi diteruskannya main gitar nyanyi lagu yang terputus tadi. Kali ini Dini tidak mengganggu lagi, malah ikut nyanyi dengan sang kakak, bak Franky dan Jane.

malam oh malam, jangan turun di sini
jangan turun gadisku dengan sayapmu
biarkan dia bersama cahaya
yang memancar dari cintaku ..

2 Oktober 2002

Selengkapnya ...

Paijo : Senandung Cinta (2)

Rabi'ah Al Adawiyah adalah salah seorang perempuan yang buah karyanya masih dikenal hingga kini. Apakah beliau seorang filsuf agung ? Apakah Ibu Rabi'ah ini seorang faqih yang mumpuni ? Bukan. Karya-karya beliau, yang banyak tertuang dalam syair tidak menunjukkan keruwetan dan ke-njlimet-an ala teologi atau fiqh. Karya beliau adalah kesederhanaan ungkapan hati yang dikenal dengan istilah cinta. Kita tidak perlu mengerutkan kening atau pun bersitegang untuk bisa memahami ungkapan hati beliau. Cukup dengan merasakan getar-getar cinta itu. Ya, cinta ala Rabi'ah. Cinta vertikal antara seorang hamba dengan Tuhan, dan cinta horizontal antara hamba dengan sesama.

"Tapi kan ada yang bilang ajaran Rabi'ah ini nggak bener," komentar Dini.

"Ya. Itu karena kita menggunakan pendekatan legal-formal dalam menilai karya beliau, pendekatan yang menggunakan metoda teks sebagai final destination dari proses berpikir. Coba kalau kita gunakan teks sebagai pintu atau terminal untuk lanjutan proses berpikir, tentu kesimpulannya akan berbeda," jawab Paijo.

"Huh, kalo ngomong mbok ya yang jelas. Ngomong kayak di awang-awang aja," kata Dini sambil bibirnya agak dimonyongkan.

Paijo tersenyum. Tumben kali ini dia tidak meledek sang adik, barangkali Paijo sedang 'mateg aji' sehingga selera humornya ikut terbang seiring datangnya si ajian. "Begini cah ayu .. Kalo aku ngomong teks, itu artinya teks Quran dan hadits. Teks-teks itu, terutama hadits, sebenarnya masih dililit masalah sangat serius mengenai otentisitasnya. Tapi sudahlah, kita kesampingkan dulu soal tersebut. Sekarang kita ngomong mau apa dengan teks-teks itu."

"Ya nggak tau lah !" tangan Dini mulai bergerilya dengan kacang kulit yang ditaruh di meja saat melontarkan komentar ketusnya.

"Teks hanyalah teks. Ia benda mati. Tinggal manusia yang membacanyalah yang menentukan mau apa dengan teks itu. Apakah cukup berhenti di arti literal satu teks atau milih menyuruk lebih jauh mencari apa-apa yang tersembunyi di balik teks, itu adalah pilihan orang yang membaca."

"Jadi kalau teks Quran dan hadits dipahami secara literal, itu sebenarnya maunya manusia ?" tanya Dini tanpa menghentikan aksi kunyah kacang kulit.

"Tepat. Manusialah yang menentukan wajah agama selanjutnya dengan berbagai pilihan pendekatannya terhadap teks. Juga saat dikenal berbagai metoda pendekatan teks, itu juga nggak lebih hasil olah pikir manusia. Oh.. teks mesti dibaca begini dan diartikan begini .. itu yang bilang manusia."

"Lalu .. aqidah itu gimana .. ?" tanya Dini yang sepertinya mulai tertarik dengan topik Paijo.

"Aqidah pun buatan manusia. Itu berasal dari 'ide-ide' ilahiyah yang tertuang dalam kalam dan terbaca melalui teks yang selanjutnya terbaca oleh manusia dan melahirkan satu rumusan-rumusan tertentu. Rumusan-rumusan dalam masalah-masalah pokok agama itulah yang dikenal dengan istilah aqidah, yang kemudian dinyatakan sebagai sesuatu yang mesti diyakini."

"Yah.. aku bisa ngerti. Tapi kenapa jika aqidah seperti yang kamu bilang itu, kok dinyatakan sebagai sesuatu yang mesti diyakini ?" tanya Dini lagi.

"Karena pengakuan unsur manusia sebagai perumus aqidah ditiadakan. Jadinya rumusan-rumusan itu sudah dianggap identik dengan Allah dan sifatnya mutlak. Ini kan mirip dengan tekhnik dagang, cuman model begitu adalah tekhnik dagang yang nggak jujur. Kalau jujur, mestinya adanya unsur manusia dalam rumusan aqidah itu nggak ditutup-tutupi."

"Lantas .. posisinya Rabi'ah tadi di mana ?"

"Gimana ya njelasinnya," Paijo menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Begini .. aku pakai istilah yang pernah dipakai Cak Nun saja. Cak Nun pernah bilang, kalau karakteristik Nabi Muhammad itu perpaduan antara karakter Musa yang keras dan tegas dengan Nabi Isa yang lembuh dan penuh cinta kasih."

"Apa hubungannya ?" tanya Dini setengah menyanggah.

"Hubungannya .. ajaran Islam itu perpaduan legal-formalnya ajaran yang dibawa Nabi Musa dengan semangat cinta-kasihnya ajaran Isa Al-Masih."

"Jadi, cintanya Rabi'ah itu mengambil sumber dari ajaran Nabi Isa ?"

"Nggak salah, namun juga nggak begitu tepat. Ajaran cinta-kasih itu sudah built-in, jadi salah satu aspek dalam ajaran Islam dan berpadu dengan aspek legal-formalnya. Sebenarnya masih ada satu aspek lagi, yaitu aspek rasional yang diwakili melalui sosok Nabi Ibrahim."

"Kok bisa ?" tanya Dini.

"Ya bisa. Kisah Nabi Ibrahim mencari Tuhan adalah contoh aspek rasional dalam ajaran Islam. Berbeda dengan Nabi Musa dan Nabi Isa yang merupakan bagian mata rantai kenabian dari bani Israel, maka kenabian Muhammad terputus dalam masa yang sangat panjang sejak kenabian Ismail. Dan kenabian Muhammad sendiri diawali dengan perenungan dan pencarian yang ada kemiripan dengan Nabi Ibrahim."

"Kalau gitu Cak Nun salah dong ?!"

"Nggak juga. Berbeda atau kurang bukan lantas berarti salah. Barangkali Cak Nun memandang dari sudut pandang lain, atau waktu melontarkan pendapat itu dia berhadapan dengan situasi tertentu. Yang jelas toh, perpaduan karakter itu bisa dikembangkan lebih luas lagi. Mungkin dengan memasukkan Nabi Nuh dan Nabi-Nabi yang lain."

"Wah, itu kesanya seperti othak-athik gathuk," komentar Dini.

"Memang. Karena agama yang sampai ke kita saat ini memang hanya hasil othak-athik gathuk. Tentu saja othak-athik gathuk itu bukan mlulu dalam konotasi negatif, namun mesti dipahami sebagai olah pikir."

"Oh ya.. tadi ada tiga aspek , apaan ? hmmm .. aspek legal-formal, cinta kasih, rasional," Dini menjawab sendiri pertanyaannya setengah bergumam. "Lantas dari ketiga aspek itu kita mesti gimana ?"

"Idealnya sih seimbang dan proporsional. Seimbang, maksudnya ketiga aspek itu hidup dan mendapat tempat dalam diri kita. Proporsional, maksudnya kita mesti bisa menentukan yang terbaik, kapan saatnya melakukan pendekatan legal-formal, rasional ataupun dengan pendekatan cinta. Repotnya, yang ideal itu susah dicapai manusia. Manusia pun kebanyakan lebih bertumpu ke satu aspek, bukan pendekatan yang kaffah alias komprehensif alias menyeluruh. Lebih repot lagi kalau dari model pendekatan seperti itu terus merasa benar sendiri."

"Hi..hi..," Dini nyengingis melihat kakaknya rada 'naik'.

"Rabi'ah Al-Adawiyah adalah seorang pecinta. Syair-syairnya adalah senandung cinta. Perkara benar atau salah, bukan urusan kita."


30 September 2002

Selengkapnya ...

Paijo : Senandung Cinta

Apakah Paijo terbawa arus "Ada Ada Dengan Cinta", jika tiba-tiba ia menulis sebait syair tentang cinta ? Tidak jelas, seperti syairnya yang juga tidak jelas.

Di manakah cinta ?
Pada pandangan yang menyala,
Pada desir-desir rasa,
Atau pada sebentuk lembaga ?

Barangkali hanya Paijo yang tahu maksud syairnya, termasuk apakah pertanyaan dalam syair itu benar-benar pertanyaan atau sekedar pertanyaan retoris. Jika Dini sempat membaca syair kakaknya itu, tentu Paijo akan diledek habis-habisan. Bisa jadi Dini akan sewot karena Paijo tidak pernah mau menjawab mengapa sang kakak tidak juga menemukan sosok gadis yang dia cintai. Padahal tidak kurang Dini mendorong-dorong Paijo, termasuk mengenalkan dengan beberapa temannya.

"Cinta nggak bisa direkayasa. Namun, kalo datang ia juga nggak bisa dibunuh. Kalo kupaksakan buat mencintai seseorang, itu namanya aku sedang bermain-main dengan diriku sendiri. Cinta seperti itu nggak akan bertahan lama, karena sebenarnya ia bukan cinta," begitu yang pernah dia bilang pada Dini.

Entah Paijo dapat darimana kata-kata itu. Yang jelas jika didesak lebih jauh Paijo memilih diam atau mengalihkan pembicaraan. Tinggallah semprotan bertubi-tubi Dini lontarkan pada Paijo. Yang sok idealis lah, yang maunya sempurna lah, dan sebagainya.

Paijo adalah laki-laki normal. Jika ia tidak mau melayani omelan adiknya lebih jauh lagi, itu karena Paijo memang menyimpan sesuatu yang tidak ingin dia ungkapkan, termasuk pada Dini. Paijo sebenarnya juga pernah jatuh cinta. Namun tidak jelas pada gadis mana. Hanya Paijo yang tahu, termasuk mengapa cinta itu hanya disimpannya dalam hati.

Upss.. tunggu, ternyata masih ada bait-bait syair Paijo yang lain.

temuilah cinta
di bawah sengatan matahari
di antara tetes keringat
pada celah deru nafas

temuilah cinta
dalam sunyi yang khusuk
pada sepenggal malam
dari sepotong doa

temuilah cinta
pada senyum tanpa rekayasa
dari kaum papa
dari kaum yang didakwa pendosa

temuilah cinta
pada hamparan semesta
pada penghuni semesta
pada sang maha pemilik cinta

Adakah Paijo sedang meluaskan cakrawala cintanya ? Mungkin, setidaknya itulah yang terbaca pada tidak maunya anak itu terjebak pada satu pattern cinta. Paijo sedang menulis syair-syair itu, bukan hanya pada secarik kertas, tapi juga pada lembaran hatinya. Lembaran yang kadang juga terisi kekerasan sikap dan ego khas anak muda.

28 September 2002

Selengkapnya ...

Paijo : Perubahan

"MU, Liverpool, Arsenal adalah contoh kesediaaan mau mengubah diri," kata Paijo saat ditanya pak RT tentang klub-klub papan atas liga Inggris itu. Sejak dikerjain Paijo, dan dilanjutkan nonton liga champions bareng di rumahnya, diam-diam pak RT mulai "jatuh hati" pada Paijo. Pak RT mendapatkan seorang teman yang bisa diajak ngomong dalam banyak hal. Pak RT seperti bernostalgia dengan masa mudanya yang energik dan dinamis. Sedikit banyak hal itu didapatinya juga pada diri Paijo. Jika beberapa hari Paijo tidak nongol, maka pak RT akan pesan pada seseorang agar Paijo datang ke rumahnya.

"Apa mas Paijo sudah lama tahu klub-klub itu ?" tanya pak RT.

"Sedikit-sedikit saya tahu Pak. Bukan hanya klub-klub itu, tapi juga sepakbola Inggris dan sepakbola dunia pada umumnya," jawab Paijo.

"Wah, bagus itu. Lantas perubahan apa yang sampeyan lihat ?"

"Sebenarnya ini hal yang sudah umum Pak. Kita kan tahu Inggris itu dari dulu terkenal dengan 'kick n rush'. Sampai dengan era 80-an sampai 90-an warna 'kick n rush' itu masih dominan di liga Inggris maupun tim nasionalnya. Namun sejak era 90-an itu pula, klub-klub Inggris, terutama yang papan atas pelan-pelan mulai mengubah dari gaya 'kick n rush'".

"Perubahan itu kan karena banyak pemain asing dari Eropa daratan yang main ke Inggris ..," kata pak RT.

"Iya juga Pak. Tapi kalau kita mau lihat lebih jauh, banyaknya pemain Eropa daratan kemudian disusul pelatih-pelatih non Inggris Raya, saya kira itu sekedar rentetan dari niat mau berubah yang sudah dimulai sebelum era itu," kata Paijo.

"Apa iya ?" tanya pak RT.

"Saya kira iya Pak. Kritik baik dari dalam maupun dari luar agar Inggris mau membuka diri dan meninggalkan gayanya yang ketinggalan jaman itu kan sudah lama terdengar. Dan kritik-kritik itulah yang diterima dan mulai diterapkan."

"Tapi mas Paijo, perubahan itu kan baru efektif di level klub. Sedang di tim nasional malah nggak mampu membawa prestasi yang bagus," kata pak RT.

"Kalau kita berorientasi pada hasil, memang demikian Pak. Tapi kalau kita lebih memandangnya sebagai proses perubahan yang berawal dari kesediaan diri untuk berubah, itu sangat bagus."

"Tapi kan kalau hasilnya nggak kunjung dateng, orang bisa frustrasi lho," sanggah pak RT.

"Betul Pak. Proses perubahan gaya sepakbola Inggris ke gaya sepakbola modern toh memang belum bisa dibilang massif. Masih terbatas pada klub-klub papan atas saja. Dalam kata lain, perubahan ini masih terlibat tawar-menawar dengan kultur sepakbola yang sudah mapan. Hasil serba tanggung lah yang mereka dapat saat ini. Tapi rasanya mereka juga kepalang basah buat kembali ke kultur lama. Akhirnya mereka yang sekarang masih bertahan dengan 'kick n rush' lambat laun akan menyesuaikan diri juga. Mereka tentu akan belajar dari Brazil yang 'rela'
mengurangi gaya 'jogo bonito' demi meraih prestasi yang lebih baik."

Dua orang beda generasi itu terus asyik ngobrol sampai tengah malam. Tema obrolan mereka tidak lagi sekedar dunia sepakbola, tapi bergeser ke bermacam-macam hal. Namun masih ada yang dominan, yakni soal perubahan.

Perubahan memang sesuatu yang niscaya. Sekeras apapun perlawanan terhadapnya, tetap saja perubahan selalu muncul dan muncul lagi di berbagai sektor kehidupan dengan berbagai macam wajahnya. Perubahan adalah sunnatullah, hukum Allah. Seiring waktu yang terus bergerak, yang berarti juga berubah, maka pilihan mati-matian menolak perubahan akan membuat orang tercecer di tengah dinamika hidup. Orang akan jadi terbelakang dan tersisih ke pojok kehidupan jika memegangi sikap mental yang absurd dalam memandang perubahan.

Perubahan memang tidak serta merta membawa hasil yang segera bisa dinikmati. Kebelum jelasan hasil perubahan, apalagi jika berlarut-larut, bisa menyeret orang pada sikap frustasi dan memilih kembali ke titik sebelum terjadi perubahan. Di sinilah diperlukan wawasan dan pandangan yang jauh ke depan, yang tidak terbelenggu dengan cara pandang masa lalu, dan tidak terperangkap dalam bingkai kekinian.

"Satu hal yang mesti diwaspadai, perubahan mestinya mengarah ke perbaikan dan bukan kehancuran," kata Paijo sebelum akhirnya pamit pulang.

25 September 2002

Selengkapnya ...

Paijo : Teroris

Paijo dan Rakhmat malam itu dipanggil pak RT. Pasalnya, menurut pengaduan ketua pengurus karang taruna setempat kedua anak itu dianggap bertanggung jawab atas menurunnya partisipasi anak-anak muda dalam kegiatan karang taruna.

"Mas Paijo, Mas Rakhmat. Saya selaku ketua RT di sini tentu hanya bisa menyampaikan keresahan warga sini yang dilaporkan pada saya. Mas-mas berdua tentu tahu apa yang mesti dilakukan tanpa harus saya beritahu," kata pak RT.

"Pak, liga champions ini Bapak pegang mana, MU atau Madrid ?" Rakhmat cepat menendang kaki Paijo yang duduk di sebelahnya, saat mendengar anak itu bukannya merespon kata-kata pak RT, tapi malah ngomong sepakbola. Yang ditendang cuman nyengir. Paijo tahu betul pak RT ini adalah penggemar berat sepakbola. Waktu piala dunia tempo hari pun pak RT menyediakan teras rumahnya untuk nonton siaran langsung bersama.

"Wah, ya masih susah mas Paijo .. " jawab pak RT. "MU dan Madrid memang bagus. Sekarang kan baru permulaan, masih sulit buat nebak. Tapi karena saya telanjur jatuh cinta sama MU, ya.. saya njagoin si setan merah itu." Rakhmat lega melihat pak RT tidak tersinggung oleh ulah Paijo. "Kalau mas Paijo sendiri njagoin siapa ?"

"Saya ini cuma penggembira kok Pak. Sekedar suka nemenin ngobrol orang yang demen liga champions. Kebetulan saya juga demen sepakbola."

"Lha.. kalau nggak njagoin ya nggak seru mas !" kata pak RT lagi. "Kalau ada yang dijagoin kan ada rasa deg-degan waktu nonton."

"Iya juga sih Pak. Tapi, saya sih udah cukup puas kalau liat para penggemar bola bisa puas," kata Paijo. "Eh, ngomong-ngomong di TV kok ada ribut-ribut soal teroris lagi. Ada apa sih Pak ?"

"Oh itu .. Biasa kan Amerika suka ngomong kalau Indonesia itu tempatnya teroris," jawab pak RT.

"Iya ya Pak. Negara yang berkuasa itu memang bisa ngomong apa saja. Apa memang orang kalau dalam posisi lebih berkuasa itu cenderung ngomong seenaknya terhadap pihak lain tho Pak ?"

"Kayaknya iya mas. Dulu kan di tempat kita juga biasa kayak gitu. Kalau ada orang yang nggak sejalan sama yang di atas bisa diberi stempel macem-macem. Orang baik bisa disulap jadi orang jahat, dan orang jahat pun bisa disulap seolah-olah baik sama orang yang berkuasa," jelas pak RT.

"Hmmm .. ?" paijo bergumam sambil mengerutkan dahi, seolah-olah tidak paham.

"Kayak dulu, saya ini karena nggak mau ikut kampanye partai pemerintah, sama pak Lurah dipleroki terus. Jadi RT pun coba diothak-athik. Padahal cuma RT. Ya sudah, saya ngalah mundur saja. Habis keadaan berubah, dan warga sini mau saya jadi RT lagi, baru saya bersedia," sambung pak RT. "Oh ya mas, itu minumnya jangan dibiarin saja. Monggo .. monggo .."

Setelah Mereka bertiga menyruput minuman masing-masing, pak RT melanjutkan. "Selain itu sudut pandang yang berbeda juga akan menghasilkan pandangan yang berbeda kok Mas. Bisa saja Amerika menganggap pihak lain teroris, padahal bagi yang dituding itu bisa jadi Amerika yang teroris."

Paijo dan Rakhmat tampak serius memperhatikan pak RT. Setelah agak puas berbasa-basi dan ngobrol kesana kemari, akhirnya Paijo dan Rakhmat minta pamit.

"Pak, kami mau minta pamit. Masih ada yang harus dikerjakan di rumah."

"Lho, Mas. Lha gimana penjelasan Mas soal karang taruna tadi ?" pak RT heran melihat Paijo dan Rakhmat pamit tanpa menjawab soal yang diadukan.

"Ah, kan nggak perlu kami jawab. Pak RT sendiri toh yang malah memberi penjelasan pada kami," kata Paijo sambil tersenyum.

"Woalaaaaaahhh ..... " pak RT baru sadar kalau habis dikerjain Paijo. "Memang anak-anak muda sekarang pada kurang ajar. Ya sudah, dihabisin dulu itu minumnya. Besuk malem saya tunggu nonton liga champions di sini."

24 September 2002

Selengkapnya ...

Paijo : Bohong

"Dibohongi itu enak," begitu Paijo sering nyeplos sambil guyon dengan teman-temannya, jika ada saat mereka ngomong soal jujur, kejujuran, bohong dan kebohongan.

Teman-teman Paijo yang sudah hapal lagu si bujang gemblung itu paling cuman nyengir jika mendengar Paijo mengulangi ocehannya. Tapi bagi yang baru pertama kali mendengar biasanya akan protes.

"Wong dibohongi kok enak. Enak apanya ?!" begitu biasanya protes yang keluar.

"Ya enak ! Asal nggak ketahuan saja kalau dibohongin."

Begitulah. Jika orang yang protes sudah mengerti maksudnya, Paijo akan berhenti hanya sampai di situ. Tapi jika belum mengerti, maka Paijo akan menyebut contoh yang sederhana.

Orang boleh saja menganggap ocehan Paijo itu sekedar gurauan. Memang begitulah watak anak satu itu, sangat demen bergurau, bercanda. Sedang serius-seriusnya orangpun Paijo sering sempat nyeletuk dengan gurauan. Biasanya dia bungkus dengan plesetan. Bisa menjengkelkan memang, namun tidak jarang berhasil menurunkan tensi ketegangan. Tidak begitu jelas apa niat anak itu dalam gurauan-gurauannya. Namun jika dicermati, kadang gurauan Paijo mengandung
hal-hal yang sangat serius. Salah satunya ya soal itu tadi, enaknya dibohongi.

Pengertian sederhana dari bohong adalah menyatakan hal yang tidak sebenarnya. Bohong lebih berkonotasi kepada hal yang jelek, meski dalam konteks tertentu bohong tidak bisa dianggap jelek jika punya tujuan yang jelas dan bisa dipertanggung jawabkan. Menyelamatkan nyawa orang dari kejaran orang lain misalnya, bisa dimasukkan dalam pengecualian dari sifat jeleknya bohong. Juga bohong dalam hal yang memang sudah dimaklumi bersama bahwa itu bukan hal yang sebenarnya, tidak selamanya melulu bersifat jelek. Dunia entertainment dan canda sehari-hari adalah bohong dalam jenis ini.

Kadar kejelekan bohong berbeda-beda. Tergantung dalam hal apa seseorang berbohong dan dalam skup yang bagaimana seseorang berbohong. Kebohongan dalam pergaulan sehari-hari antar individu, tentu berbeda dengan kebohongan terhadap publik. Baik sifat, akibat, maupun sanksi yang akhirnya nanti akan kembali ke orang yang berbohong.

Salah satu hal yang biasanya menjadi bumbu kebohongan adalah harapan. Harapan yang dijanjikan di balik kebohongan, yang biasanya berupa sesuatu yang indah-indah. Satu kebohongan biasanya juga akan melahirkan kebohongan-kebohongan yang lain. Satu kebohongan agar tidak terbongkar biasanya memerlukan kebohongan-kebohongan baru guna menutupinya. Begitu dan begitu terus, sampai kebohongan bisa terbongkar, atau si pembohong berhasil meyakinkan obyek yang dibohongi.

Membongkar kebohongan bukan sesuatu yang mudah, apabila kebohongan itu dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dan piawai menjajakan kebohongan dengan membangun sistem canggih yang menopang kebohongannya. Karena canggihnya, maka bisa membuat orang banyak terlena, tanpa sadar hidup dalam kebohongan serta memegang erat kebohongan.

Namun kebohongan tetap kebohongan. Cepat atau lambat kebohongan akan terbongkar juga, meski untuk itu diperlukan orang-orang yang setia menolak berada dalam atmosfer kebohongan.

22 September 2002

Selengkapnya ...

Paijo : Hantu

Tentu bukan karena didatangi peri, kuntilanak, genderuwo atau makhluk-makhluk sejenisnya jika Paijo dan kawan-kawan malam itu sibuk ngobrol soal hantu. Dan tentu juga bukan karena lagu ndangdut 'Mbah Dukun' yang sedang ngetop yang kemudian lantas menyeret anak-anak itu ke dunia klenik.

Hantu semata-mata soal percaya atau tidak. Hantu, bagi yang percaya, adalah lelembut yang tidak tersentuh panca indera secara normal, dan akan muncul pada saat, kondisi atau tempat tertentu. Sedang bagi yang tidak percaya, hantu sekedar halusinasi, atau sekedar akibat adanya gelombang elektromagnetik berlebihan (seperti pernah ditayangkan oleh Discovery Channel) dari orang yang merasa melihat atau mendengar sesuatu yang aneh-aneh. Dan yang aneh-aneh itu sering digambarkan sebagai sesuatu yang menyeramkan. Hantu adalah sesuatu yang "entah". Entah benar-benar ada atau tidak. Keberadaan hantu, meski dipercayai dan diklaim pernah dilihat atau didengar oleh sementara orang, tetap tidak bisa dibuktikan.

Namun lepas dari kontroversi hantu ada atau tidak, yang pasti hantu telah sukses dijadikan sementara orang tua untuk menakut-nakuti anaknya, terutama yang tidak mau segera tidur meski hari sudah malam. Hantu juga sukses 'diperalat' sebagai senjata pamungkas orangtua yang tidak ingin anaknya main ke tempat-tempat tertentu. Tentu tidak ada niatan buruk dari orangtua yang melakukan hal seperti itu. Tapi, kadang yang kurang disadari orangtua adalah dampak jangka panjang bagi si anak. Sesuatu yang ditanamkan sejak dini dan secara terus-menerus pada akhirnya akan diam dan mengendap di benak si anak, dan selanjutnya akan dianggap sebagai kebenaran. Apalagi secara naluriah, setiap orang ada kecenderungan untuk
tertarik dan mereka-reka pada sesuatu yang 'ghaib'.

Begitulah, setelah ngobrol ngalor-ngidul soal hantu yang menghuni dunia klenik itu, Paijo dan kawan-kawan akhirnya sampai juga di topik hantu dalam tataran psikologis.

"Apa maksudmu dengan hantu dalam tataran psikologis Jo ?" tanya Blothong.

"Maksudku, ya bayangan menakutkan yang menghinggapi pikiran orang."

"Bayangan menakutkan .. dalam hal apa ?" gantian Budi bertanya.

"Nyaris dalam segala hal. Segala sesuatu yang menakutkan, yang sebenarnya belum tentu ada. Dan rasa takut itu lebih disebabkan dorongan dari dalam diri kita sendiri."

"Misalnya ?"

"Misalnya .. kamu takut menghadap pak Lurah. Kamu takut nanti kalau di depan pak Lurah, begini-begitu. Padahal yang begini-begitu itu belum tentu. Dalam hal itu pak Lurah, dengan segala kemungkinan yang belum pasti, bahkan bisa jadi sekedar angan-angan kosong itu telah menjelma menjadi 'hantu' dalam benakmu."

"Apa ini menyangkut soal kepercayaan diri Jo ?" kali ini Rakhmat yang bertanya.

"Ya ! Cuman, kepercayaan diri itu kan hasil. Berarti ada proses panjang yang melatar belakangi hasil itu."

"Proses panjang .. ?" Blothong mengerutkan dahinya.

"Ya proses panjang yang membentuk kepercayaan diri itu," jawab Paijo. "Termasuk informasi maupun nilai-nilai yang ditanamkan secara keliru dan terus-menerus tadi."

"Oleh siapa, orang tua ?"

"Salah satunya," jawab Paijo. "Bisa jadi juga oleh teman, guru, atasan, dan lain sebagainya. Dan repotnya, orang yang sudah kehilangan kepercayaan diri, suka menularkan ketidakpercayan dirinya itu ke orang lain. Orang yang sudah dibayang-bayangi hantu biasanya suka mentransfernya ke orang lain, terutama orang-orang yang berada dalam 'kekuasaannya'. Jika perlu disertai dengan informasi yang seolah-olah meyakinkan tentang hantu itu, padahal ia sebenarnya berasal dari rasa ketakutannya sendiri. Bayangkan jika seandainya hal itu dilakukan secara intens dan terus menerus, apa hasilnya ?"

"Lha apa ? malah nanya. Dasar cah gemblung !" komentar Blothong sambil nyengenges.

"Hasilnya, ya hantu itu akan dianggap sebagai sesuatu yang nyata. Hasilnya adalah orang-orang yang terjajah secara psikologis, karena berhasil ditakut-takuti dengan hantu-hantuan itu."

"Jo, kamu tadi bilang hantu di tataran psikologis itu ada di segala hal ?" tanya Rakmat.

"Betul."

"Apa agama termasuk juga di situ ?"

"Ha..ha..ha.. Kamu tentu juga tahu Mat, kalau agama itu salah satu lahan subur buat menciptakan 'hantu-hantu'. Orang atau pemikiran yang tidak disetujui bisa disulap jadi hantu. Bahkan Tuhan pun kadang digambarkan seperti hantu. Kok ya kebetulan, hantu sama tuhan itu kalau diucapkan berulang-ulang nggak ada bedanya. Han-tu-han-tu-han-tu-han-tu-han-tu-han-tu .. he..he..he..."

29 Agustus 2002

Selengkapnya ...

Paijo : TRUE LIES

"Jo, udah nonton True Lies ?" tanya Budi selepas sholat isya.

"Belum. Dulu pengin nonton sih, tapi keburu ditarik dari peredaran," jawab Paijo kalem. "Emangnya kenapa ?"

"Menurutmu filem itu gimana ?"

"Lha wong nonton aja belum, kok ditanya gimana. Ya nggak tahu !"

"Woo cah gemblung. Maksudku gimana soal ribut-ribut filem itu ?" tanya Budi agak gemes.

"Ah, itu kan udah lama banget. Males ngomonginnya. Emang ada apa sih ?!"

"Kabarnya filem itu mau diputer di salah satu stasiun TV," jawab Budi.

"Naa.. Bagus itu. Berarti bisa nonton dong," kata Paijo dengan wajah ceria.

"Bagus gundulmu ! Filem itu kan dulu dilarang, kok dibilang bagus," kata Budi dengan nada meninggi.

"Ya bagus lah. Dengan begitu kan kita bisa mbuktiin, apa memang filem itu pantes dilarang atau nggak ?"

"Ya pantes ! Wong filem itu menghina Islam."

"Itu kan cuman katanya," kata Paijo dengan gaya seenaknya. Malah dilanjutin dengan joget-joget kecil mengikuti irama musik dangdut dari 'tape' tetangga.

"Sembarangan ! pernyataan itu kan yang ngeluarin MUI ?!" protes Budi setengah melotot.

"Itu kan MUI versi dulu. Lagian, nggak ada kewajiban ngikuti fatwa MUI."

"Eee.. tambah gendeng bocah iki. MUI kan tempat berkumpulnya orang-orang yang ilmu agamanya sangat mumpuni."

"Justru itu. Ulama itu tempat muara segala ilmu. Tapi, kalau tempat muara ilmu-ilmu itu sampai ngeluarin pernyataan yang nyinyir, ya aneh !"

"Nyinyir ?! jangan asal njeplak Jo !"

"Aku nggak asal njeplak !" kata Paijo sambil menghentikan jogetnya. "Aku cukup punya alasan untuk itu."

"Ah, paling juga asal-asalan."

"Ya lihat saja nanti, alasanku asal-asalan atau nggak. Pertama, True Lies hanyalah sebuah filem. Artinya, ia nggak lebih dari sebuah karya imajinatif yang divisualisasikan. Selama nggak dinyatakan sebagai kisah nyata, maka cerita di filem itu hanyalah sebuah karangan, imajinatif, alias nggak ada. Bahkan filem yang berangkat dari kisah nyata pun tetep nggak luput dari unsur-unsur imajinasi," papar Paijo.

"Lho, filem kan, meski imajinatif, bisa mempengaruhi pikiran seseorang ?" tanya Budi.

"Betul. Jangankan filem, bahkan semua yang kita liat dan denger, apapun dia, bisa mempengaruhi pikiran kita," jawab Paijo. "Cuman, seberapa besar pengaruh itu, kan tergantung daya tahan kita masing-masing."

"Nah, justru di situ masalahnya. Nggak semua muslimin punya daya tahan yang kuat terhadap pengaruh dari luar, termasuk dari filem itu," sanggah Budi.

"Maksudmu banyak yang rentan, gitu ?" tanya Paijo.

"Ya !"

"Ha..ha..ha..," Paijo tertawa. "Saat kita bilang ada pihak yang rentan, maka di situ tersirat sikap meremehkan kita terhadap pihak tersebut," Paijo menarik nafas. "Okelah, sekarang kita ngikut asumsi bahwa kaum muslimin yang rentan itu ada dan banyak. Terus ngapain ?"

Budi nampak tercenung. Mungkin bingung, atau sedang menebak ke arah mana pembicaraan sahabatnya itu.

"Jika memang betul ada yang rentan, mestinya Ulama menyediakan wadah atau setidaknya membiarkan umat melatih diri menghilangkan kerentanan itu," Paijo melanjutkan lagi setelah melihat Budi tidak berkomentar. "Dalam kasus 'True Lies' ini, idealnya Ulama cukup memberi gambaran, pandangan umum tentang filem tersebut. Selanjutnya umat diberi pilihan, mau nonton atau nggak, mau setuju sama sang Ulama atau nggak. Dengan melarang atau menuntut filem itu ditarik, maka sama saja Ulama menutup peluang umat buat melatih diri, menimbang-nimbang dengan pikiran yang mandiri, buat membuktikan sendiri."

"Membuktikan sendiri ?!" Budi memotong. "Apa untuk membuktikan api itu panas mesti jidatnya harus disundut pake api rokok dulu ?!"

Paijo tersenyum. "Bud, api panas itu sudah pasti. Sejak jaman nenek moyang sampai sekarang, api itu ya panas. Hal kayak gitu udah nggak perlu diperdebatkan lagi. Tapi, mbandingin sesuatu yang relatif sama sesuatu yang pasti, ya bisa ngaco"

"Ngaconya ?"

"Soal 'True Lies' itu relatif, dan sangat bisa diperdebatkan. Jangan dibandingin sama panasnya api yang pasti. Soal 'True Lies' ini, setiap orang, khususnya muslimin, berhak membuktikan sendiri, menimbang sendiri, dan nanti juga punya pendapat sendiri-sendiri, yang bisa saja berbeda."

Budi terdiam lagi, agak lama kali ini.

"Itu baru alasan pertama," Paijo buka suara lagi. "Alasan kedua adalah soal kata 'menghina Islam' itu."

Budi hanya menghela nafas.

"Kata 'menghina Islam' itu, menempatkan Islam sebagai objek. Kata 'menghina Islam' hanya sah kebenarannya kalau Islam merasa terhina. Cuman, karena Islam tidak mungkin menyuarakan perasaannya, maka kata 'menghina Islam' itu kehilangan keabsahannya."

"Terus ?"

"Jika kita berpikir dari sudut pandang yang lain, jika ada orang yang menjelek-jelekkan Islam, melecehkan Islam, menghina Islam, maka hakikatnya yang dia jelek-jelekkan, yang dilecehkan, yang dia hina adalah persepsi orang itu terhadap Islam, bukan Islamnya itu sendiri. Dan proses orang tersebut sampai ke persepsi dia tentang Islam, bisa beragam. Islam itu agung, tinggi, suci dan nggak mungkin bisa direduksi jadi objek berupa persepsi-persepsi yang selanjutnya bisa dijelekkan, dilecehkan, dihina. Kemudian, jika ada orang yang menganggap Islam dihina, maka hakikatnya itu sekedar Islam dalam persepsi dia yang sedang dihina."

"Nah, sekarang terserah kamu. Mau tetep nganggep 'True Lies' menghina Islam atau nggak, adalah hak kamu. Yang jelas sudah kupaparkan alasan-alasanku kenapa aku nganggep 'True Lies' sama sekali nggak menghina Islam," lanjut Paijo setelah melihat Budi masih diam.

"Tapi Jo, hal kayak gitu, kayak filem itu kan bisa memancing gejolak sosial ?"

"Kalau proses pendewasaan dan pencerdasan umat, baik oleh Ulama maupun umat sendiri, nggak terhambat dan dihambat, gejolak sosial yang diakibatkan hal kayak gitu akan pelahan-lahan berkurang, sampai akhirnya -mungkin- akan hilang sama sekali."

24 Agustus 2002

Selengkapnya ...

Paijo : Celoteh Merdeka

"Kemerdekaan ialah hak segala bangsa", begitu bunyi bagian dari Pembukaan UUD 45. Kalimat yang lahir melalui proses olah fikir para founding fathers Republik Indonesia terasa begitu indah. Indahnya, bukan semata-mata karena kalimat itu terumuskan menjelang persiapan kemerdekaan, dan ditetapkan setelah kemerdekaan bangsa Indonesia. Tapi juga karena kalimat itu berarti tekad segenap bangsa Indonesia, melalui founding fathersnya, untuk berperan aktif memperjuangkan kemerdekaan yang lebih luas bagi bangsa-bangsa lain yang masih terjajah. Letak keindahan lain ialah bahwa rumusan kalimat tersebut senada dengan fitrah manusia serta misi utama yang diemban para Nabi, misi pembebasan.

Di bagian lain dari Pembukaan UUD 45, juga tersurat kalimat "Mencerdaskan kehidupan bangsa". Para founding fathers negeri ini tahu betul, bahwa penjajahan bukan hanya mengakibatkan derita panjang berupa kemiskinan serta derita fisik lainnya, tapi juga kebodohan yang melanda anak-anak negeri. Kebodohan itupun bukan semata-mata disebabkan bakat maupun faktor-faktor alam lainnya, tapi juga karena system pembodohan yang merupakan bagian dari paket penjajahan. Dengan meletakkan cita-cita "mencerdaskan bangsa" sebagai salah satu agenda utama bangsa yang baru merdeka, di situ tersirat kesadaran bahwa kecerdasan lah yang memungkinkan setiap manusia, lebih luas lagi bangsa untuk sadar akan hak-haknya dan dengan sendirinya menolak apabila hak-haknya dikangkangi oleh pihak dari luar dirinya. Hanya dengan kecerdasanlah anak-anak negeri mampu menopang dan menjaga bangunan kemerdekaan yang baru berdiri dan sangat rentan terhadap berbagai macam gangguan. Dengan kecerdasanlah bisa diharapkan kelak anak-anak negeri bisa berdiri sejajar dengan Bapak-Bapak bangsa, yang memungkinkan dihapuskannya istilah "Bapak-Anak". Karena sejajar, maka semua adalah "Bapak" sekaligus semua adalah "Anak".

Cita-cita tinggal cita-cita. Tanpa menafikkan sama sekali usaha mewujudkan cita-cita tersebut, sulit dipungkiri bahwa perjalanan bangsa ini selanjutnya lebih didominasi warna yang bertentangan dengan cita-cita mulia itu. Keterjajahan selama kurun waktu yang sangat panjang ternyata bukan sekedar melahirkan kemiskinan, kebodohan dan kawan-kawannya, tetapi juga "dendam". Keterjajahan berhasil mempertontonkan betapa nikmatnya menjajah. Dan itulah yang diam-diam merasuk dan mengendap ke alam bawah sadar manusia terjajah. Penjajahan baru, dengan bentuk-bentuknya yang juga baru mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Penjajahan baru itupun selanjutnya melahirkan "dendam" baru dan menjadi seperti lingkaran setan yang membelit bangsa.

Cita-cita mencerdaskan bangsa mesti didengungkan kembali. Mesti digali lagi untuk menemukan format-format baru guna mematahkan mata rantai lingkaran setan bangsa ini. Format-format lama mesti diseleksi ulang, mana yang masih dipakai dan mana yang mesti dibuang jauh-jauh agar bangsa ini bisa lebih segar, lebih cerdas, lebih sadar akan hak-haknya dan lebih tanggap terhadap berbagai macam penjajahan baru yang coraknya jauh lebih beragam dan -bahkan- lebih halus, sehingga sulit terdeteksi. Hanya dengan tingkat kecerdasan yang berkembang dan
terus berkembanglah, manusia bisa mendeteksi untuk selanjutnya menolak penjajahan-penjajahan baru yang juga berkembang.

Kata merdeka pun mestinya dimaknai ulang, bukan hanya sebatas bebas dari penjajahan bangsa lain maupun merdeka-merdeka yang sifatnya artifisial semata. Namun mesti digali makna merdeka yang lebih hakiki, ke arah mana cakrawala pandang manusia dan bangsa diarahkan. Biarkan makna merdeka serta wilayah-wilayah cakupannya berkembang dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi, seirama perkembangan kecerdasan manusia yang tidak semestinya dihambat atas nama apapun. Biarkan tiap orang, melalui berbagai caranya, menggali dan menemukan makna merdeka tanpa harus didiktekan oleh unsur-unsur luar. Dan biarkan pula tiap orang membawa makna merdekanya masing-masing untuk kemudian dirundingkan sampai batas mana ekspresi kemerdekaan, untuk dirumuskan menjadi makna merdeka yang lebih hakiki. Lebih hakiki, artinya lebih dari sebelumnya dan sangat membuka peluang bagi yang lebih lainnya yang mungkin ditemukan dan dirumuskan di masa akan datang. Begitu dan begitu terus, tanpa harus di finalkan makna hakiki itu.

"Jo .. Jo .. nonton lomba panjat pinang yuk !"

Lamunan Paijo buyar oleh ajakan Blothong yang sudah dandan necis.

16 Agustus 2002

Selengkapnya ...

Paijo : Pertanyaan

"Seandainya seluruh lautan dijadikan tinta, tidak akan cukup untuk menuliskan kalimat Allah, meskipun ditambah sebanyak itu lagi tetap tidak akan cukup," kata-kata itu diucapkan dalam bahasa Jawa oleh Kyai Abdullah lima tahun lalu, menjelang beliau memilih pulang ke kampung halaman di hari tuanya. Beliau mengutip sari dari salah satu ayat surat Al-Kahfi yang sampai kini masih terngiang di telinga Paijo.

Kyai Abdullah adalah guru ngaji Paijo semasa masih remaja. Sepintas tidak ada yang istimewa dari Kyai itu. Penampilannya sederhana seperti kebanyakan kyai kampung. Orang bisa langsung menyangka Kyai Abdullah itu orang bodoh, karena beliau hanya lancar ngomong bahasa Jawa, sedang bahasa Indonesianya belepotan, apalagi bahasa Inggris, babar blas. Kalau dipaksa ngomong dalam bahasa Indonesia bisa membuat para 'polisi' EYD tidak henti-henti main semprit.

Berbeda dengan kebanyakan orang, bagi Paijo Kyai Abdullah adalah seorang yang istimewa. Paijo memang hanya beberapa bulan sempat ngaji dengan beliau, namun itu sudah lebih dari cukup untuk meninggalkan kesan yang begitu mendalam serta berpengaruh besar pada diri Paijo. Di balik kekurang mampuannya berretorika, di mata Paijo Kyai Abdullah memiliki kadar intelektual yang luar biasa. Alur logikanya dalam menguraikan Quran maupun hadis begitu tertata rapi dan sulit terbantahkan, apalagi oleh anak-anak muda yang merasa sok pintar dan sok paling Islam. Kalimat yang jadi kenangan abadi Paijo itupun beliau ucapkan dalam menjawab cecaran seorang teman Paijo tentang Islam yang sudah sempurna.

"Sempurna sebagai apa ? sempurna sebagai wahyu, ajaran atau apa ?" begitu pertanyaan yang beliau lontarkan mendahului kutipan ayat surah Al-Kahfi itu.

Pertanyaan, itulah yang selalu disisakan oleh Kyai Abdullah. Setelah mengutip surat Al-Kahfi itupun, beliau tidak meneruskan lagi dengan kalimat apapun. Itu memang ciri khas Kyai Abdullah. Beliau sangat jarang mau menjawab pertanyaan atau menguraikan segala permasalahan secara gamblang dan tuntas. Nampak sekali beliau tidak ingin meng-intervensi benak muridnya atau siapapun saja yang mendengar omongannya. Selalu ada sisa ruang untuk berdialektika antara tiap diri dengan uraian beliau, dengan Quran, dengan sunnah, dengan alam, dengan Allah.

"Ungaran .. Ungaran .. ada Ungaran ???" teriak konek bis di dekat telinga Paijo yang membuyarkan lamunannya.

17 Mei 2002

Selengkapnya ...

Paijo : Subyektivitas

"Om .. Om .. Ilham mau nanya nih Om .." obrolan Paijo cs mendadak terhenti oleh Ilham yang dantang dengan suara berisiknya. Ilham adalah anak bungsu bapak/ibu kos Paijo dan kawan-kawan. Ia baru duduk di kelas 4 SD.

"Hoi Jendral kecil, apa yang bisa kami-kami ini bantu buat jendral ?" Paijo menyahut, tangannya memberi hormat bak seorang tentara sambil mulutnya diplethat-plethotkan.

"Ah, kopral Paijo lagi. Kopral nggak level buat njawab pertanyaan seorang jenderal, wek !" ledek Ilham yang kayaknya dikit-dikit sudah ketularan gaya sablengnya Paijo.

"Kalau nggak level, berarti jenderal salah alamat. Di sini markasnya para kopral, Cil."

"Kok Cil sih. Emangnya kancil ? Ilham timpuk baru tahu rasa !" kata Ilham sambil melotot.

"Kan jenderal kecil ? biar hemat, panggil saja Cil .." kata Paijo lagi masih sambil cengar-cengir.

"Huu .. udah ah, Ilham serius mau nanya nih !" Ilham cemberut.

"Ya deh, ya deh .. mau nanya apa adik Ilham ?" tanya Paijo dengan dibuat-buat lembut.

"Ini Om .. hawa nafsu tuh apaan sih ?" tanya Ilham dengan mimik manja.

"Emangnya kenapa Ham ?" kali ini Rakhmat yang melayani.

"Penasaran aja sih Om. Abisnya, sering banget denger kata itu lewat corong masjid. Pak Guru juga pernah bilang, tapi nggak dijelasin. Di kaset ceramah punya Bapak, juga pernah denger .. "

"Oo.. itu .. " Rakhmat manggut-manggut. "Hawa nafsu itu artinya dorongan, keinginan dari diri kita untuk berbuat yang tidak baik, yang jahat," Rakhmat menjelaskan sambil memegang pundak Ilham.

"Hanya itu Om ?" tanya Ilham sepertinya kurang puas.

"Ya, kurang lebih seperti itu. Masih mau nanya lagi ?"

"Nggak deh, udah cukup. Ilham mau mandi, abis itu nonton power rangers. Makasih ya Om. Buat kopral sableng nggak ada terima kasih, wek !" Ilham berlari sambil meledek Paijo.

"Ha .. ha .. ha .. ," Blothong tertawa ngakak. "Pokoknya besuk kalau Ilham jadi sableng beneran, Paijo yang bertanggung jawab." Paijo yang diledek cuma mesem.

"Mat, kok njawabnya dikit banget ?" Budi yang sedari tadi asyik baca buku nanya.

"Lha mau dijawab kayak apa ? Segitu kan cukup buat anak kecil. Toh dia kelak bisa ngembangin lebih jauh lagi kalau emang anak itu kreatif."

"Nah, sekarang kalau yang nanya aku, gimana. Gimana Jo menurut kamu ?" tanya Budi.

"Gimana apanya ?" Paijo balik nanya.

"Woo telmi .. ya, soal hawa nafsu itu .. "

"Lha Rakhmat kan udah njawab tadi. Dari satu sisi emang seperti itu jawabannya."

"Dari satu sisi. Berarti ada sisi lain lagi kan ? Okey, aku bukan Ilham Jo, jadi, apa sisi laen itu ?" kejar Budi.

"Sisi yang mana lagi ? Ah, kamu aja yang pura-pura nggak tahu Bud !"

"Sedikit banyak, tentu aku juga tahu soal itu Jo. Sebagai orang dewasa, ketertarikanku pada pengertian kata hawa nafsu tentu nggak sama dengan Ilham. Aku pengin tahu pendapatmu tentang seringnya digunakan kata itu dalam "perang" pemikiran, sorry aku pake kata perang."

"Oh itu .. " Paijo bangun dari posisi tidurannya. "Kalau pendapatku sih .. hawa nafsu itu punya dua kaki yang masing-masing kaki berpijak di wilayah yang berbeda."

"Wilayah apaan ?" tanya Budi lagi.

"Ini istilahku sendiri Bud. Kamu bisa cari istilah lain kalau yang ini dianggep nggak pas," kata Paijo. "Wilayah tempat berpijak itu, satu ada di wilayah ruhani yang irrasional, satunya lagi di wilayah rasional."

"Hm .. apaan tuh ?"

"Yang di wilayah ruhani, aku mengikuti yang dibilang Rakhmat tadi tentu dengan penjabaran yang sedikit lebih panjang, sedang wilayah rasionalnya adalah yang kita kenal dengan istilah subyektivitas."

"Upss.. pendapat darimana tu Jo ?" tanya Budi sedikit heran.

"Lha kamu tadi minta pendapat sama siapa, sama hantu ?"

"Nggak .. nggak .. maksudku kamu nyolong pendapat itu darimana ? tapi, udahlah lanjutin aja .. siapa yang punya pendapat toh nggak penting, yang penting pendapatnya."

"Sebelah pijakan hawa nafsu yang di wilayah ruhani itu, mestinya dipakai buat introspeksi diri, dan menurutku sama sekali nggak layak dipake nuding orang lain. Namanya saja di wilayah ruhani, berarti yang tahu hanya orang yang bersangkutan dengan gusti Allah. Nggak ada urusan dengan orang lain," Paijo berhenti sejenak. "Lha kalau kita udah nuding orang laen ngikuti hawa nafsunya, berarti kita udah melampaui wewenang Allah untuk mengetahui sesuatu yang sifatnya rahasia antara orang bersangkutan dengan Allah. Kalo ketemu sama orang yang suka nuding-nuding kayak gitu, tanyain balik aja, emangnya darimana ente tahu si A atau si B itu ngikuti hawa nafsu apa nggak ? Apa Allah sendiri yang mbisiki ke telinga ente ?"

"Trus, yang satunya lagi ?"

"Subyektivitas .. siapa sih orangnya yang nggak lepas dari subyektivitas ? Cendekiawan atau 'ulama mana yang bebas sama sekali dari subyektivitas saat dia melontarkan pemikiran atau pendapat ? Subyektivitas nol itu nonsense !" kata Paijo.

"Kamu siap mempertanggungjawabkan pendapatmu Jo ?" tanya Budi.

"Tentu saja. Kalau ada yang salah, mana ? tolong tunjukin !"

"Nggak kok, aku percaya. Tapi, tentang subyektivitas nol yang menurutmu nonsense itu, bisa jelasin. Paling nggak contohnya lah .. "

"Obyek, apapun dia, bisa informasi benda atau apa saja, kondisi obyektifnya hanyalah selama proses obyek itu masuk ke kita. Tapi ketika kita merefleksi obyek tersebut kondisinya sudah berubah menjadi subyektif."

"Contohnya ?" ganti Blothong yang nanya.

"Kita ambil contoh rumah aja yang dicat dengan beberapa warna. Kondisi obyektifnya rumah itu terdiri dari hijau, kuning, biru misalnya. Dan ketika kita merefleksi warna-warna itu bagus atau nggak serasi atau nggak dan lain sebagainya, di situlah subyektivitas yang ganti ambil peranan."

"Jadi, kalau kita ngomong tentang apa saja, hakikatnya itulah refleksi subyektif kita terhadap satu obyek," Paijo melanjutkan lagi melihat teman-temannya diam menyimak. "Kalau ulama ngomong tentang syariat, hakikatnya itulah syariat menurut subyektivitas sang ulama. Termasuk ketika bicara tentang Allah, hakikatnya itu adalah Allah dalam subyektivitas dia, bukan Allah itu sendiri. Bahwa tiap subyektivitas itu dekat atau jauh dari kebenaran yang hakiki, nggak satu orang atau golongan pun berhak menjatuhkan vonis pada yang selainnya."

7 Mei 2002

Selengkapnya ...

Paijo : Dunia Kecil

Seandainya dunia ini kecil, tentu sangat mengasyikkan. Celakanya, faktanya dunia ini tidak kecil. Dunia ini besar, luas dan sangat kompleks sehingga jadinya tidak asyik. Untungnya, manusia punya kreativitas tersendiri untuk membuat dunia yang tidak asyik itu menjadi asyik. Salah satu cara : ciptakan "dunia" sendiri. "Dunia" kecil yang bisa kita atur sesuai kemauan kita. Bisa kita aduk-aduk, kita jungkir-balikkan sesuai selera kita. Maka terciptalah "dunia"-"dunia" kecil baru di atas dunia yang besar dan luas. "Dunia" itu bisa berlatar belakang dan bernama macam-macam.

Orang boleh saja mencibir, mengecam bahwa "dunia"-"dunia" kecil itu hanyalah sarana pelarian. Tapi, tidak bisa dipungkiri bahwa "dunia"-"dunia" kecil itu bisa bermanfaat untuk menjaga kepercayaan terhadap kehidupan. "Dunia" kecil juga bisa berfungsi sebagai oposan, penyeimbang terhadap dunia besar yang -bisa jadi- kesebalan terhadapnya sudah mencapai titik kulminasi. Dan jangan-jangan, orang yang mencibir dan mengecam itu secara tidak sadar sudah menghuni satu "dunia" kecil sendiri, paling tidak sedang membangunnya.

Paijo bukanlah kekecualian dari kecenderungan seperti itu. Di balik keteguhan sikapnya untuk tidak mau terjebak dalam lingkaran "dunia"-"dunia" kecil, toh dia sedang dan telah menciptakan "dunia" kecilnya sendiri. "Dunia" kecil yang dia bangun bersama teman-temannya satu kamar kos. "Dunia" yang bisa membuatnya betah bertahun-tahun menjadi penghuninya. "Dunia" yang punya corak tersendiri, berbeda dengan dunia sungguhan di luarnya.

Salah satu keasyikkan yang bisa Paijo dapat dari "dunia" kecilnya adalah, bahwa di situ menganut prinsip "biarlah yang berbeda tetap berbeda". "Dunia" kecil itu juga penuh dengan iklim kebebasan dan sikap hidup egaliter yang merupakan elemen terpenting demokrasi. Kalaupun di situ Rakhmat diangkat bersama-sama menjadi ketua, hal itu sama sekali tidak menghilangkan prinsip egalitarian yang dianut bersama. Fungsi utama ketua dalam "dunia" kecil itu adalah menjaga tetap berlangsungnya iklim demokrasi. Juga, pada saat-saat tertentu menjadi wasit jika terjadi kebebasan salah satu penghuni melanggar kebebasan penghuni yang lain. Namun, wasit di sini tentu berbeda dengan wasit sepakbola, yang keputusannya tidak bisa diganggu gugat. Wasit di "dunia" kecil itu tetap bisa digugat, jika keputusannya dianggap merugikan salah satu pihak. Jika debat soal keputusan wasit menemui jalan buntu, ada jalan lain yang bisa ditempuh : voting.

Keasyikan lain yang didapat Paijo adalah di "dunia" nya itu topik-topik yang jadi obrolan sangat berwarna. Mulai dari kebudayaan, politik, ekonomi, agama, tekhnologi, olahraga silih berganti mengisi ruang obrolan mereka. Kalau pakai term "hanya yang ahlinya yang boleh ngomong", maka "dunia" kecil Paijo itu seolah meludahi term tersebut. Apalagi kalau term itu masih harus diembel-embeli legitimitas akademis tertentu untuk bidang tertentu pula. Paling hanya Rakhmat
yang memenuhi syarat untuk ngomong soal agama, atau Budi yang calon insinyur itu yang memenuhi syarat ngomong soal tehnik mesin. Lha, kalau Paijo sama sekali tidak bisa memenuhi syarat apapun untuk ngomong apa saja, karena keahlian utama Paijo hanyalah "waton njeplak". Semangat "waton njeplak" itulah yang melatar belakangi Paijo maunya terlibat ngobrol dalam topik apapun. Kalau diprotes, paling keluar jurus andalan selanjutnya : "ngeyel".

Ssstttt .. diam-diam Rakhmat, Budi dan Blothong memperhatikan, ada satu topik yang selalu dihindari Paijo. Topik yang dihindari itu berkaitan dengan perempuan. Tentu saja bukan perempuan sebagai ibu atau anak. Paijo selalu berusaha mengalihkan kalau topik sudah mengarah ke sana. Jika gagal, dia pura-pura tidur atau ngeloyor pergi. Paijo sepertinya punya pengalaman traumatis dengan makhluk yang bernama perempuan itu.


6 Mei 2002

Selengkapnya ...