BBM, akronim tiga huruf yang begitu banyak menyita perhatian kita belakangan ini. Banyak orang yang nampaknya pintar-pintar ngomong di media, tentang ini-itu seputar BBM. Dan celakanya semuanya seolah-olah benar. Nampaknya dan seolah-olah. Ya, karena saya tidak pernah benar-benar bisa tahu mana yang benar-benar “benar”, dan mana yang benar-benar “salah”, atau bahkan mana orang yang benar-benar pintar. Bagi orang ‘bodo’ seperti saya terlalu serius memikirkan yang nampaknya dan seolah-olah seperti itu hanya akan membuat BBM yang lain, Benar-Benar Mumet.
Sedang asyik-asyiknya ‘merapal’ ajian ‘anti Benar-Benar Mumet’, mendadak terlintas bayangan ibu-ibu yang lagi curhat satu sama lain. Soal apalagi kalau bukan naiknya harga-harga kebutuhan pokok akibat naiknya harga BBM, dan kaum ibu-ibulah yang bersentuhan langsung dengan itu. Dari yang semula uang belanja dimepet-mepetkan alias dihemat agar ada sisa buat tabungan, akhirnya jadi BBM, Benar-Benar Mepet. Dari yang semula udah mepet dan harus gali lubang tutup lubang untuk memenuhinya, akhirnya jadi BBM juga, Benar-Benar Minus.
Selesai bayangan ibu-ibu, muncul bayangan bapak-bapak. Ya, bapak-bapak yang dalam kultur masyarakat kita masih dianggap sebagai tulang punggung bahkan penanggung jawab satu-satunya nafkah keluarga. Kemumetan kaum ibu-ibu sudah pasti berimbas pada bapak-bapak. Penghasilan tidak naik, tapi angka-angka yang harus dipenuhi untuk kebutuhan sehari-hari naik tajam. Hanya saja, kebanyakan bapak-bapak merasa gengsi untuk curhat. Biasanya lebih memilih nongkrong, melewatkan malam bersama ‘geng’-nya. Ngobrol sana-sini, sampai akhirnya mengeluarkan lembaran lima ribuan sampai duapuluh ribuan. Dikumpulkan jadi satu, dan “sim salabim .. abrakadabra”, lembaran-lembaran uang itu berubah jadi botol-botol minuman. Dinikmati bersama sambil ngobrol sampai BBM, Benar-Benar Mabuk.
Entah kenapa bayangan saya tidak mau berhenti sampai di situ. Muncul bayangan bayi dan balita, yang karena berbagai hal sudah tidak lagi minum ASI, tapi susu formula. Jatah susu terpaksa dimepet-mepetkan juga. Bisa dikurangi takarannya, dioplos antara susu formula yang biasa dengan merk atau jenis lain yang lebih murah, atau malah diganti sama sekali dengan yang lebih murah. Akhirnya banyak bayi dan balita yang BBM, Benar-Benar Mencret.
Apapun dampak kenaikan harga BBM nanti, saya hanya bisa berharap dan berdoa semoga tidak ada yang jadi putus asa dan nekat mengkonsumsi obat nyamuk cair yang bisa berakibat BBM, Benar-Benar Modar.
Itu BBM-ku, mana BBM-mu ?
Saat mau mengakhiri tulisan tidak jelas ini, kok ya ‘ndilalah’ saya baca pesan di ‘inbox’, “minta pinnya dunk.. BBM-an yukk..” Sebuah pesan yang biasa-biasa saja, bahkan bisa jadi menyenangkan jika yang mengirim pesan itu ternyata seorang makhluk cantik. Tapi bagi saya yang tidak pegang BB, pesan seperti itu seperti sebuah ledekan serius. Kali ini sayapun BBM, Benar-Benar Mendelik!
Padepokan Gerilya, 28 Maret 2012
Sedang asyik-asyiknya ‘merapal’ ajian ‘anti Benar-Benar Mumet’, mendadak terlintas bayangan ibu-ibu yang lagi curhat satu sama lain. Soal apalagi kalau bukan naiknya harga-harga kebutuhan pokok akibat naiknya harga BBM, dan kaum ibu-ibulah yang bersentuhan langsung dengan itu. Dari yang semula uang belanja dimepet-mepetkan alias dihemat agar ada sisa buat tabungan, akhirnya jadi BBM, Benar-Benar Mepet. Dari yang semula udah mepet dan harus gali lubang tutup lubang untuk memenuhinya, akhirnya jadi BBM juga, Benar-Benar Minus.
Selesai bayangan ibu-ibu, muncul bayangan bapak-bapak. Ya, bapak-bapak yang dalam kultur masyarakat kita masih dianggap sebagai tulang punggung bahkan penanggung jawab satu-satunya nafkah keluarga. Kemumetan kaum ibu-ibu sudah pasti berimbas pada bapak-bapak. Penghasilan tidak naik, tapi angka-angka yang harus dipenuhi untuk kebutuhan sehari-hari naik tajam. Hanya saja, kebanyakan bapak-bapak merasa gengsi untuk curhat. Biasanya lebih memilih nongkrong, melewatkan malam bersama ‘geng’-nya. Ngobrol sana-sini, sampai akhirnya mengeluarkan lembaran lima ribuan sampai duapuluh ribuan. Dikumpulkan jadi satu, dan “sim salabim .. abrakadabra”, lembaran-lembaran uang itu berubah jadi botol-botol minuman. Dinikmati bersama sambil ngobrol sampai BBM, Benar-Benar Mabuk.
Entah kenapa bayangan saya tidak mau berhenti sampai di situ. Muncul bayangan bayi dan balita, yang karena berbagai hal sudah tidak lagi minum ASI, tapi susu formula. Jatah susu terpaksa dimepet-mepetkan juga. Bisa dikurangi takarannya, dioplos antara susu formula yang biasa dengan merk atau jenis lain yang lebih murah, atau malah diganti sama sekali dengan yang lebih murah. Akhirnya banyak bayi dan balita yang BBM, Benar-Benar Mencret.
Apapun dampak kenaikan harga BBM nanti, saya hanya bisa berharap dan berdoa semoga tidak ada yang jadi putus asa dan nekat mengkonsumsi obat nyamuk cair yang bisa berakibat BBM, Benar-Benar Modar.
Itu BBM-ku, mana BBM-mu ?
Saat mau mengakhiri tulisan tidak jelas ini, kok ya ‘ndilalah’ saya baca pesan di ‘inbox’, “minta pinnya dunk.. BBM-an yukk..” Sebuah pesan yang biasa-biasa saja, bahkan bisa jadi menyenangkan jika yang mengirim pesan itu ternyata seorang makhluk cantik. Tapi bagi saya yang tidak pegang BB, pesan seperti itu seperti sebuah ledekan serius. Kali ini sayapun BBM, Benar-Benar Mendelik!
Padepokan Gerilya, 28 Maret 2012