Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Wednesday, June 18, 2008

Rengeng-Rengeng: Mbah Maridjan

Rengeng-Rengeng: Mbah Maridjan

Jika ada orang yang namanya dengan sangat mendadak menjadi begitu populer, salah satunya adalah Mbah Maridjan. Mbah Maridjan, seolah sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari berita seputar bergolaknya Merapi.

Tentu pendapat bisa sangat beragam mengenai sosok bernama Mbah Maridjan ini. Namun, ada yang menarik dari sosok Mbah Maridjan ini. Keyakinannya, keteguhan pendiriannya, dan ketidak inginannya memaksa orang untuk mempercayai dan mengikutinya, baik paksaan terang-terangan, maupun paksaan halus yang bisa saja berupa ancaman ghaib.

Lepas dari benar-salahnya apa yang diyakini Mbah Maridjan, lepas dari pendapat apakah keyakinan Mbah Maridjan itu tahayul atau pengetahuan intuitif, bagi saya, Mbah Maridjan adalah contoh yang baik bagaimana seseorang mesti menjalani dan “memperlakukan”
keyakinannya. Seseorang yang benar-benar sudah yakin, tidak perlu lagi meyakin-yakinkan dirinya, tidak mesti gentar menghadapi kenyataan bahwa dia sendirian dengan keyakinan tersebut, tidak perlu merancang penampilan dan gaya bicara agar membuat orang tertarik dan
mengikutinya, serta tidak perlu menebar ancaman baik fisik maupun psikis terhadap orang lain yang tidak meyakini hal yang sama. Yang melakukan sebaliknya, bagi saya, sebenarnya bukanlah orang yang yakin, tapi sekedar meyakin-yakinkan diri dan tidak pede dengan keyakinannya.

Mbah Maridjan, bagi saya, adalah semacam selingan yang sangat menyegarkan, di mana berita-berita baik di media cetak maupun elektronik tiap harinya didominasi oleh orang atau kelompok orang yang sedang mendemonstrasikan ketidak yakinannya dengan meyakin-yakinkan diri beramai-ramai.

Mbah Maridjan, bagi saya, seperti sedang mentertawakan, bagaimana demonstrasi keyakinan tentang Tuhan dan agama seperti barang “ecek-ecek” di depan mistisisme Merapi a la Mbah Maridjan.

22 Mei 2006

Selengkapnya ...

Rengeng-Rengeng: Tak Berjudul

Jika anda penggemar sepakbola dan rajin mengikuti berita-berita seputar sepakbola, tentu mengetahui berita mundurnya Presiden FIGC (PSSI-nya Italia) Franco Carraro, disebabkan bocornya pembicaraan telepon antara Luciano Moggi, petinggi Juventus dengan ketua Komisi Wasit Seri-A, yang ditengarai sebagai skandal mafia wasit di Seri-A. Mundurnya Carraro, yang sebenarnya tidak terlibat dalam skandal tersebut, barangkali merupakan wujud tanggung jawabnya sebagai pucuk pimpinan yang gagal mewujudkan kinerja yang bersih dan professional di seluruh jajarannya.

Sepakbola, memang sekedar sebuah permainan. Meskipun pada perkembangannya bisnis sampai dengan nasionalisme turut terlibat di dalamnya, tetap saja sepakbola basik-nya adalah permainan. Apa yang terjadi di persepakbolaan Italia itu menunjukkan, bahwa meskipun yang diurus “hanya” sebuah permainan, tapi jika sudah menyangkut urusan dan tanggung jawab dengan publik, setidaknya publik persebakbolaan, harus ditangani dengan sungguh-sungguh dan profesional. Bahwa, tetap selalu ada tanggung jawab moral jika itu sudah berurusan dengan public, meskipun untuk sebuah permainan.

Mengharapkan sikap seperti Carraro dapat ditunjukkan oleh pengurus PSSI, rasa-rasanya hampir mustahil. Barangkali, karena begitu dalamnya penghayatan para pengurus itu mengenai kata “permainan”, sehingga mengurus sepakbola pun tidak perlu terlalu sungguh-sungguh. “Cincay … lah … toh cuman permainan …,” begitu mungkin kurang lebihnya.

Pengurus PSSI sebenarnya tidak selalu “salah”. Paling tidak mereka sekedar menjalankan kebiasaan seperti orang kebanyakan. Jangan kan untuk urusan permainan seperti sepakbola, lha wong untuk urusan yang bukan permainan, seperti urusan negara, hukum dan sebagainya pun jarang ditangani secara sungguh-sungguh dan profesional, meskipun kemungkinan besar akan marah kalau disebut main-main. Jadinya, main-main tidak diakui, sungguh-sungguh-pun tidak. Jadinya lagi, dibilang lawakan, kok sepertinya tidak pantas, tapi dibilang bukan lawak, kok terkadang menjungkir-balikkan logika seperti sebuah lawakan.

Saat awal-awal munculnya wacana untuk mengadili Suharto, mengingat reputasi para politisi dan penyelenggara negara di negeri ini, saya sudah mulai berpikir “ini beneran apa main-main”. Dan, entah beneran atau main-main, yang pasti wacana itu munculnya –seolah- tiba-tiba, langsung mencuat dan memaksa banyak orang ikut angkat bicara, kemudian dalam waktu singkat mencapai anti klimaksnya (atau malah klimaks bagi sementara orang). DPR menyatakan
menyerahkan pada eksekutif dan yudikatif, SBY membuat statemen mengendapkan dan Jaksa Agung, bawahan SBY membuat langkah lebih “maju” dengan menghentikan proses hukum terhadap Suharto. Dan di luar sana, ada orang parpol, anggota legislatif yang pura-pura galak, seolah-olah tidak menyetujui tindakan eksekutif, namun tidak melakukan tindakan apa-apa yang sebenarnya sangat dimungkinkan dalam kapasitasnya masing-masing.

Dan pentas lawakan itu menjadi kian sempurna, saat Kejaksaan Agung menyatakan, yang intinya bahwa dengan dihentikannya tuntutan terhadap Suharto maka kroni-kroninya juga tidak lagi bisa dituntut, karena kroni-kroni itu sekedar menjalankan perintah Suharto. Padahal, belum lama Polycarpus bisa dituntut, diadili dan dijatuhi hukuman tanpa orang yang menyuruhnya mampu tersentuh oleh hukum.

Saya sebenarnya pengin tertawa terbahak bahak menyaksikan pentas lawakan seperti itu. Namun, saya tidak terlalu tega untuk benar-benar tertawa. Karena, pertama apa yang dilawakkan itu sebenarnya masalah yang sangat serius, kedua karena lawakan itu terjadi bertepatan dengan sewindu Tragedi Semanggi. Tragedi yang gaungnya sudah tidak begitu terasa lagi, yang peringatannya sudah terasa begitu hambar.

Dan .. itulah yang terjadi pada bangsa ini, bangsa yang pemuka-pemukanya tak pernah kering bibirnya untuk menyebut nama Tuhan, dan menegas-negaskan diri sebagai bangsa yang ber-Tuhan. Inilah wajah bangsa yang –konon- sangat konsern pada masalah moral, sampai pada
moral individu rakyatnya pun juga mau diurus.

Di kejauhan sana, sayup-sayup terdengar lantunan lagu Iwan Fals …

Masalah moral
Masalah akhlak
Biar kami cari sendiri

Urus saja moralmu
Urus saja akhlakmu
Peraturan yang sehat yang kami mau



14 Mei 2006

Selengkapnya ...

Rengeng-Rengeng: RUU APP 2006 ... Weleh

Ketika ‘booming’ buku-buku dan VCD Harun Yahya beberapa tahun lalu, saya sempat dihinggapi kekhawatiran. Bukan khawatir akan adanya penemuan-penemuan baru a la Harun Yahya yang meruntuhkan penemuan-penemuan sebelumnya (karena memang tidak ada sama sekali penemuan baru dari Harun Yahya, kecuali polesan ulang dari faham kreasionis fundamentalis Kristen), tapi saya khawatir dampaknya terhadap pola pikir kaum muslimin pada umumnya.

Kekhawatiran saya sedikit banyak terbukti. Mulai ada pemahaman pada sebagian kaum muslimin, bahwa –ini interpretasi saya- tidak sempurna ke-Islam-an seseorang jika tidak mempercayai faham kreasionis, dan yang menerima evolusi berarti menganut (setidaknya terpengaruh) faham materialisme-atheisme.

Oke, saya tidak akan membahas evolusionis – kreasionis lebih jauh, tapi saya akan membahas pola pikir –sebagian- kaum muslimin yang mulai terjebak dalam logika hitam-putih, kalah-menang, kami-mereka, Islam-kafir, menguasai-dikuasai dan seterusnya. Memang, pola pikir seperti itu sebenarnya sudah lama ada tanpa kehadiran Harun Yahya, namun sedikit banyak Harun Yahya turut andil makin meng-kristal-kannya, dan muncul sebagai ‘New Hero’ bagi sebagian kaum muslimin.


Sebenarnya setiap orang bebas memilih pola pikir seperti apa yang mau dia anut. Namun ketika pola pikir (dalam hal ini pola pikir hitam-putih) dibawa ke ruang publik, tentunya timbul masalah besar. Pola pikir hitam-putih cenderung melahirkan konflik, permusuhan dan perpecahan. Sedangkan ruang publik, mestinya diatur dengan semangat ‘sharing’ dan saling mau
kompromi (dalam arti mau menahan diri dan legawa terhadap pihak lain). Tanpa semangat ‘sharing’ dan mau kompromi, area publik hanya akan menjadi area pertarungan, saling jegal, upaya menguasai, dan mata rantai balas-dendam.

Contoh mutakhir dan paling gamblang dari pola pikir hitam-putih yang potensial melahirkan konflik itu adalah RUU APP 2006. RUU APP 2006 benar-benar mengkhianati semangat ‘sharing’ dan mau kompromi. Lebih parah lagi, cara meng-gol-kan RUU APP 2006 dipenuhi disinformasi yang sangat jahat. Bahwa, penentang RUU APP 2006 adalah kaki tangan pengusaha media, pendukung pornografi sampai dengan mendapat biaya dari Amerika Serikat sangat jamak ditemui, terutama di mailing-list.

Bagaimana bisa dipercaya bahwa RUU APP 2006 semangatnya mencegah kerusakan moral, jika upaya penge-gol-annya sudah meludahi kaidah moral yang sangat mendasar? Saya tidak mengerti, barangkali mem-fitnah dan melakukan kebohongan publik (disinformasi) itu bukan merupakan kejahatan moral bagi pengusung dan pendukung RUU APP 2006. Kalau begitu, moral seperti apa yang ingin ditegakkan?

Barangkali para perumus RUU APP 2006 itu perlu istirahat dulu jadi wakil rakyat. Lebih baik mereka kursus dasar-dasar demokrasi dan Hak Azasi Manusia dahulu, agar tidak menerbitkan RUU yang memalukan. Barangkali mereka perlu belajar lagi, apa itu ruang privat dan ruang publik. Barangkali mereka perlu belajar memahami bahwa meruyaknya pornografi di ruang publik mestinya diatur dengan suatu aturan agar pornografi tidak berseliweran seenak udel-nya di ruang publik, di mana ruang publik itu juga berisi orang-orang yang tidak menyukai pornografi, dan yang lebih penting lagi, di sana ada anak-anak. Tapi, saya tidak yakin mereka mengerti hal itu.

Saat mau menyudahi tulisan ini, tiba-tiba seperti ada yang membisiki saya “Sssttt .. RUU APP kan sebenarnya sekedar politik ‘dagang sapi’. Nih, lu gua kasih ini. Tapi, lu kasih gua yang itu yah?”

Weleh …

9 Mei 2006

Selengkapnya ...

Rengeng-Rengeng: Duh, MUI ....

[5.8] Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Kalau seandainya ditanya, setujukah saya dengan faham Ahmadiyah, tentunya saya jawab "tidak setuju!", terutama terhadap Ahmadiyah Qadiyani yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi. Begitu pula jika ditanya setuju atau tidaknya terhadap (aqidah/dogma) agama Kristen, Hindu, Budha, atau bahkan ateisme serta aliran-aliran lain dalam Islam, tentu saya jawab "tidak setuju!'", karena buktinya saya masih menganut agama Islam sesuai yang saya fahami. Secara manusiawi, ketidak setujuan saya sedikit banyak tentu menimbulkan rasa tidak suka. Ketimbang Ahmadiyah yang maju dan berkembang, saya lebih suka faham yang saya anut
yang berkembang. Ketimbang agama Kristen, Hindu, Budha, dan lainnya, tentu saya lebih senang melihat Islam yang berkembang pesat melebihi agama-agama lainnya.

Saya punya hak penuh untuk setuju/tidak setuju maupun suka/tidak suka terhadap segala sesuatu, termasuk suatu agama dan aliran agama. Dan saya akan protes keras serta melakukan perlawanan sedaya upaya, jika dipaksa harus setuju/tidak setuju atau suka/tidak suka terhadap sesuatu. Ini pikiran saya, ini pendapat saya, dan ini keyakinan saya! Tak satu orang pun berhak ikut campur, dalam pengertian sengaja menghambat atau memaksa ke suatu arah tertentu.

Inilah salah satu hak paling azasi bagi tiap manusia. Suatu hak yang tidak pada tempatnya dirampas oleh siapapun dengan dalih apapun. Hak seperti ini sekaligus mengandung konsekuensi suatu kewajiban, yakni kewajiban untuk menghormati hak-hak orang lain yang sama dan serupa. Dengan hanya mau menuntut hak, tanpa mau menunaikan kewajiban untuk menjaga hak orang lain, sungguh merupakan suatu sikap egois dan zhalim.

Dalam kasus penyerangan dan pengrusakan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), sikap pengecaman terhadap tindakan tersebut lebih sering dipelintir sebagai pembelaan terhadap faham Ahmadiyah, pembelaan terhadap aliran -yang dianggap- sesat. Substansi pembelaan yang berupa pembelaan terhadap hak meyakini dan menjalankan agama/kepercayaan sesuai keyakinan masing-masing, seperti sengaja dikaburkan.

Dalam sistem demokratis, secara normatif, MUI atau siapapun berhak untuk mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah (atau aliran) lain sesat, karena ini merupakan hak berpendapat yang juga dimiliki MUI. Namun, di sisi lain Ahmadiyah, atau siapapun yang divonis sesat oleh MUI, juga punya hak untuk membela diri dan menyatakan pendapat tanpa boleh dihalang-halangi oleh siapapun. Jika, MUI setelah mengeluarkan fatwa kemudian 'merayu' otoritas negara untuk mendukung ataupun mengimplementasikan fatwanya, sungguh ini suatu sikap pengecut yang tidak pantas disandang oleh orang yang bergelar -atau menggelari dirinya- ulama.

Beranikah MUI mempertahankan fatwanya dalam debat publik dengan Ahmadiyah ataupun aliran lain yang difatwa sesat? Saya tidak yakin, sebab MUI belum menunjukkan suatu kemajuan sejak menggelar 'pengadilan' sepihak terhadap aliran Syiah beberapa tahun yang lalu. Dan sungguh, saya hanya bisa mengelus dada melihat lembaga yang mengklaim dirinya
sebagai pembimbing serta teladan umat ini tidak kunjung beranjak dewasa, serta masih sanggup mempertontonkan (setidaknya diam terhadap) suatu kezhaliman yang sangat telanjang. Duh, MUI .....

2 Agustus 2005

Selengkapnya ...

Rengeng-Rengeng: Dari Unyil ke Sinchan

Bagi yang sempat mengalami masa kanak-kanak di era 80-an pasti cukup akrab dengan tokoh Unyil. Unyil, boleh dibilang merupakan salah satu tokoh yang sangat akrab bagi masyarakat Indonesia waktu itu, khususnya anak-anak. Unyil adalah gambaran anak Indonesia teladan, anak yang sangat patuh pada ajaran "moral" Pancasila. Singkatnya, Unyil adalah gambaran anak Indonesia yang "almost perfect".

Unyil sama dengan Sinchan (lho .. Sinchan???), kalau dilihat dari kenyataan bahwa dia hanya tokoh rekaan. Rekaan, artinya dia tidak benar-benar ada di alam nyata. Dia hanya "ciptaan" yang selanjutnya menjadi alat untuk menyampaikan pesan dari si "pencipta". Itulah kesamaan antara Unyil dan Sinchan, dan dengan sangat terpaksa kita harus rela berhenti sampai di situ jika kesamaan yang masih ingin kita lihat. Karena selanjutnya yang kita temui adalah deretan perbedaan yang lumayan panjang.

Di urutan paling atas di antara deretan perbedaan yang bisa ditemui itu ialah "era". Tapi, tunggu .. "era" di sini jangan hanya dipahami sebatas kurun waktu tertentu. "Era" di sini bermakna lebih luas antara kurun waktu lengkap dengan bangunan sosial-politik-budaya nya. Unyil lahir di era ketika segala sesuatu harus melalui "restu Bapak". Artinya, Unyil bisa sukses lahir dan hadir ke hadapan jutaan pemirsa melalui satu-satunya stasiun televisi waktu itu setelah lulus ujian. Pun, Unyil bisa digemari masyarakat, khususnya anak-anak ketika praktis tidak ada pesaing lainnya. Pesaing lain bisa jadi tidak dapat muncul ke permukaan karena gagal mendapat "restu Bapak". Sinchan jelas berbeda. Sinchan lahir di era yang relatif lebih terbuka. Untuk bisa merebut hati masyarakat, Sinchan mesti bersaing secara fair dengan pesaing-pesaing lain yang juga mendapat kesempatan yang sama.

Unyil, karena seperti yang disinggung di atas, relatif tidak ada resistensi dari masyarakat. Unyil bisa diterima -seolah- apa adanya di tengah-tengah masyarakat yang sudah sangat akrab dengan sensor, masyarakat yang terbiasa diseragamkan, masyarakat yang nyaris tidak punya alternatif selain menerima apa yang sudah digariskan "Bapak". Sinchan sebaliknya. Kehadiran Sinchan menimbulkan kontroversi, terutama karena Sinchan dianggap membawa nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai yang dianut sebagian masyarakat, yang notabene merupakan warisan
era "restu Bapak". Namun begitu, Sinchan tidak serta merta lenyap dari peredaran. Sinchan tetap bisa 'survive' dan eksis meskipun akhirnya harus rela kompromi dengan adanya pembatasan-pembatasan.

Watak Generasi

Sebegitu pentingnya kah fenomena Unyil dan Sinchan ini sehingga mesti diperhatikan? Bisa iya, bisa juga tidak. Bisa tidak penting, jika kita menganggap fenomena Unyil dan Sinchan hanya sebatas variasi atau pergeseran selera tontonan. Tapi bisa penting, bahkan sangat penting, jika kita mau melihat bahwa tontonan serta sejauh mana dia bisa diterima, sama sekali tidak lepas dari sebab-akibat. Dan status penting ini bisa meningkat jadi 'urgent' (mendesak) jika kita mau mengamati sebab-akibatnya secara luas, terutama menyangkut pergeseran ataupun perubahan nilai, perubahan watak suatu generasi, perubahan sosial, politik dan sebagainya.

Khusus mengenai Sinchan, jika kita jeli mengamati, Sinchan sebenarnya bukan sekedar tontonan baru yang lebih segar. Dalam skala fenomena perubahan-perubahan secara luas, Sinchan sebenarnya sudah menjadi simbol. Simbol perubahan itu sendiri dan juga pada akhirnya simbol dari watak suatu generasi. Berbeda dengan Unyil yang bisa dianggap sebagai simbol generasi yang pasrah serta patuh pada apa-apa yang sudah digariskan dari atas, Sinchan adalah simbol dari watak generasi yang memilih mencari nilai-nilai baru. Generasi yang sudah muak dengan
pendiktean. Generasi yang melek informasi, dan berarti juga jauh lebih cerdas dibanding generasi Unyil. Generasi yang jauh lebih pede pada kemampuan serta nilainya sendiri, ketimbang menelan mentah-mentah nilai yang dijejalkan.

Pada akhirnya, generasi Sinchan akan terlihat sebagai generasi yang penuh dengan enerji perubahan. Enerji yang akan menimbulkan efek 'bola salju', menggelinding dan terus menggelinding semakin besar, untuk pada akhirnya melibas setiap penghalang terhadap enerji perubahan. Generasi Sinchan inilah yang beberapa waktu lalu sukses menumbangkan Megawati
yang -notabene- didukung oleh dua parpol terkuat di tanah air.

Setiap orang sah-sah saja jika memiliki pandangan sendiri-sendiri. Termasuk sah juga jika memandang remeh pada fenomena generasi Sinchan. Setiap pandangan dan sikap toh memiliki konsekuensi yang akan kembali ke masing-masing diri. Ketidak mampuan serta keengganan menangkap "sinyal dini", dampaknya juga akan kembali ke masing-masing orang. Jika "sinyal
dini" itu diabaikan, kemudian sampai pada saat "bola salju" itu sudah sampai di hadapan kita serta pada akhirnya melibas kita, saat itulah penyesalan sudah sangat terlambat.

11 Desember 2004

Selengkapnya ...

Rengeng-Rengeng: Idul Fitri, Superman dan Power Rangers

Beberapa tahun lalu dengan sangat bersemangat saya membawa pulang VCD Superman. Untuk apa? Tentu untuk menyenangkan anak saya yang memang menggemari tontonan heroik. Tapi tak berapa lama saya lemas ketika anak saya tidak sedikitpun menunjukkan sikap antusias saat VCD mulai diputar. Anak saya hanya betah nonton beberapa menit untuk kemudian ngeloyor main lagi.

Tentu saja respons "negatif" anak saya itu menimbulkan rasa penasaran. Akhirnya saya kejar anak saya dengan beberapa pertanyaan sepulang main tentang ketidak-tertarikannya terhadap VCD Superman.

"Nggak masuk akal," begitu alasannya singkat. Walah, anak 5 tahunan (waktu itu) sudah bisa bilang "nggak masuk akal". Terus saya kejar lagi, "Emangnya Power Rangers (tontonan favorit-nya) itu masuk akal?"

"Ya masuk akallah, kan berubah dulu, terus berubah lagi jadi robot .. " kurang lebih begitu "argumennya" tentang masuk akal.

"Argumen" anak saya memang belum bisa disebut argumen, karena justru aneh jika anak 5 tahunan bisa memaparkan argumentasi secara runut dan terperinci. Tapi, dari "argumen" singkat itu setidaknya saya sudah bisa meraba dan mengerti seperti apa kurang lebihnya "bangunan" benak anak saya.

Oke .. memang saya belum berani menyimpulkan bahwa anak saya bisa merepresentasikan anak-anak Indonesia yang seusia pada umumnya. Namun jujur, waktu itu saya merasa tidak sedang berhadapan dengan seorang anak saya saja, melainkan seperti berhadapan dengan "bayangan" jutaan anak-anak. Jutaan anak-anak yang "bangunan" imajinasinya sudah berbeda
dengan masa kanak-kanak saya.

Dari substansinya tidak ada yang berbeda jauh antara Superman dan Power Rangers. Ada penyerang dan pembela bumi, ada si penghancur dan sang penyelamat, ada si jahat dan si baik, ada pesakitan dan pahlawan. Namun toh tokoh-tokoh -yang merupakan simbol- serta bagaimana si tokoh itu sudah mengalami perubahan dan -dengan sendirinya- perbedaan.

Imajinasi masa kanak-kanak saya sudah cukup terpuaskan dengan asal-usul Superman yang dari planet antah-berantah, mengalami kehancuran, terus dikirimkan ke bumi dengan membawa kekuatan super-nya yang sudah merupakan bawaan orok atau warisan dari nenek moyangnya. Sedang imajinasi kanak-kanak anak saya lebih bisa terpuaskan dengan adanya proses-proses bagaimana kekuatan itu terbangun. Imajinasi kanak-kanak saya cukup terpuaskan dengan sesuatu yang -seperti- "mak bleg" turun dari langit sudah jadi, sedang imajinasi kanak-kanak anak saya tidak.

Peristiwa keseharian yang saya alami dengan anak saya itu memang bukan satu-satunya, tapi tetap merupakan salah satu yang cukup berpengaruh, yang membuat saya tidak pernah berhenti berpikir tentang pendidikan alternatif bagi anak-anak, khususnya pendidikan agama (sayang, karena keterbatasan saya, sampai sekarang saya belum bisa merumuskan pendidikan
alternatif tersebut, dan tetap saja -sampai sekarang- hanya berupa kerangka besar dan kasar).

Dulu ketika masih kanak-kanak mendengar dongeng dari guru agama tentang keajaiban-keajaiban, bisa mendatangkan kekaguman yang luar biasa. Kisah Nabi yang terbang menunggang bouraq (semacam kuda terbang) sudah cukup menimbulkan kekaguman luar biasa. Begitupun kisah Adam yang "mak bleg" turun dari surga ke dunia, di susul penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam, maupun kisah-kisah lain. "Allah Maha Kuasa", "Allah Maha Berkehendak", "Kun Fayakun", dan seterusnya cukup untuk memuaskan pertanyaan masa kanak-kanak saya. Apakah kisah dan cara penyampaian yang sama bisa juga memuaskan anak-anak sekarang? Saya tidak tahu persis, tapi -jujur saja- saya pesimis.

Kebetulan selama bulan Ramadhan kemarin ada salah satu stasiun televisi yang tiap hari memutar sinema tentang keajaiban-keajaiban yang -katanya- merupakan kisah nyata. Well, saya tidak ingin meributkan tayangan seperti itu, saya hanya ingin bilang bahwa tiap kali nonton tayangan tersebut saya seperti ber-nostalgia dengan masa kanak-kanak. Masa-masa ketika gampang terpukau dengan hal-hal yang ajaib.

Kini, Ramadlan telah berlalu dan Idul Fitri telah dirayakan di mana-mana. Tentu tiap orang bisa berbeda-beda bagaimana menyambut dan memaknai Idul Fitri. Secara pribadi, saya memaknai Idul Fitri sebagai momen untuk melihat dan berkaca pada sisi kemanusiaan paling mendasar
pada setiap diri. Idul Fitri, kembali kepada "fitrah", "asal mula kejadian", yang merupakan dasar ataupun -semacam- "starting point" bagi tiap manusia dalam melangkah menapaki hidup selanjutnya. Seberapa baik langkah seseorang di kemudian hari, tergantung sejauh mana "fitrah"-nya tercerahkan, sehingga terus-menerus bisa jadi tempat "berkaca" dan sebagai penuntun langkah-langkah di masa mendatang. "Fitrah" itulah diri kita yang sejati, yang ternyata juga selalu berubah, ber-evolusi.

Selamat Hari Raya Idul Fitri
Minal Aidin Wal Faidzin
Taqaballahu minnaa wa minkum
Mohon Maaf Lahir dan Batin

17 November 2004

Selengkapnya ...

Rengeng-Rengeng: Obrolan Tauhid

Obrolan di warung kopi antara Dul Kemplu(DK), Mat Kemin(MK) dan Kang Sarjo(KS).

MK: Dul, tauhid itu makanan apa tho Dul?

DK: Tauhid itu bukan makanan, Min!

MK: Kalau bukan makanan, terus apa Dul?

DK: Tauhid itu ilmu. Ilmu buat nelusuri dan mengurai makanan, biar kita bisa
tahu bahan sejatinya makanan itu apa tho .. biar bisa ketemu sumber dari segala
sumber makanan itu.

MK: Oooo .. jadi tauhid itu ilmu tentang makanan tho?

DK: Sak tenan-nya bukan. Tapi berhubung 'dapurmu' udah telanjur bilang makanan,
ya terpaksa aku sebut makanan juga.

MK: Terus .. sak tenane tauhid itu apa?

DK: Sebenarnya .. tauhid itu ilmu tentang Gusti. Ilmu buat nelusuri bahwa sejatinya Gusti itu 'mung siji', satu, tunggal, esa, ahad.

Kang Sarjo nimbrung ..

KS: Dul .. Gusti itu kan jelas-jelas satu. Kenapa harus pake diterlusuri lagi?

DK: Soalnya .. pada kenyataannya Gusti itu banyak.

KS: Lho .. bukannya yang banyak itu cuman sebutan? Ada yang nyebut Gusti, Allah,
God, Tuhan dan seterusnya?

DK: Bukan cuman soal sebutan, tapi kenyataan. Kenyataannya Gusti itu banyak.

KS: Sik .. sik .. sik .. Kenyataan itu kan 'sing sak tenane', faktanya gitu kan?

DK: Iya ..

KS: Lah kalo gitu, kamu yang nggak beres. Tuhan kenyataannya itu satu thok thil!

DK: Salah. Kenyataannya Tuhan itu banyak. Kenyataaannya, Gustimu sama Gustiku itu beda. Dari dua orang saja Gusti itu sudah ada dua. Ditambah Mat Kemin dengan Gustinya sendiri, akhirnya jadi tiga. Kalau ada semilyar orang, Gustinya juga jadi semilyar.

KS: We .. ladhalah .. tambah ediiaan bocak iki. Nyebut Dul, nyebut. Istighfar, bisa kualat kowe ngomong kayak gitu.

DK: Wong ngomong sing bener kok kualat. Apa mestinya ngomong itu yg nggak bener, biar nggak kwalat?

KS: Bener gundulmu! Ngomong Gusti banyak kok bener ..

Dul Kemplu mesem ..

KS: Dul, kamu mesti tobat. Berani-beraninya kamu bilang Gusti itu kenyataannya banyak!

Mat Kemin menimpali ..

MK: Iya Dul. Kamu itu pikirannya udah nggak beres! Lagian kamu 'mencla-mencle', tadinya bilang Gusti sejatinya satu, sekarang ngomong kenyataannya banyak.

Dul Kemplu menjawab sambil mesam-mesem ..

DK: Gusti itu sejatinya emang satu, tapi kenyataannya banyak. Kenyataan itu artinya ya kenyataan yang bisa dijumpai, sedang sejatinya itu di atas kenyataan yang bisa dijumpai.

MK: Omonganmu kok mbulet tho Dul?

DK: Mbulet itu kan karena kamu belum nyambung. Kalau bahasanya anak-anak sekolahan begini lho .. Tuhan itu kenyataannya hanyalah persepsi tiap-tiap manusia tentang Tuhan yang sejati. Persepsi ini juga bukan sesuatu yang 'mak bleg' langsung jadi. Persepsi-persepsi itu terbentuk. Ada proses, ada sebab-akibat. Ada unsur-unsur luar kayak orang tua, guru, buku, lingkungan danlain sebagainya. Ada juga unsur dalam, berupa kemauan dan kemampuan tiap-tiap orang dalam menempuh proses itu. Hal-hal seperti itulah yang akhirnya membentuk
persepsi tentang Tuhan.

KS: Sik .. sik .. sik .. Dul, persepsi itu kan pikiran ya?

DK: Yap .. kurang lebih begitu.

KS: Lha, kalo begitu apa nggak syirik Dul?

DK: Yap .. kenyataannya memang begitu. Apa yang kita sebut Tuhan, kenyataannya ya hanya pikiran kita tentang Tuhan.

KS: Waduh .. waduh .. syirik itu kan dosa besar, nggak terampuni lagi. Wah, ini kamu udah ngelantur .. berarti kan semua orang itu syirik?

DK: Yap .. kenyataannya memang begitu.

KS: Memang begitu gundulmu! Kan sejak kecil kita udah diajarin supaya menjauhi sifat syirik. Lha ini kamu kok bilang memang begitu .. memang begitu ..

DK: Lha ya kenyataannya memang begitu kok, aku mesti bilang gimana? Pada akhirnya toh larangan keras terhadap syirik itu bisa dipahami sebagai pendorong, motivasi, agar kita selalu dan selalu berupaya mengikis sifat syirik dalam diri kita masing-masing. Sekali kita berhenti, maka di situlah awalnya kita bakalan terjerumus ke dalam sifat syirik sungguhan.

KS: Aku belum mudeng Dul ..

DK: Begini lho .. balik seperti di atas tadi .. bahwa apa yang kita sebut Tuhan itu kenyataannya hanya persepsi kita masing-masing tentang Tuhan yang sejati .. Sekali kita berhenti dan menganggap bahwa persepsi kita tentang Tuhan adalah Tuhan yang sejati, maka itulah awalnya kita terjerumus ke dalam syirik. Akhirnya ya kita hanya menuhankan persepsi kita.

KS: Aku udah mulai mudeng .. tapi masih belum jelas betul .. bisa make contoh Dul?

DK: Persepsi kita tentang Tuhan kan terbentuk. Misalnya terbentuknya itu melalui dalil-dalil. Terus kita percayai bahwa apa yang tersebut dalam dalil itulah Tuhan yang sejati, sembari kita menyalah-nyalahkan bahwa Tuhan yang tidak seperti dalil itu pasti salah. Di titik seperti itu kita sudah menuhankan dalil. Contoh lain lagi, ketika kita percaya seratus persen bahwa Tuhan sejati adalah seperti yang dibilang guru kita, dan Tuhan yang berbeda dengan yang dibilang guru kita berarti bukan Tuhan, alias salah. Di titik itu artinya kita sudah menuhankan guru kita.

KS: Waaa ... kalau begitu ya repot Dul. Masak pakai dalil nggak boleh. Nurut guru salah .. terus kepriye ..

DK: Bukan Nggak boleh. Pada akhirnya kan kembali lagi, bahwa tiap-tiap manusia itu tidak memikul beban melebihi kesanggupannya. Kalau kesanggupan seseorang menuju Tuhan itu harus melalui pengajaran dalil-dalil, ya tempuhlah itu. Kalau kesanggupan seseorang itu melalui guru, ya tempuh juga itu. Yang berbahaya, dan bisa jatuh ke sifat syirik adalah jika tidak ada kesadaran bahwa yang kita tempuh itu HANYA salah satu jalan menuju Tuhan yang sejati. Bahwa Tuhan melalui pengajaran dalil atau guru itu hanya menghasilkan persepsi tentang Tuhan, dan bukan Tuhan yang sejati. Artinya ada Tuhan sejati yang Esa, yang diluar, di atas, melampaui, lebih dari persepsi-persepsi manusia tentang Tuhan. Itulah tauhid. Itulah "Laa ilaaha Illa Allah". Itulah "tiada tuhan melainkan Tuhan". Itulah "there's no god but God".

KS: Ya..ya.. ya.. mudeng aku sekarang. Min .. Kemin .. kowe mudeng dhurung?

MK: zzzzzzz ...ggggrrrookk ... zzzzzzz ... ggggroooookkkkkk

KS: Wealah .. tobil .. malah ngorok bocah ini!

22 Mei 2004

Selengkapnya ...

Rengeng-rengeng: Demokrasi Kolor Ijo

Yap .. ini memang tentang "kolor ijo" yang sempat geger di Jakarta beberapa waktu lalu. Sebuah isyu yang tidak tanggung-tanggung langsung menghantam ibukota RI, barometer segala macam bentuk kemajuan dan kemoderenan. Tempat di mana warga relatif lebih gampang mendapatkan akses informasi yang seluas-luasnya, dibandingkan belahan lain di wilayah negara RI. Tapi ya begitulah .. di ibukota itu, di tengah-tengah sang barometer itu, di kota yang serba lebih itu, ternyata juga gampang diguncang isyu yang tidak masuk akal dan tidak jelas juntrungannya. Logikanya, apalagi di wilayah lain.

Orang-orang yang tidak percaya dengan isyu tersebut cenderung mengaitkannya dengan pemilu yang -waktu itu- akan menjelang. Saya termasuk yang setuju dengan kecenderungan seperti itu, bahkan lebih spesifik saya menganggapnya seperti meraba "peta" dalam masyarakat kita, agar bisa disajikan "menu" yang diperkirakan akan jadi santapan favorit masyarakat. Sebuah usaha yang -dari sudut pandang tertentu- brilian dan efisien. Tidak perlu repot-repot membuat penelitian yang canggih segala macam. Cukup ciptakan isyu, dan bisa didapat hasil yang sangat memuaskan.

Begitulah .. betapapun saya terus-terusan "berteriak" parau, apalah hasil signifikan yang bisa diharap dari masyarakat "kolor ijo"? Tidak ada. Sebenarnya sayapun sadar sesadar-sadarnya, "teriakan" saya tidak akan membawa hasil, setidaknya dalam waktu dekat ini. Malahan saya yang harus menanggung konsekuensi dari "teriakan" saya, di mana konsekuensi itu seringnya tidak enak. Tapi toh saya memilih untuk tetap "berteriak" dan terus "berteriak". Untuk apa? Tentu saja untuk sebuah harapan. Hanya orang gila saja yang terus-terusan "berteriak" tanpa memiliki harapan. Saya berharap, setidaknya ada satu atau dua orang yang mau mendengar teriakan saya, dan kemudian -minimal- memikirkannya. Saya juga berharap akan bertemu dengan orang-orang yang memiliki kegelisahan yang sama, namun belum cukup punya keberanian untuk menyuarakan kegelisahannya. Atau keberanian menyuarakan itu sudah ada, namun -sama seperti saya- masih jalan sendiri-sendiri dan belum bisa serius memformulasikan "teriakannya".

Saat menulis ini, saya masih terus-menerus mengikuti hasil penghitungan suara, baik dari radio, televisi maupun internet. Mengikuti sebuah proses demokrasi yang lebih banyak diwarnai isyu-isyu ketimbang pembahasan masalah secara rasional. Demokrasi di tengah-tengah masyarakat "kolor ijo". Sebuah proses demokrasi yang lebih banyak orang menjajakan "kolor ijo". Tidaklah berlebihan kalau demokrasi kita ini disebut demokrasi "kolor ijo".

5 April 2004

Selengkapnya ...

Rengeng-rengeng : Mata Rantai Kekerasan

"Gambar akan meletakkan pikiranmu dalam satu bingkai," begitu kurang lebih saya pernah membaca tulisan orang yang tidak mau membuka foto-foto korban kerusuhan Sampit. Kalimat singkat itu harus saya akui betul. Setidaknya begitulah yang saya temui pada teman-teman sesama muslim yang banyak melihat foto-foto kerusuhan Ambon. Ketika foto anak manusia yang dicincang sebegitu sadisnya, kemudian diikuti penjelasan bahwa itu foto seorang muslim yang dibantai oleh orang atau pasukan Kristen di Ambon, maka secara tidak sadar pikiran seseorang itu sudah tergiring masuk ke dalam satu bingkai. Terdorong rasa keingin tahuan saya sempatkan surfing di internet, mencari web-site yang dikelola umat Kristen tentang berita-berita Ambon. Ternyata saya temui hal yang kurang lebih sama, hanya dengan subyek-obyek terbalik, setidaknya di sebagian web site umat Kristen. Dalam kondisi seperti itu telah terjadi penggiringan pikiran umat Islam dan Kristen dalam bingkainya masing-masing dan membawanya pada posisi berhadap-hadapan. Tentu tidak semua umat Islam dan Kristen mau pikirannya tergiring sebegitu rupa, namun sedikit banyak tentu menyisakan umat masing-masing yang masih terkurung dalam bingkai itu, dan tetap menganggapnya sebagai sesuatu yang benar.

Gambar, tentunya bisa dimaknai bukan lagi sekedar coretan di atas kertas yang membentuk satu konfigurasi tertentu. Gambar dalam makna yang lebih luas berarti citra, imej (image). Imej bisa terbentuk melalui obyek apa adanya (obyektif), namun bisa juga melalui opini orang lain atas suatu obyek (subyektif). Kemudian imej melalui dua jalan itu melahirkan subyektivitas kita sendiri. Tentang nantinya seperti apa dan bagaimana subyektivitas kita, tentu akan sangat
dipengaruhi oleh imej itu sendiri, tingkat intensitas imej yang diterima, dan bagaimana kita mengolah imej-imej yang kita terima. Apakah bersikap kritis, menerima bulat-bulat, ataupun masa bodoh.

Sikap subyektif terhadap suatu imej, selalu terkurung atau berada di antara dua titik ekstrem : pro dan kontra (anti). Proses-proses seperti itulah yang nantinya akan membentuk suatu filosofi, atau ideologi dalam tataran yang aplikatif. Imej yang berupa suatu hegemoni akan melahirkan sikap ngikut, manut, nurut sekaligus sikap anti. Imej yang berujud ancaman akan melahirkan
perlawanan. Imej yang berupa harapan akan menarik orang untuk datang bersamanya. Begitulah hukum sebab-akibat. Proses seperti itu berlaku untuk semua umat manusia, tidak terkecuali orang-orang besar. Paham skripturalis (tekstual, literal) menguat di tengah merebaknya para ahli ra'yu. Sikap anti filsafatnya Al-Ghazali muncul di tengah "nggladrah"-nya filsafat, meskipun beliau sendiri juga seorang filsuf sebelum lebih dikenal sebagai sufi. Paham pembaharuannya Muhammad Abduh lahir di tengah tenggelamnya umat dalam kungkungan
irrasionalitas, dalam imej yang beliau terima. NU lahir sebagai resistensi kaum tradisional terhadap "mblunat"nya kaum modernis, yang dalam imej-nya yang negatif disetarakan dengan Wahabi. Islam Liberal lahir sebagai reaksi atas merebaknya -apa yang disebut- fundamentalisme agama.

Dalam fenomena sosial baik dalam skala lokal maupun global, prinsip yang sama juga tetap berlaku. Di Barat, sikap anti Islam tidak bisa dilepaskan dari imej yang mereka terima tentang Islam. Larangan simbol-simbol agama di sekolah negeri dan lembaga pemerintahan Prancis (jilbab, salib, tudung Yahudi) tidak bisa dilepaskan dari imej "mengerikan" yang menyertai simbol-simbol agama bagi mereka. Ini -sepertinya- terkait erat dengan beberapa kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum muslimin di Barat paska 9/11. Boleh dibilang itu adalah efek psikologis tentang peristiwa 9/11 yang membentuk imej tertentu tentang Islam dan muslimin. Sebaliknya 9/11 pun juga tidak lepas dari sebab-akibat yang melahirkan perlawanan dalam bentuk terorisme. Maka pendapat yang mengatakan USA lah biang terorisme yang sebenarnya, bisa dimengerti dan mungkin saja betul.

Islam yang saya pahami mengajarkan prinsip kaffah. Dan kaffah dalam pemahaman saya adalah sikap yang menyeluruh, komprehensif, baik dalam perbuatan maupun pikiran, dan berlaku dalam segala hal. Dalam menghadapi suatu imej pun, sikap kaffah tetap harus diperlukan. Jika hanya reaktif dan sepotong-potong, tanpa melihat proses sebab-akibat secara keseluruhannya, akan sangat mungkin mendorong kita pada satu sikap yang nantinya akan mendorong lahirnya satu sikap lagi sebagai reaksi atas sikap kita. Akibatnya dunia tidak akan pernah berhenti dari
mata rantai kekerasan yang melahirkan kekerasan baru, penindasan yang mendorong penindasan baru, dendam yang akan menyulut dendam baru.

Dengan prinsif kaffah, diharapkan jauhnya sikap "gebyah-uyah" (generalisasi). Dengan prinsip kaffah, diharapkan lahir suatu kearifan dan itikad baik untuk memutus mata rantai kekerasan. Dengan prinsip kaffah umat Islam diharapkan bisa menemukan jalan tengah, jalan yang bukan lagi berpijak pada prinsip menang-kalah, tapi menang-menang. Jalan tengah itulah yang saya pahami sebagai jalan (syariat) Islam. Tapi memang sungguh tidak mudah merumuskan, apalagi
mengaplikasikannya.

Batam, 30 Des 2003

Selengkapnya ...

Rengeng-Rengeng : Coretan Akhir Tahun 2003

Tahun 2003 tak terasa sebentar lagi akan lewat. Setiap orang punya sikap dan caranya sendiri dalam menghadapi pergantian tahun. Baik mengenai peristiwa pergantian tahunnya sendiri, hal-hal yang terjadi atau dialami pada tahun yang akan ditinggalkan, maupun rencana-rencana di tahun yang akan datang. Biarkanlah tiap orang dengan sikap dan caranya masing-masing, karena tiap orang punya subyektivitas yang merupakan refleksi dari objek-objek yang diterima atau diserapnya. Coretan inipun hanya sekedar cara yang lahir dari sikap subyektif saya terhadap pergantian tahun yang akan terjadi beberapa hari lagi, berikut segala macam kaitannya. Ini juga bukan contoh atau mengajari Anda bagaimana mestinya menyikapi pergantian tahun. Tidak, sama sekali tidak. Sesuatu yang saya anggap penting, tidak ada keharusan sedikitpun bagi Anda untuk juga menganggapnya penting. Begitu juga sesuatu yang saya anggap tidak penting, tidak ada larangan jika Anda menganggapnya penting. Yang saya minta dari Anda sekedar hargailah hak saya. Anda tidak harus menghargai sikap dan cara saya.
Anda boleh tidak setuju, mencibir, sampai dengan mencaci-maki saya. Itu sepenuhnya hak Anda. Namun Anda tidak boleh melarang saya, selama sikap dan cara saya tidak mengusik hak Anda. Jika Anda -dengan subyektivitas Anda- melarang saya, maka dengan segala daya upaya akan saya pertahankan hak mendasar yang dianugerahkan Tuhan pada saya ini.

Beberapa kalimat di atas merupakan ungkapan lain dari prinsip dasar demokrasi: "Saya tidak setuju pendapat Anda, tapi akan saya bela hak Anda untuk menyampaikan pendapat Anda." Sengaja saya buat kalimat pembuka seperti itu, karena dalam coretan menjelang akhir tahun ini saya akan "ngomel" tentang demokrasi.

Demokrasi adalah sistem terburuk nomor dua setelah sistem otoriter / diktator. Demokrasi dipilih bukan karena ia merupakan suatu sistem yang sempurna dan bisa menjawab berbagai macam permasalahan yang bisa memuaskan semua pihak.Tidak! Demokrasi dipilih karena itulah yang terbaik di antara yang terburuk. Demokrasi, lengkap dengan segenap kelemahan dan kekurangannya dinilai memberi PELUANG lebih besar bagi terciptanya sistem kehidupan yang lebih baik ketimbang sistem otoriter. Dalam satu kurun waktu perjalanan peradaban manusia, demokrasi merupakan reaksi, perlawanan, pemberontakan umat manusia terhadap otoritarianisme para raja dan bangsawan yang biasanya didukung oleh kaum agamawan. Demokrasi lahir sebagai alternatif yang memberi peluang partisipasi setiap warga negara untuk ikut menata kehidupannya. Jadi, demokrasi sama sekali bukan barang gratisan.

Ketika kesadaran tentang hak tiap individu meningkat, ketika pengetahuan serta pemahaman manusia tentang hak dan harkat hidup diri serta sesamanya meningkat, demokrasi merupakan keniscayaan. Manusia yang sadar akan haknya sebagai individu yang "unique", yang tiada duanya, akan menolak unsur di luar dirinya jadi penentu pilihan jalan hidupnya. Manusia yang sudah sampai pada kesadaran seperti ini, biasanya juga tidak minat berusaha mengambil hak orang lain untuk menentukan jalan hidupnya masing-masing. Hak individu adalah sesuatu paling azasi yang dianugerahkan Tuhan pada manusia, yang tidak pada tempatnya jika ada manusia lain mengambil secara paksa hak individu seseorang itu.

Tahun depan, pemilu yang merupakan salah satu sub-system demokrasi akan diselenggarakan lagi. Setiap orang sangat mungkin akan berbeda memandang pemilu yang akan datang. Saya juga punya cara pandang sendiri, yang tidak harus sama dengan orang lain. Sebaliknya, Anda pun juga berhak punya cara pandang yang tidak sama dengan saya. Jika -seandainya- Anda termasuk orang yang menaruh harapan besar pada pemilu yang akan datang, tentu bukan bermaksud nantang Anda 'duel' jika saya menyampaikan hal yang sebaliknya bahwa saya termasuk orang yang tidak terlalu berharap pada pemilu tahun depan. Kenapa .. ?

Saya perkirakan pemilu tahun depan berikut dengan rentetannya, belum akan beranjak jauh dari pemilu '99, meski dalam beberapa hal akan lebih baik. Pemilu tahun depan masih merupakan euforia kebebasan berpolitik setelah terpasung sekian lama. Sepertinya, kita masih akan disuguhi arena adu otot dan tontonan "blantik-blantik" melakukan transaksi politik dagang sapi. Saya belum berharap munculnya titik terang terwujudnya cita-cita "civil society". Perilaku parpol-parpol, serta tokoh-tokoh (yang ngakunya) non parpol yang sempat terekam dalam media-media berskala nasional maupun lokal belum secara serius menunjukkan ke arah itu.

Namun meski pesimis, saya membiasakan diri memandang sesuatu sebagai proses dan bukan suatu yang final. Demokrasi di Indonesia pun juga suatu proses. Untuk membuat proses demokrasi itu jadi lempang, tidak ada pilihan lain kecuali kita juga mesti membangun infrastruktur politik yang tangguh. Dan infrastruktur politik yang tangguh itu hanya akan mungkin terbangun jika kita sudah memiliki kesadaran tentang hak kita masing-masing. Hak untuk hidup, hak untuk meyakini suatu keyakinan, hak untuk memilih jalan hidup dan sebagainya. Pentingnya menghargai pluralitas, pentingnya menghormati kebebasan berpikir, berekspresi dan berpendapat. Tanpa kesadaran seperti itu, bukan tidak mungkin kita akan disuguhi tontonan orang, sekelompok orang, suatu partai atau ideologi akan menggunakan jalan demokratis untuk memberangus hak-hak sesamanya, bahkan untuk "membunuh" demokrasi itu sendiri.

Selamat Natal bagi yang merayakan, dan selamat menyongsong tahun baru 2004.

27 Desember 2003

Selengkapnya ...

Rengeng-rengeng : Oh .. Bunga!

Bunga itu katanya lambang keindahan. Rumah akan terasa begitu gersang tanpa kehadiran bunga, baik di halaman maupun di dalamnya, baik bunga betulan maupun imitasi. Bunga juga bisa jadi lambang perempuan, lambang kecantikan. Makanya dalam cerita-cerita silat kita kenal julukan "Pendekar pemetik bunga". Selain itu bunga tertentu dikenal sebagai simbol cinta, juga sebagai simbol romantisme. Makanya kita kenal istilah "Say it with flower!"

Jika hari-hari belakangan di berbagai media ramai perbincangan tentang bunga, namun dalam nuansa yang penuh kegerahan, itu pasti bukan tentang bunga-bunga seperti disinggung di atas. Ini memang tentang bunga yang disabdakan para maha resi, para person tempat bermuaranya segala ilmu dan kebijaksanaan, yang tergabung dalam "paguyuban" Majelis Ulama Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, oleh para resi bunga itu dinyatakan HARAM. Barang yang dinyatakan haram itu bisa disetarakan dengan najis. Barang kotor yang mesti dijauhi, atau harus dibasuh bersih-bersih jika telanjur nempel di badan maupun pakaian. Dalam khasanah tasawuf, barang haram jika dimakan akan menjelma jadi bagian darah dan daging, yang selanjutnya akan bisa membuat pikiran dan hati orang yang memakannya menjadi kotor. Tapi jangan keburu gusar dulu pada para resi itu, karena toh yang mereka haramkan hanya bunga bank. Dan tentunya bank di sini bukan dalam konteks seperti bank Samiun, bank Udin, bank Amat, atau apalagi bank ... shut ..

Ulama adalah panutan umat. Tidak sembarang orang bisa mendapat gelar ulama. Ada persyaratan sangat berat untuk menyandang gelar itu. Keilmuan sudah pasti jadi prasyarat utama, disusul keteladanan dan seterusnya. Seorang Nurkhalish Madjid pun yang notabene ilmunya sangat mumpuni tidak ada yang minat memberinya gelar ulama. Tidak juga Gus Dur, Amin Rais, Syafii Maarif, Jalaluddin Rakhmat atau -apalagi- Sutan Sabri .. Logikanya, orang yang menyandang gelar ulama pasti lebih mumpuni ketimbang orang-orang yang saya sebut itu. Dan mereka yang duduk dalam mejelis itu, yang dinamai Majelis Ulama Indonesia, pasti orang yang sudah pantas menerima gelar tersebut, minimal merasa pantas karena buktinya sudah ada
dan cukup betah di sana.

Kita -sebagai umat- tidak perlu mempertanyakan lebih jauh apapun yang difatwakan oleh beliau-beliau itu. Kita harus ber-husnuzhan (berprasangka baik, berpikir positif), bahwa apapun yang dilakukan oleh para maha resi itu semata-mata demi kemaslahatan umat Islam pada khususnya, serta bangsa dan negara Indonesia pada umumnya. Jangan berani mereka-reka apa yang ada di balik fatwa ulama! Segala sesuatu pasti sudah dipikirkan masak-masak dari berbagai macam seginya. Kita juga tidak perlu repot-repot melihat kembali sifat-sifat riba yang dijalankan
oleh para Yahudi di masa Rasulullah di bandingkan dengan bunga bank di masa sekarang, karena pasti para resi itu lebih tahu. Kita juga tidak perlu capek berfikir soal angka inflasi, kepercayaan-ketidakpercayaan, faktor resiko, bagi hasil resiko dan konco-konconya, karena semua itu sudah diambil alih Majelis Ulama. Kita -sebagai umat- seyogyanya tinggal manut dan ngambil enaknya saja. Juga, sebaiknya kita lupakan orang yang mengatakan bahwa "Bank syariah dengan bank konvensional itu tinggal ditukar istilah 'bunga' dan 'bagi hasil', maka nanti akan kelihatan sama saja." Jangan, sekali-kali jangan! Tidak mungkin bank syariah sama dengan bank konvensional. Lebih baik kita laknat ramai-ramai saja orang yang berani mengatakan seperti itu, karena -sungguh!- itu merupakan pelecehan terhadap para ulama.

Sebaiknya, sehabis gajian sisihkanlah sedikit uang kita. Kita beli sempritan (peluit) yang banyak dijual orang di toko-toko. Kita harus manut dan menjadikan para ulama itu sebagai teladan. Untuk itu mulai sekarang kita harus belajar supaya kelak biasa dan pintar "nyemprit".

Batam, 23 Des 2003

Selengkapnya ...

Rengeng-rengeng : Damai

Damai itu indah, sampai banyak tokoh-tokoh di Indonesia yang merasa perlu untuk berkumpul dan mendirikan "Forum Indonesia Damai". Di belahan dunia lain, tiap hari tidak pernah sepi dari kata "damai", baik yang sekedar wacana, ajakan biasa, sampai dengan demontrasi. Yang menggunakan segenap kekuatan militernya dan angkat senjata menyerbu negara lainpun, konon juga demi sebuah kata "damai".

Sebuah dunia yang damai memang merupakan dambaan banyak orang. Dunia yang tanpa pertumpahan darah, tanpa keributan maupun cakar-cakaran sesama anak manusia. Dunia yang setiap manusia bisa hidup dengan aman, nyaman, tenteram, sejahtera. Menodai kedamaian bisa dianggap sebagai kejahatan bagi banyak orang, paling tidak merupakan kesalahan moral.

Indonesia memang bangsa yang beragam. Tingkat keragaman itu ternyata bukan saja menyangkut soal suku bangsa, bahasa, agama dan sebagainya, tapi juga tentang makna kata "damai". Kata "damai" di Indonesia ternyata tidak melulu sama maknanya seperti yang tertuang dalam "imagine"-nya John Lennon. "Damai" bisa berarti juga kompromi. Di jalanan ketika berurusan dengan petugas lalu lintas atau persoalan yang berkaitan dengan pengadilan, "damai" bisa punya makna lain lagi.

Konon, hanya orang gila yang bisa mengubah dunia. Memang hanya orang gila yang tidak mau "nrimo" dan berdamai dengan arus maupun lingkaran yang mengelilinginya. Seorang Marthin Luther King Jr, lahir dan berdiri di tengah arus hegemoni gereja dan pemuka agama. Marx menorehkan warna baru di tengah arus liberalisme-kapitalisme. Komunisme-Leninisme berantakan justru oleh seorang Gorbachev yang merupakan anak kandungnya sendiri. Indonesia juga bisa tegak mengenyam kemerdekaan karena orang-orang yg bersemboyan "Kami cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan." Empat belas abad lampau, di tanah Hijaz, lahir masternya orang gila, yang menyulut api peradaban baru bagi umat manusia.

10 Desember 2003

Selengkapnya ...

Rengeng-Rengeng : The Battle Of Islamies

Pertama, jangan nyari istilah itu dalam kamus atau primbon manapun. Dijamin nggak akan ketemu. Istilah itu hanya rekaan saya saja yang diilhami dari istilah 'the battle of sexes', meski -mungkin- dengan pengertian dan arah yang berbeda.

Waktu membaca pamflet yang ada kalimatnya (kurang lebih) "Membentuk Karakter Muslim Sejati", watak iseng saya kumat. Saya langsung nyeletuk, "Ah, saya mau membentuk karakter muslim gadungan saja." Celetukan itu adalah ekspresi dari kejengkelan dan rasa eneg saya yang keseringan ketemu kalimat sejenis atau kata-kata yang selalu diembel-embeli 'Islami' dan konco-konconya. Namun toh saya juga merasa perlu menetralisir kejengkelan dan rasa eneg itu dengan guyonan (meskipun isinya serius) macam,"Kalau aku bilang muslim sejati, ntar yang lain
jadi nggak sejati. Kalau aku ngomong diriku 'Islami', ntar yang beda sama aku jadi 'kafiri' .."

Awalnya, sebenarnya saya malas meributkan soal-soal seperti itu lebih jauh. Saya lebih memilih sikap nyantai-nyantai saja. "Kalau sorga itu dianggep milikmu .. ya pek-en kabeh. Aku nggak butuh sorga. Kalau sorga itu sudah dikapling-kapling .. ya sumonggo .. nggak dapet kapling sorga juga nggak pathek-en. Allah itu sudah lebih dari cukup." (he..he.. lha kok malah nyufi). Dan memang sah-sah saja kok setiap orang berburu sorga ngikut jalan sesuai keyakinan masing-masing. Saya sih enjoy-enjoy saja hidup di tengah-tengah pluralitas.

Lha lantas .. kenapa saya sampai perlu menyebut-nyebut 'the battle of Islamies'? Pertama, ini untuk menegasikan ungkapan populer yang seolah-olah merupakan sikap defensif, namun nyinyir dan manipulatif seperti "Menyerang saudara-saudaranya sesama muslim yang ingin mengamalkan syariat Islam sebaik-baiknya." Atau yang lebih jauh lagi mengesankan seolah-olah terjadi serangan terhadap Islam oleh non Islam dibantu oleh orang-orang Islam sendiri yang sudah 'menghamba' pada kaum non Islam. Walah ..

Kedua, tentu saja untuk menyatakan bahwa yang Islami itu bukan sampeyan thok. Bahwa Islam itu bukan bikinan Embah sampeyan yang bisa dikangkangi seenak udel sampeyan. Jika ada orang yang merasa berhak mengkampanyekan suatu versi Islam (yang dianggap -mutlak- benar), sembari menyalah-nyalahkan, bahkan -kadang- sampai melabeli kafir, munafik atau fasik, maka di pihak lain juga ada orang yang sah mempromosikan versi Islamnya sendiri, yang juga diyakininya benar, serta melontarkan kritik terhadap versi Islam yang lain. Itu sudah jadi
konsekuensi logis yang harus diterima, karena toh kita tidak sedang ngomong di kolong tempat tidur atau di tengah hutan rimba belantara yang tidak ada penghuni manusia lain. Biarkanlah tiap orang melontarkan pendapat dan pemikirannya secara bebas dan fair. Toh kebebasan itu selalu diiringi konsekuensi. Selanjutnya biarkan pula tiap orang Islam bebas mengakses berbagai macam informasi dan pemikiran, untuk selanjutnya bebas pula memilih versi Islamnya
masing-masing.

Lho .. kenapa mesti makai istilah 'battle' ? Pertama, marilah sama-sama melihat kenyataan, bahwa saat ini ada dua (atau lebih) arus pemikiran/gerakan Islam yang berposisi berhadap-hadapan. Kedua, itu cuman istilah yang kalau keberatan boleh pakai istilah lain yang dianggap lebih halus dan pas. Terserah sampeyan saja.

Terus .. bukankah bertengkar itu jelek, lha ini malah bertempur? Betul memang bahwa bertengkar itu jelek. Namun saya percaya bahwa bahasa itu harus dipahami lengkap dengan konteksnya, dan tidak bisa dipahami secara hitam putih serta terlepas dari konteksnya begitu saja. Bahwa jika 'jelek' itu berlaku di suatu kondisi, tidak lantas berarti dia berlaku di segala macam kondisi. Bisa saja dalam kondisi tertentu bertengkar itu malah bagus. Samar-samar saya masih ingat tafsir metaforis-nya Emha tentang ayat 'pertemuan dua arus samudra'. Atau bertemunya dua arus listrik, positif dan negatif, yang kalau diwadahi dalam bohlam secara benar justru akan menghasilkan cahaya.

Wis lah .. nanti malah jadi ngalor-ngidul nggak karuan. Saya tutup saja dengan pertanyaan, "Are ready for the battle of Islamies ?"

Batam 24/10/2003 01:40 am

Selengkapnya ...

Rengeng-rengeng : Anakmu Bukan Anak Panahmu

"Pak Allah itu gerak ya ?"

"Ya nggak lah."

"Kalau gitu Allah diem. Berarti Allah patung ya Pak ?"

"Ya nggak juga."

"Katanya nggak gerak, ya berarti Allah patung dong Pak. Kalau bukan patung, kan Allah gerak."

Itu obrolan menjelang tidur antara saya dengan anak saya waktu masih berumur sekitar 4 tahun (sekarang 8 tahun), yang masih saya ingat sampai sekarang. Setelah kalimat terakhir itu, saya biarkan anak saya berimajinasi sendiri tentang Allah yang mulai dikenalkan secara intens di sekolahnya. Saya sendiri setengah hati dan mengenalkan Allah ala kadarnya pada anak saya itu. Bisa jadi saya dianggap tidak punya konsern terhadap pendidikan agama anak saya. Dan memang saya tidak punya konsern terhadap pendidikan agama, jika pendidikan agama
artinya menjejalkan apa-apa saja yang saya ketahui dan yakini (sebagai orang tua) pada anak-anak saya.

Seperti kebanyakan orang tua muslim lainnya, sayapun ingin anak saya menjadi anak yang sholeh. Nilai-nilai agama sedapat mungkin saya coba tanamkan sejak dini. Selama memungkinkan, selalu saya ajak anak saya untuk ke masjid, sekedar mengikuti sholat berjamaah maupun kegiatan-kegiatan agama lainnya. Namun justru dalam proses penanaman itulah, saya dihadapkan pada peristiwa yang "memaksa" saya memikirkan kembali cara pandang terhadap agama dan pendidikan agama. Anak saya (waktu berumur 2 tahun) mengalami trauma berat sehabis saya ajak menyaksikan upacara penyembelihan hewan korban di masjid. Anak saya selalu ketakutan setiap kali melihat pisau. Dia juga ketakutan, terkadang sampai menjerit, jika di televisi ada tayangan adegan silat dengan pedang, meskipun sebelumnya sangat menggemari tayangan seperti itu.

Peristiwa itu merupakan titik balik yang mengubah secara drastis sikap dan pandangan saya terhadap agama. Pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya hanya saya pendam dan tekan-tekan, mulai saya geber habis-habisan. Dengan sendirinya, pandangan saya tentang anak serta pendidikannya, baik umum maupun agama, mengalami perubahan secara drastis pula. Anak tidak lagi saya arah-arahkan. Sikap saya terhadap anak berubah jadi cenderung liberal. Selama tidak membahayakan, tidak ada yang perlu saya larang-larang. Tentang Allah, tentang
agama, biarlah anak saya meretas jalannya sendiri. Saya, sebagai orangtua, hanya berusaha melempangkan jalan buatnya. Saya coba mengembangkan dialog tentang berbagai hal, tentu dengan bahasa anak-anak, tanpa perlu saya dikte-dikte.

Cerita lain, masih cerita tentang anak yang sama, saya pernah rela bersitegang dengan keluarga besar, karena bersikeras bilang "TIDAK" waktu anak saya mau diikutkan dalam lomba balita sehat. Kemudian cerita lain lagi, waktu nengok keponakan beberapa hari lalu, ibunya nyaris saya marahin. Pasalnya saya geram melihat keponakan yang belum genap berumur 2 tahun itu sudah dipakai-i jilbab. Saya tidak rela melihat keponakan yang belum tahu apa-apa itu jadi objek "ideologisasi" orang tuanya. Dan saya punya keberanian untuk marah, karena kami masih kerabat dekat. Kemarahan saya baru mereda saat ibunya bilang,"Lha wong aku nggak nyuruh makai kok Mas. Dia sendiri yang minta."

Setiap memandang anak-anak, terutama anak-anak saya, dalam hati saya berdesir, "Ya Allah, aku nggak bisa menjamin masa depan anak-anakku. Tidak dalam skala mikro, apalagi skala makro. Mestikah anak-anak itu menanggung beban lagi, yang mestinya bukan beban mereka ?"

Saya ingat kata-kata Sayyidina Ali, serta ungkapan dalam bentuk puisi oleh Almarhum Umar Khayam, "Anakmu bukan anak panahmu."

8 Oktober 2003

Selengkapnya ...

Rengeng-Rengeng : Ndagel Bersama Tuhan ..

Dulu ada yang protes keras waktu saya lontarkan pendapat bahwa Allah itu maha lucu. Seperti biasa, protes itu disertai kutipan ayat tentang asma'ul husna serta larangan menyebut Allah dengan sebutan di luar asma'ul husna yang 99 itu. Masih satu rangkaian dengan protes tersebut, sahabat satu itu "menantang" saya mengurai tafsir tentang ayat yang dia kutip, sembari ngasih rambu-rambu : "jangan hanya berdasar akal thok !"

Waktu itu saya memang belum sempat menjawab "tantangan" sahabat tadi. Di samping karena -ketika itu- saya lebih memilih topik lain yang lebih saya prioritaskan, juga karena saya perkirakan ngobrol soal Tuhan yang maha lucu itu bakalan panjang dan menyita waktu, disebabkan paradigma berpikir yang memang sudah beda duluan. Bisa jadi menurut paradigma berpikir sang sahabat tersebut, saya sedang berseteru dengan Tuhan.

Hari-hari belakangan di milis evolusi@ , di mana saya hanya jadi peserta pasif, saya kembali melihat Tuhan berseteru. Kali ini Tuhan diwakili oleh Dr. Taufikurrahman sang pembela Harun-Yahya-isme melawan scientis-scientis (?) pro evolusi. Semula saya berharap melihat perdebatan ilmiah dan argumentatif sesuai bidang keilmuan masing-masing. Ternyata tidak. Saya lebih banyak menemui Tuhan yang sedang bersitegang, seperti bisa dilihat di banyak tempat dan di berbagai macam topik bahasan.

Masih di hari-hari belakangan, saya sempat membaca satu pernyataan yang menggelitik : "Quran adalah tesis Tuhan yang tidak pernah dipertanggung jawabkan." Saya senyam-senyum sembari was-was membacanya. Senyam-senyum karena memang begitulah kenyataannya, yang kemudian berhasil dituangkan dalam satu kalimat pendek nan menggelitik. Namun juga was-was, karena bisa saja rekan yang menulis tadi dituduh nantang Tuhan atawa melecehkan Al-Quran Al-Karim. Alhamdulillah, hal itu tidak terjadi, setidaknya sampai sekarang ini.

Saat ini, sambil mengetik tulisan ini, saya mikir-mikir .. apa mungkin dulu Tuhan keliru mendesign akal manusia, sehingga suatu hasil olah pikir yang panjang dan memenuhi syarat validitas sampai tingkat tertentu mesti rela dianulir atawa dinyatakan 'false' hanya karena bertentangan dengan "kata Tuhan" ? Weleh .. seperti cerita pertentangan ilmuwan dengan gereja di abad "kegelapan". Untungnya, dikit-dikit saya ngerti soal relativitas (meski belum pernah belajar secara formal). Untungnya, dikit-dikit saya tahu beda antara "tataran ideal" dengan "tataran realitas", sehingga saya bisa ngerti bahwa pertentangan yang terjadi antara saya (dan orang-orang lain) dengan Tuhan, hanyalah sekedar pertentangan saya dengan Tuhan di "tataran realitas". Alias pertentangan saya dengan Tuhan dalam benak dan persepsi orang, dan bukan Tuhan Yang Maha Tak Terjangkau itu sendiri.

Dan begitulah Tuhan Yang Ndagel itu. Kita-kita, para manusia ini, dibiarkan (dan disuruh ?) bersitegang segala macem urat setiap saat, sementara Dia sendiri hanya ongkang-ongkang. Mungkin sambil ngisep cerutu dan main gaple, entah di mana dan dengan siapa. Jika "kelakuan" Tuhan itu saya sikapi saja secara santai dan sesekali ndagel, salahkan saya ? Bukankah Tuhan sendiri yang "mengajarkan" begitu ? Jadi, mari kita -sesekali- santai dan ndagel bersama .. Tuhan ..

Batam, 23 Sep 2003

Selengkapnya ...

Rengeng-Rengeng : Menuju Cakrawala

Suka nonton acara TV yang ada adegan singa atau cheetah menguber-uber rusa yang imut-imut, kemudian setelah tertangkap tubuh rusa dicabik-cabik dengan cakar dan taring sang pemburu ? Terkadang kita lihat juga pertarungan antara sesama pemburu dalam memperebutkan mangsa atau wilayah "teritorial"nya.

Saat melihat barangkali perasaan kita sempat berdesir dan berkata : "Kejam !". (Kalau anak saya suka bilang : "Jahat !"). Tapi memang begitulah 'survival the fittest', si hukum rimba itu. Siapa kuat dia menang. Singa dan cheetah memiliki struktur tubuh dan naluri sebagai pemburu dan pembunuh. Sebaliknya rusa memiliki naluri dan ketrampilan untuk menghindar dari serangan sang pembunuh. Meski ujudnya berbeda, namun keduanya punya manfaat dan tujuan yang sama : bertahan hidup.

Naluri untuk survive, itulah naluri dasar dari setiap makhluk hidup. Apa yang bisa dilihat dari rimba dan hamparan padang rumput di Afrika itu hanyalah sekedar contoh bagaimana binatang mengikuti nalurinya untuk bertahan hidup. Kita (manusia) tidak usah melibatkan diri dalam proses alamiah seperti itu. Kita juga tidak usah memakai perasaan dalam melihat adegan di rimba itu, tapi cukup menjadikannya bahan penambah pengetahuan untuk mengenal alam berikut proses-prosesnya lebih jauh. Yang perlu kita lakukan hanyalah mencegah, agar apa yang terjadi dalam rimba itu tidak menjangkiti kita, para manusia.

Elllho .. apa bisa tingkah laku binatang-binatang di rimba menjangkiti manusia yang merupakan makhluk paling mulia itu ? Jawabannya bukan saja bisa, tapi sudah dan sering. Tentu saja adegan yang serupa itu tidak akan kita temui (kecuali di film-film mungkin), karena saling terkam, cakar dan gigit di dunia manusia sudah berbeda. Ujudnya sudah jauh lebih halus. Namun meski lebih halus, dampaknya bisa jauh lebih hebat dan luas ketimbang yang terjadi di rimba-rimba. Jika binatang membunuh (dan juga saling membunuh) hanya sekedar memenuhi kebutuhan dasarnya yang memang tidak ada pilihan lain itu, maka pada manusia seringkali tidak lagi mengacu pada pemenuhan kebutuhan dasar. Dari sanalah kemudian muncul perang, pembunuhan, penghisapan, sampai penjajahan antar sesama manusia.

Kita tidak usah mengharap ada perbaikan di rimba, karena perbaikan itu tidak akan pernah ada (kecuali perbaikan sebatas pada hal-hal yang sifatnya biologis). Tapi terhadap dunia manusia kita bukan saja berharap, namun juga mesti secara aktif mengupayakan berbagai macam perbaikan. Jika perkembangan peradaban manusia justru melahirkan sisi-sisi negatif, berupa makin canggih dan halusnya berbagai macam bentuk penjajahan serta makin nggegirisinya alat-alat penghancur sesama manusia dan alam, maka di sisi lain manusia mesti mengembangkan dan mengupayakan perbaikan dalam tata hubungan sesama, melawan penjajahan dalam bentuk apapun dan meniadakan atau paling tidak meminimalkan saling menghancurkan antara sesama manusia.

Utopiskah gagasan yang terakhir itu ? Bisa jadi, jika kita selalu mengharap segala sesuatu berjalan secara sempurna. Tapi jika kita meletakkannya sebagai cakrawala, maka gagasan itu bukan sesuatu yang mustahil. Tidak gampang memang, karena interaksi antar sesama manusia serta konflik-konflik yang ditimbulkan sudah sangat kompleks dan tidak bisa diatasi seperti membalik telapak tangan. Namun sejarah manusia menunjukkan bahwa selalu ada geliat-geliat dan kerinduan untuk mencapai sesuatu yang berada di cakrawala. Dan seiring perkembangan
peradaban manusia, jalan-jalan menuju cakrawala yang tercerai-berai itu makin terbuka lebar peluangnya untuk saling bersinergi.

Pertanyaan lanjutan adalah, apakah mungkin jalan-jalan yang berbeda dan tercerai berai saling bersinergi dan bagaimana ? Sangat mungkin, jika memang di antara sesama pejalan yang berbeda itu menyadari bahwa ada tujuan yang sama dan satu, serta menanamkan pada diri sendiri bahwa kita bukanlah ancaman bagi orang lain, dan jalan-jalan lain yang berbeda bukanlah musuh dan ancaman bagi kita.

Itu baru dasarnya, dan sangat dasar sekali. Untuk bisa mengurai secara detail, serta terutama sekali melaksanakan, perlu kerja keras yang luar biasa dan tidak kenal istilah menyerah. Dan itu tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, atau dituntut hanya dilakukan oleh sebagian jalan dan pejalannya, melainkan harus dilakukan secara bersama-sama. Paling tidak jika dasar ini sudah ada, maka hubungan yang saling mengancam yang kemudian melahirkan penjajahan manusia atas sesama manusia dalam bentuk apapun makin bisa diminimalkan. Bukankah faktor yang
membuat tumbuh suburnya suatu ideologi adalah adanya musuh dan keterancaman ? Baik musuh yang benar-benar ada maupun yang diada-adakan ? Baik itu ideologi yang berbasis ekonomi, ras, wilayah geografis, etnik, agama dan lain sebagainya ?

(Dalam rangka menyambut dan memperingati HUT RI ke 58)

18 Agustus 2003

Selengkapnya ...

Rengeng-Rengeng : Kado buat si Bill

Sejak berkenalan dengan komputer, baru kali ini saya bisa jengkel dan tersenyum sekaligus menghadapi ulah virus. Jengkel, karena sempat panik komputer tidak bisa berfungsi secara normal dan 'shut-down' sendiri terus menerus. Butuh waktu lumayan lama untuk bisa mengembalikan komputer berfungsi seperti sedia kala. Namun kemudian saya tersenyum saat mendapat informasi lengkap tentang virus tersebut, terutama setelah membaca pesan yang dibawanya : "I just want to say LOVE YOU SAN!! billy gates why do you make this possible ? Stop making money and fix your software!!".

Tidak sulit ditebak, saya sedang ngomong tentang "WORM_MSBLAST.A" atau dikenal juga dengan nama alias "W32.Blaster.Worm" serta alias-alias lainnya. Sebuah worm atau virus yang belakangan ini melanda dunia, terutama bagi pengguna Windows 2000, 2003 dan Windows XP. Tentang si "billy gates" dalam pesan itu, rasanya tidak perlu diperkenalkan lagi siapa dia.

Jika Anda pengguna Microsoft, tentu pernah dibuat jengkel oleh "ulah" microsoft. Bagaimana tidak, jika banyak problem yang ditemukan -hampir- selalu tidak bisa diketahui pasti penyebabnya, hanya sekedar pemberitahuan normatif bla..bla..bla.. Kemudian setelah mengikuti langkah-langkah yang direkomendasikan pun problem tetap belum teratasi secara memuaskan. Atau .. jika kita butuh waktu berjam-jam untuk download patch dari web-site microsoft untuk memperbaiki program komputer kita. Dan patch ini hanya menyelesaikan masalah yang lalu dan
biasanya memproduksi masalah baru lagi. (Jika kita memakai pc di kantor, mungkin tidak begitu terasa. Namun jika pakai pc pribadi dan koneksi internet dengan biaya pribadi, bisa dibayangkan ongkos yang dikeluarkan untuk mengikuti gayanya microsoft ini)

Worm.MSBlast.A hanyalah perpanjangan cerita tentang petualangan para pembuat virus, yang selalu selangkah di depan pembuat serum. Pembuat virus sudah menjadi -semacam-legenda, seperti halnya para hacker dan cracker. Kita sah-sah saja membuat berbagai macam analisa tentang para viruser, hacker, maupun cracker. Kita juga boleh mengira-ngira apa motif serta tujuan para 'petualang' yang bisa saja bermacam-macam itu. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri, para 'petualang' tersebut ada dan merupakan bagian dari kehidupan kita, yang sepertinya semakin sulit dipisahkan dari dunia cyber.

Worm.MSBlast.A seperti sebuah tamparan. Tamparan yang menyakitkan kala pertama mendarat. Namun kemudian terasa biasa-biasa saja, bahkan bisa membuat tersenyum saat mulai bisa dipahami bahwa dia tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari lantunan irama kehidupan. Dan sebagai reaksi, jika memungkinan ketemu sama si pembuat Worm itu, bolehlah pertama-tama kita jitak. Setelah itu salami, terus kita traktir makan sate.

13 Agustus 2003

Selengkapnya ...

Rengeng-rengeng : Makasih Mbak Siti ..

Saat pertama kali 'mencicipi' nginap di hotel yang lumayan berkelas (entah bintang satu, dua, tiga atau bintang tujuh, nggak ngeh .. yang jelas, nginepnya ada yang nyeponsorin), ketika masih usia belasan dulu, saya sempet diledekin habis-habisan sama temen. Pertama ketika saya kebingungan nyari gayung waktu mau mandi. Kedua saat saya bilang mesti menghabiskan waktu sejam lebih sekedar untuk buang hajat di atas closet duduk.

"Dasar wong ndeso ! Ya .. begini inilah yang namanya standar internasional," kurang lebih begitu semprotan temen saya waktu itu.

Karena takut dibilang 'wong ndeso' lagi, waktu giliran makan pun terpaksa saya bergaya seolah menikmati dan tidak terjadi apa-apa. Hasrat nanya oseng-oseng pun saya pendam jauh di lubuk hati. Padahal, suwer, lidah dan perut saya penginnya berontak karena sudah telanjur nyetel sama jenis masakan seperti oseng-oseng ataupun nasi pecel.

Meski sambil nyimpan rasa dongkol .. bagaimanapun harus saya akui temen saya itu betul, bahwa saya "wong ndeso". Dan otak ndeso itulah yang terus bertanya-tanya sambil ngedumel. "Mbah-mbah dulu pada kemana sih .. waktu rapat netepin 'standar internasional' apa nggak pada dateng ?"

Itu cerita tentang ke-ndeso-an dan ketololan saya dulu. Apakah sekarang saya nggak ndeso dan tolol lagi ? Nggak lagi sepenuhnya. Paling tidak, yang nampak di luar saya nggak lagi ndeso dan tolol. Saya mulai bisa makai setelan jas lengkap dengan dasi, dan menyingkirkan keinginan pakai batik atawa sorjan. Ngomong pun saya mulai terbiasa memakai istilah asing.

Tapi itu yang di luar lho .. Yang di dalem, ternyata saya tetep saja ndeso .. dan tolol. Yang di dalem sini .. otak dan hati saya ternyata teteplah otak dan hati yang ndeso. Diam-diam saya masih mengagumi sikap Iwan Fals dulu yang menolak 'go international' kalau mesti bawain lagu ngInggris. "India bisa, kenapa kita nggak ?!" begitu alasan doi kala itu. Juga .. ternyata saya kangen sama Totok Tewel cs dari group Elpamas yang manggung 'sarungan' sambil nyanyi lagu-lagu Hard Rock. Juga .. ternyata saya masih demen lantunan suara Waljinah. Juga .. ternyata saya masih hobi ludruk sama ketoprak. Juga .. ternyata saya diam-diam mengagumi Siti Nurhaliza.

Lho .. apa hubungannya Mbakayu Siti dengan ndeso dan nggak ndeso ?

Sejarah peradaban dan budaya manusia adalah hamparan cerita soal pinjem-meminjem, soal cerita pengaruh-mempengaruhi. Dan memang begitu itulah yang alami, sesuai sunnatullah. Manusia yang satu selalu butuh manusia lain, satu komunitas butuh komunitas lain. Ketika kita ngomong tentang 'budaya asli bangsa', saya jamin, kita bakalan blingsatan mengurai dan menjelaskan apa itu 'budaya asli bangsa'. Karena sejarah budaya bangsa kita pernah bersentuhan sangat erat dengan budaya Hindi, dan pada periode berikutnya dengan budaya Arab, di susul kemudian budaya Eropa, terus yang mutakhir budaya Barat (Amerika dan
Eropa). Saat kita ngomong 'budaya Jawa', apa itu 'budaya Jawa', batasannya apa, kayak mana kriterianya ? Belum lagi kalau ngomong 'budaya Indonesia'. Jangankan ngomong tentang interaksi suku-suku bangsa dalam keluarga besar Nusantara yang kemudian membentuk 'budaya Indonesia', lha wong kata 'Indonesia' itu sendiri nggak dibikin oleh Mbah-mbah kita.

Jadi ? .. Kalau nggak mau mumet .. ya jangan ngomong 'budaya asli'. Mending kita sikapi bahwa setiap perubahan budaya yang merupakan hasil proses persentuhan antara budaya itu, sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja. Jangan mau pula jadi orang ndeso .. kayak saya. Jadilah orang modern dengan mengikuti standar modernitas.

Nyindir ? Nggak salah kalau ada yang nebak demikian. Dalam banyak hal, saya memang memilih untuk tetap ndeso. Akal dan hati saya terlalu sulit dibohongi untuk menerima standar modernitas sebagai sesuatu yang alami. Artinya, bahwa yang alamiah itu hanya sebagian, di samping faktor-faktor lain yang ditentukan oleh kekuatan, baik berupa uang, senjata dan penguasaan akses ke media. Akal dan hati saya juga berkata, bahwa ada ideologisasi di balik uang dan senjata itu. Ada pula identitas di dalam ideologi. Dan .. secara alamiah .. bakalan ada
resistensi terhadap identitas dan ideologi yang meng-hegemoni.

Saya memilih tetap ndeso, ketika mengagumi Siti Zurhaliza yang mempertahankan identitas Melayu-nya sembari menyanyikan nada-nada pentatonis dan diatonis. Dan saya tidak perlu merasa malu untuk bilang .. "Makasih Mbak Siti .. "

4 Agustus 2003

Selengkapnya ...

Rengeng-Rengeng: Khidir dan Sisdiknas

Ingat Piala Dunia 1982 ? Saat itu saya baru naik ke kelas 6 SD. Boleh dibilang, itulah PD pertama yang saya tonton dan ikuti dengan cukup intens. Salah satu yang meninggalkan kesan cukup dalam pada saya adalah tim Italy, sang jawara pada waktu itu. Bukan karena kehebatan atau permainannya yang indah, tapi jalannya mencapai tangga juara, khususnya di putaran kedua. Italy menyingkirkan dua jagoan super tangguh dari Amerika Latin, Argentina dan Brasil.

Italy bukan saja berhasil membawa pulang piala berlapis emas 24 karat tersebut, namun juga berhasil mengangkat kembali nama 'catenaccio' alias sistem pertahanan grendel yang luar biasa alot itu. Bukan itu saja, Italy juga sukses "melahirkan" julukan 'Khadafy' yang dilekatkan pada Claudio Gentile, sang maskot di jantung pertahanan yang brutal dan merupakan jaminan suksesnya 'catenaccio'. Maradona, sang megastar yang baru menanjak adalah korban paling parah dari kebrutalan si 'Khadafy' ini. Gentile, bak lintah menempel ketat Maradona sepanjang
pertandingan, dan langsung 'menghajarnya' jika mendapatkan bola. Argentina kalah, Maradona frustrasi berat, dan terakumuluasi saat gantian menghajar Zico secara brutal di pertandingan berikutnya.

Kejadian lain yang sulit dilupakan adalah skandal Jerman (Barat) yang main mata dengan Austria buat menyingkirkan Aljazair. Aljazair -dan juga banyak pihak- protes keras atas ulah Jerman dan Austria itu. Tapi apa boleh buat, sanksi yang dituntut tidak juga dijatuhkan, dan Jerman sukses melaju sampai final bertemu dengan Italy. Italy dan Jerman sah berjalan sampai final yang akhirnya dimenangkan Italy itu.

Apa yang dilakukan Italy dan Jerman sah-sah saja. Peraturan -waktu itu- memang memungkinkan aksi brutal ala Gentile berlalu tanpa sanksi berarti. Begitu pula dengan Jerman yang sulit dijerat dengan peraturan apapun yang berlaku saat itu. Sedang Maradona dengan Argentinanya, Aljazair (juga Brazil, mungkin) harus rela berada di pihak yang kalah, karena faktanya jalan mereka terhenti di babaknya masing-masing.

Namun ... ternyata kekalahan Maradona dan Aljazair hanyalah kekalahan di satu sisi. Dan mereka menang di sisi lain : moral. Moral manusia yang tidak terkontaminasi dengan kepentingan maupun ikatan-ikatan emosional sulit membenarkan atas apa yang dilakukan Gentile terhadap Maradona, maupun Jerman dan Austria terhadap Aljazair. Peraturan yang memberi perlindungan terhadap pemain pelan-pelan diujudkan sampai saat ini. Sistem pertandingan di partai penentuan pun diubah, harus dilangsungkan pada waktu bersamaan untuk mencegah jatuhnya korban seperti Aljazair. Itulah kemenangan Maradona dan Aljazair, kemenangan yang tidak diwakili dengan simbol piala.

Cerita PD 82 itu kembali nongol dalam benak saya, saat saya diam-diam meneteskan airmata ketika mendengar RUU Sisdiknas disahkan menjadi UU. Umat Islam telah meraih kemenangan. Ya .. kemenangan. Tapi sekedar kemenangan satu sisi, seperti kemenangan Italy dan Jerman di PD 82. Di sisi lain umat Islam mengalami kekalahan, khusunya menyangkut pasal 13 itu .. kekalahan dari sisi moral .. dan cukup telak.

Kekalahan secara moral ini, sebenarnya sangat merugikan, baik keluar maupun ke dalam. Ke luar, hal ini hanya menunjukkan bahwa standar moral umat Islam memang rendah. Pemahaman umat Islam tentang demokrasi-pun, tak lebih sekedar demokrasi okol alias tirani mayoritas. Umat Nasrani (dan agama lain), dari sisi moral, jadi legitim untuk meng-klaim dirinya sebagai pihak yang tertindas dan teraniaya.

Ke dalam, cara mencapai tujuan seperti ini, dengan mengandalkan jumlah yang mayoritas sembari mengintimidasi pihak minoritas, akan bisa jadi proto-type kelakuan umat Islam selanjutnya, ketimbang mencari dan memperbaiki kelemahan dalam diri umat Islam sendiri. Dan ini sangat melukai 'akhlaqul karimah' yang jadi misi utama Nabi Muhammad saw.

Khidir .. Khidir .. Ah, nama Nabi misterius itu kembali hadir dalam angan saya. Khidir yang mengajak berpikir jauh ke depan sembari membikin Musa muda naik pitam. Khidir yang tidak nyanthol dengan konstelasi politik manapun, tidak terkontaminasi dengan kepentingan pribadi apapun, dan tidak pernah muncul dalam panggung sejarah manapun.

Khidir .. Khidir .. akankah dia hadir kembali ? Ah, kalaupun masih mungkin hadir, saya yakin dia tidak akan berada di jalur pendidikan formal ala UU Sisdiknas.

Batam, 21 Juni 2003

Selengkapnya ...

Rengeng-rengeng 12: Subjektivitas Yang Semena-mena

Subjektif yang semena-mena, kata itu sekilas saya baca di tulisan KDP, mengutip netter lain (siapa ?). Subjektif atau diubah jadi kata benda : subjektivitas, adalah menu paling mengasyikkan dari segala macam menu. Dia adalah teman paling dalam, paling pribadi dari tiap-tiap insan. Dengan begitu, subjektivitas tidaklah terlalu penting untuk diributkan atawa diseminarkan. Seribu pakar dengan sejuta metodologinya boleh saja menyimpulkan A itu jelek. Tapi kalau di dalam dada sini, subjektivitas sang insan bilang A itu lumayan bagus, bagus atau sangat bagus, apa urusan para pakar ? Lha wong privat, ngapain orang lain ikut campur ?

Cuman ya masalahnya, banyak orang tidak tahu diri. Subjektif disangkanya objektif. Privat disangkanya publik. Ujung-ujungnya mau subjektivitasnya yang privat itu nongol di ruang publik, jadi standar di ruang publik dan kalau perlu sekalian ngatur publik. Jadilah akhirnya subjektivitas semena-mena berseliweran di ruang publik, berposisi garang dan mengancam subjektivitas yang lain.

Wak Haji Rhoma Irama, sang super star ndangdut, yang juga politikus dan kadang-kadang jadi da'i inipun, (lepas dari hipokrisi, motif bisnis atau politis seperti disinyalir banyak orang) tidak lain hanyalah salah satu figur yang semena-mena dengan subjektivitasnya kala membombardir Inul dengan fatwa haramnya. Dan Wak Haji tidak sendirian. Ada FPI yang hobi mengobrak-abrik -berdasarkan subjektivitasnya- tempat maksiat. Ada aktivis-aktivis yang sampai sekarang giat mengkampanyekan subjektivitasnya agar dijadikan hukum negara dan
dilabeli 'Syariat Islam', sembari nekat memberi stempel aduhai pada 'lawan' idelogisnya. Ada MUI, sejumlah anggota DPRD wilayah tertentu, aparat, sampai tokoh masyarakat yang dengan subjektivitasnya semena-mena melakukan pencekalan serta pembatasan pada pihak yang tidak disetujui.

Tapi ... jangan lupa. Di posisi berseberangan dengan Wak Haji, berdiri juga kesemena-menaan subjektivitas yang lain. Stasiun televisi, sponsor, serta pihak-pihak yang berkepentingan lainnya secara semena-mena memborbardir ruang publik, dalam hal ini layar televisi, tanpa memperhatikan jam tayang, baik tayangan sebenarnya maupun iklannya. Dan di sana pula tidak sedikit orang tua yang jengah dan khawatir saat tiba-tiba di layar kacanya nongol tontonan yang
-berdasarkan subjektivitas si ortu- belum pantas di tonton oleh anak-anaknya. Dan itu terjadi begitu saja, pada jam-jam anak-anak masih betah di depan pesawat televisi.

Lantas apa ? Sepertinya perlu lebih serius diupayakan penataan agar satu subjektivitas tidak bisa secara semena-mena menindas subjektivitas yang lain. Dan yang tak kalah penting melaksanakan secara konsisten penataan itu. Jika tidak, bangsa kita akan dipenuhi aksi-aksi premanistis berupa pemaksaan subjektivitas secara semena-mena. Dan itu bukan sekedar soal Inul vs Wak Haji.

30 April 2003

Selengkapnya ...

Rengeng-rengeng 12

Di milis FID saya pernah "ditegur" seorang rekan -setelah dia membaca tulisan saya- agar saya menggunakan mata hati. Di banyak tempat dan kesempatan sering saya jumpai orang yang yakin seyakin-yakinnya bahwa pendapat seorang ulama itu pasti jalan menuju kebenaran, karena -simply- keyakinan dia akan keikhlasan sang ulama.

Apa yang Anda pikirkan jika melihat orang yang berperangai halus dan bertutur kata lemah lembut sanggup mengobarkan kebencian dan permusuhan dari atas mimbar ? Apa kira-kira yang ada di benak Anda ketika melihat orang-orang yang tindakannya "lurus", berpenampilan "tawadlu" sanggup membelah dunia dengan garis tegas, serta membaginya menjadi Islam dan kafir yang halal darahnya ? Apa pendapat Anda jika melihat orang-orang lugu dan taat beribadah -secara langsung atau tidak langsung- turut memperpanjang aksi baku bunuh secara biadab di bumi Ambon sana ? Apa reaksi Anda jika setiap hari menyaksikan anak-anak muda yang tulus ingin mendalami agama di-'brain wash' dan diseret-seret masuk dalam situasi konflik dan beban psikologis warisan masa lalu ? Dan itu terjadi di depan hidung Anda !

Kita sama sekali tidak kekurangan orang alim (jika standar alim adalah rajin melakukan ibadah ritual). Kita juga tidak kekurangan orang ikhlas yang sanggup melakukan dan berkorban apa saja 'lillahi ta'ala'. Kita hanya kekurangan ajaran Islam yang lebih manusiawi dan 'ngutek', bukannya ajaran yang hanya mengaduk-aduk emosi.

Saya tidak pengin omong besar soal tanggung jawab moral. Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan. Kalau ada orang kesakitan dan marah karena 'sengatan' saya, meski kadang keder juga, saya anggap itu sebagai konsekuensi. Kalau mau ngomong soal mata hati, ikhlas dan segala macam yang berbau spiritualisme silakan datang ke rumah saya atau undang saya ke rumah
Anda. Karena saya hanya mau ngomong soal-soal seperti itu kalau sedang ngobrol santai dengan teman-teman dekat saja, dan bukannya di domain publik, seperti mailing list.

19 April 2003

Selengkapnya ...

Rengeng-rengeng 11

Singkat cerita, sang anak menabrak ember yang ditaruh sang bapak di depan pintu. Tabrakan -yang pasti lolos dari campur tangan polantas- itu menimbulkan suara grobyakan (gaduh) di sekitar rumah, menghasilkan wajah sang anak yang bonyok karena terjerembab, ditambah barang-barang berantakan terkena efek domino. Sang bapak sambil melotot, berkacak pinggang serta mengabaikan sang anak yang meringis kesakitan, mengeluarkan kata-kata saktinya.

"Matamu neng ngendi, Ember njenggelek neng ngarep lawang kok ditunjang ?!" (matamu dimana, ember jelas-jelas di depan pintu kok ditabrak)

Beberapa hari kemudian cerita berulang. Namun kali ini terbalik. Sang anak yang menaruh ember dan sang bapak yang jadi pelaku tabrakan. Ajaibnya, sang bapaklah yang kembali mengeluarkan kata-kata sakti.

"Kurang ajar. Ndokok ember sak karepe dhewe. Uteke neng ngendi ?!" (kurang ajar. naruh ember seenaknya. otaknya di mana)

Hikmah dalam humor (kalau mau disebut begitu) tersebut saya dapat dari bapak. Saya tidak tahu dari mana bapak dapat cerita seperti itu. Tapi itu tidak penting. Yang penting cerita itu masih saya ingat sampai sekarang, karena isinya yang relevan di banyak tempat dan waktu. Apalagi di saat seperti ini, saat saya lebih sering menyaksikan akal dikalahkan okol (kekuatan). Saat "apa" dan "bagaimana" kalah oleh "siapa". Saat saya menyaksikan bermunculannya
fundamentalis-fundamentalis baru, "ngAmrikisme fundamentalis".

Selengkapnya ...

Rengeng-rengeng 10

Saat di satu situasi saya terpaksa duduk berhimpitan dengan seorang teman perempuan, ada yang ngledek saya ,"Wah tuh .. Syafei seneng donk empet-empetan .." Waktu itu ringan saja saya menjawab, "Siapa bilang cuman aku yang seneng .. si Mbak itu pasti juga seneng .."

Entah gimana si teman itu menafsirkan jawaban saya. Bisa jadi dianggapnya sekedar ngeles. Padahal jawaban ringan saya itu juga mengandung protes pada ledekannya yang masih didasari pandangan : perempuan adalah objek seksual.

Sebagai laki-laki yang dikaruniai badan sehat dan berfungsi normal, saya pun tidak mungkin bisa luput dari menganggap perempuan sebagai objek seksual. Namun pada saat yang sama saya juga dikaruniai akal, yang dengannya saya bisa melampaui naluri kebinatangan saya itu. Akal saya mengatakan, bahwa dalam urusan esek-esek, perempuan sebenarnya memiliki posisi yang sama dengan laki-laki : sebagai objek dan subjek sekaligus. Karena perempuan bukanlah sekedar seonggok daging sebagai hidangan santapan, namun seperti juga laki-laki, perempuan juga dilengkapi dengan akal dan rasa. Itu baru soal esek-esek, belum ke soal yang lainnya.

Memang malang benar nasib kaum perempuan, yang tidak pernah diberi hak memilih untuk dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan itu. Di dunia mereka dikondisikan jadi pelayan laki-laki. Penolakan terhadap pengkondisian ini akan membuat status 'shalihah' mereka dicabut. Tercabutnya status shalihah, automatis akan mengantarkan mereka ke neraka yang -katanya- mayoritas penghuninya kaum perempuan. Jadi, tidak seperti laki-laki, jalan menuju ke sorga bagi kaum perempuan jauh lebih rumit dan sulit. Malangnya lagi, sudah rumit dan sulit jalannya, kalau berhasil masuk sorga pun mesti bersaing lagi dengan 72 bidadari. "Weleh .. weleh .. nasibmu Nduk," pinjem kata-kata Simbah.

Apakah saya sedang membela perempuan ? Atau saya sedang melakukan 'class suicide', yang katanya merupakan prasyarat seorang laki-laki agar bisa menerima emansipasi ? Tidak. Jika membela, maka itu artinya saya masih dihinggapi perasaan superioritas laki-laki atas perempuan. Juga istilah 'class suicide' itu terlalu bombastis bagi saya. Yang perlu dilakukan oleh laki-laki agar bisa menerima emansipasi hanyalah perasaan legawa, rela. Rela mengakui bahwa
laki-laki selama ini memang lebih diuntungkan melalui kebohongan dan mitos-mitos. Baik mitos yang diciptakan oleh laki-laki terhadap laki-laki, laki-laki terhadap perempuan, maupun sebaliknya. Baik mitos yang dilestarikan melalui tradisi, maupun mitos yang diciptakan atas nama Tuhan yang (lebih digambarkan) laki-laki itu.

Emansipasi bukanlah keinginan melawan kodrat, seperti yang dituduhkan sebagian orang, tapi upaya menciptakan hubungan yang lebih proporsional antara laki-laki dan perempuan. Proporsional dalam hak dan kewajiban masing-masing berdasarkan 'perundingan' yang lebih bisa diterima nalar, dan bukannya atas dasar mitos-mitos. Emansipasi bukanlah perlawanan terhadap Tuhan, namun jalan menuju Tuhan dengan membongkar kebohongan yang mengatas namakan Tuhan. Jika Tuhan masih digambarkan sebagai laki-laki, itu artinya jalan menuju Tauhid, menuju Tuhan yang tidak laki-laki dan tidak perempuan itu masih panjang.

Emansipasi sebenarnya tidak merugikan laki-laki. Karena tidak ada bertambahnya hak kecuali bertambah pula kewajiban. Tidak ada berkurangnya hak kecuali berkurang pula kewajiban. Dalam emansipasi, sebenarnya ada juga keuntungan yang bisa diperoleh laki-laki. Dengan emansipasi, laki-laki juga bisa memposisikan dirinya dengan lebih baik dan masuk akal, serta tidak terkungkung terus menerus oleh mitos. Laki-laki tidak perlu lagi merasa malu menyusun daftar serta melaporkan kekerasan perempuan terhadap laki-laki, misalnya.

Jadi, apa lagi alasan untuk tidak legawa dengan emansipasi ? Segeralah ke sana, karena rasa legawa inilah yang akan menghindarkan ketegangan dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Ketegangan yang diwarisi turun temurun dari rasa dendam dan kebencian yang menghuni alam bawah sadar masing-masing. Rasa legawa inilah yang akan jadi jalan memutus mata rantai ketegangan itu. Jika tetap harus ada ketegangan dalam hubungan laki-laki dan perempuan, biarlah itu hanya di seputar wilayah antara perut dan lutut saja.

12 April 2003

Selengkapnya ...

Rengeng-rengeng 9

perang .. perang lagi
semakin menjadi
berita ini hari
berita jerit pengungsi ..

Lagu lama Iwan Fals itu tanpa sadar saya nyanyikan lagi pagi ini. Lagu itu terasa pas jadi sarapan di tengah berita tentang Irak, yang bisa saja kita santap dengan kepala dingin maupun dengan emosi campur aduk antara miris, sedih, geram dan marah. Belum lagi berita tentang perang yang lain dari pulau seberang. Bukan perang melawan manusia atau negara manapun, tapi perang melawan virus SARS.

Perang terbaru ini, meskipun sempat dibahas, ternyata kurang mendapat perhatian, setidaknya dibanding perang Irak. Tak ada massa turun ke jalan, tak ada pernyataan resmi, himbauan atau apalagi tindakan dari pemerintah RI. Barangkali karena memang nilai politisnya yang rendah, jadi bisa dikesampingkan dulu.

Masih banyak perang-perang yang lain, baik yang mendapat perhatian luas maupun sekedar kebagian jatah cuek. Sebut saja -antara lain- perang melawan kebodohan dan pembodohan, perang melawan kemiskinan, penindasan, sampai perang yang -kata pak Kyai- paling besar : perang melawan hawa nafsu.

Sepertinya hidup memang persis seperti yang ditulis Steve Vai di salah satu lagunya : Life is just passion and warfare.

2 April 2003

Selengkapnya ...

Rengeng-rengeng 8

Ada fenomena menarik dari aksi yang digelar KISRA kemarin. Hidayat Nur Wahid, Presiden PK yang juga koordinator aksi tersebut tidak lagi mengedepankan isyu-isyu agama dalam menggelar aksinya. Saya bilang menarik, karena untuk ukuran PK itu sudah lompatan yang lumayan berarti, dari terus-terusan mengedepankan agama, berganti dengan mengedepankan kemanusiaan.

Dalam suatu diskusi yang saya ikuti tentang partai yang merupakan hasil metaformosis dari Jama'ah Tarbiyah ini, mencuat satu pemikiran yang lumayan menarik. (Singkatnya) Kita beri kesempatan PK yang masih muda ini menemukan jadi dirinya, jati diri yang lebih ngindo dan tidak terkungkung dalam Ikhwanisme yang merupakan basic ideologi mereka. (Secara resmi memang tidak ada keterkaitan PK dengan IM, namun wacana-wacana yang diusung tidak bisa dipungkiri, berkiblat ke IM). Saat itu juga saya lontarkan pandangan saya, bahwa sambil memberi ruang PK buat berproses, kita juga bisa memerankan diri sebagai sparring partner. Dan sebagaimana layaknya sparring partner, kita perlu terus menerus melontarkan 'jab-jab', yang kadang diselingi 'hook' dan 'upper-cut'. Saya, secara pribadi juga sayang, kalau PK yang gerakannya terkoordinasi lumayan bagus dan punya basis massa yang punya semangat ketulusan tinggi ini lenyap begitu saja dalam kancah pemikiran agama di Indonesia.

Posisi PK sendiri memang tanggung. Di antara sesama gerakan yang berbasis pada gerakan salafiyah, PK terus jadi bulan-bulanan gerakan sejenis seperti Hizbut Tahrir dan Salafy. Namun di sisi lain, mereka juga terlalu puritan untuk ukuran partai atau gerakan yang terbuka dan modern. Dalam posisi itu, mau tidak mau akan terjadi tarik-menarik dalam tubuh PK sendiri, mau bergerak surut kembali ke Ikhwanisme-nya, atau bergerak maju menjadi lebih modern dan terbuka.

Aksi yang di arsiteki Hidayat Nur Wahid ini, mudah-mudahan jadi pertanda bahwa PK sedang bergerak maju, dan bukannya surut. PK mau tidak mau harus melihat kenyataan, bahwa wacana-wacana mereka makin sulit dipertahankan dalam kancah 'perang wacana'. PK harus cukup bisa berbesar hati bahwa Ikhwanisme mereka kian hari kian terdesak di tengah komunitas yang bisa dan berani berpikir mandiri. PK juga tidak bisa selamanya meneteki dan melindungi pengikutnya, karena hati dan akal itu memang tidak bisa dibendung oleh apapun, kecuali jika PK memang mau pengikutnya hanya jadi robot yang gampang digerakkan.

Jika perkiraan saya itu benar, saya pengin mengucapkan pada PK : "Selamat datang di dunia yang lebih penting mengurus manusia ketimbang mengurus Tuhan." Tuhan sudah bisa mengurus diri-Nya sendiri, dan kita tidak perlu menurunkan derajat-Nya dengan berlagak perlu dan sanggup mengurus-Nya.

31 Maret 2003

Selengkapnya ...

Rengeng-rengeng 7

Saya tertegun, saat melihat ada masjid di tengah-tengah komplek perkantoran yang setiap urusan selalu UUD (Ujung-Ujungnya Duit). Saya awasi terus masjid itu, kali aja tuhan nongol. Pengin saya tonjok jidatnya. Sepi-sepi aja. Nggak sabar, saya samperi itu masjid. Tepat di depan masjid saya bilang,"Han, ngapain aja elu di situ. Maen gaple ya ?" Nggak ada jawaban. Saya ulang beberapa kali, tetap saja nggak ada jawaban. Kesimpulan saya, tuhan di masjid itu kalo nggak budeg ya bisu.

Saat mendengar orang ngomong diawali 'Assalamu alaikum warahmatuLlahi wa barakatuh' dan ditutup dengan kata yang sama, tapi isinya blekethek bunek bikin eneg, saya bergumam dalam hati, "Nah tuh, tuhan barusan ngapusi."

Saat mendengar teman ngomong "Demi Tuhan bla..bla..bla.." tapi kenyataannya bli..bli..bli.., saya celingukan sambil melototi setiap sudut ruangan, kali aja tuhan nongkrong di sana dan bisa ditanyain. Tapi nggak kelihatan juga batang hidungnya.

28 Maret 2003

Selengkapnya ...

Rengeng-rengeng 6

Asyik juga melihat perbandingan-perbandingan, apalagi jika perbandingan itu antar person-person tenar yang sudah jadi 'icon' bangsa. Yang lebih membuat asyik, perbandingan itu menyuruk ke dimensi yang lebih dalam ketimbang sekedar yang bisa dilihat mata telanjang. Coba saja Anda bayangkan perbandingan Aa Gym - Inul dan Ulil - Inul. Kalau ada yang bilang "erotika terselubung makna libido ada pada Aa Gym, dan makna spiritual pada Inul juga ada", atau mau yang lebih lugas tanpa tedeng aling-aling seperti ujaran teman saya, Cak Ardi Cahyono yang moderator milis muhammadiyah2002@ itu : "Nonton Inul lebih bisa membuat pikiran jadi fresh, ketimbang ceramahnya Aa Gym atau Zainuddin MZ". (Sorry Cak, kalimatnya tak modifikasi biar lebih mengena .. sekalian selamat 'mempertanggung-jawabkan' ujaran sampeyan itu ..)

Perbandingan berikutnya, antara Ulil - Inul. Dari segi estetika bunyi, perbandingan yang ini lebih enak ketimbang Aa Gym - Inul. Tapi bukan itu yang penting. Yang lebih penting adalah perbandingan yang dibuat mas Bimo mengenai Ulil - Inul. Ulil - Inul merupakan dua sosok yang sama-sama menembus batas-batas tabu, menurut mas Bimo. Kalau Ulil merobek batas tabu pemikiran agama, maka si Inul menghajar batas tabu budaya.

Saya sulit menahan diri untuk tidak ikut-ikutan nimbrung soal banding membanding ini. Apalagi, mengamini mas Bimo, saat ini lagi suntuk di tengah gencarnya berita tentang perang Bush vs Saddam. Kemudian, daripada membanding-bandingkan secara terpisah, sekalian saja saya bikin perbandingan ketiganya sekaligus Ulil - Inul - Aa Gym, atau kalau mau dibalik jadi Aa Gym - Inul - Ulil juga terserah saja. Saya melihat titik persamaan antara ketiganya, yang bertemu pada 'gairah kaum muda'. Kebetulan ketiganya memiliki sisi-sisi tertentu yang juga saya kagumi. Saya urai satu persatu.

Pertama, kekaguman saya terhadap Ulil terletak pada semangat pembaharuan yang terus menerus dia hembuskan, plus sikap konsekuennya dalam mempertanggung jawabkan setiap ide-ide yang dia lontarkan. Ulil nampak seperti punya energi berlebih buat meladeni 'keberatan-keberatan' terhadap pemikirannya secara elegan. Bukan hanya di seminar-seminar atau media massa, tetapi juga di internet, khususnya mailing list. Point terakhir ini yang sebenarnya perlu mendapat catatan khusus. Internet secara umum memiliki sifat yang jauh lebih egaliter dan demokratis di banding media konvensial (tentunya tetap ada pengecualian, bahwa kelakuan feodal dan fasis pun ada di internet). Internet, memiliki mekanisme komunikasi timbal balik yang jauh lebih sederhana di banding media konvensional. Saat kita melontarkan ide atau pendapat di Internet, ada dua kemungkinan konsekuensi yang bakal mengikuti. Pertama kita mesti siap mempertahankan pendapat kita dari gempuran-gempuran orang lain, yang
-barangkali- tidak pernah kita sangka-sangka, dengan dasar dan argumen-argumen yang bisa dipertanggung jawabkan. Kemungkinan kedua adalah kita mesti menarik atau mengoreksi pendapat kita jika memang tidak bisa lagi dipertahankan. Jika kita menolak kedua kemungkinan itu, jangan kaget kalau tiba-tiba kita diberi stempel "asal njeplak". Dan Ulil cukup punya keberanian untuk itu, di saat banyak tokoh-tokoh lain berlindung di balik kata 'sibuk'.

Kedua, kekaguman saya terhadap Inul si 'goyang ngebor'. Melihat catatan perjalanan karir Inul yang benar-benar dimulai dari bawah, dari kampung ke kampung sampai mencapai ketenaran seperti sekarang, yang gaungnya juga terdengar sampai ke manca negara. Hebatnya, loncatan hebat karir anak ini sama sekali tidak membuat dirinya gagap. Inul adalah seorang profesional sejati.

Ketiga tentang Aa Gym. Kekaguman saya terhadap si Aa, di samping karena perjalanan 'karir' Aa yang mirip-mirip si Inul, juga terletak pada kemampuannya meramu -ini istilah saya- "tasawuf pop". Aa mampu membuat short cut-short cut yang relatif sederhana dalam memahami agama, terutama tasawuf. Dan kemampuan Aa ini menemukan momentum yang tepat, di saat banyak orang gandrung dengan short cut-short cut, serta mampu menjadi satu tawaran alternatif di samping short cut-short cut lain, yang penekanannya lebih pada teologi dan fiqh dengan wacana yang -menurut saya- lumayan mengerikan.

Apakah dengan kekaguman saya itu berarti juga saya menyetujui, menggemari atau mengikuti mereka ? Tidak. Mengagumi sisi-sisi tertentu dengan menyetujui atau apalagi mengikuti adalah hal yang berbeda.

Di banding Ulil yang masih bermain-main di dinding, yang membuatnya belum bisa keluar dari posisi defensif, atau di banding Aa Gym yang masih terkungkung dalam konsep teologi yang cenderung fatalistik dan bakalan membuatnya hanya bisa berputar-putar, (bukan nyombong lho) saya lebih memilih gagasan saya sendiri daripada mengikuti mereka. Soal Inul pun, meski saya juga gemar musik dangdut, tapi saya jelas punya penyanyi dangdut favorit sendiri, dan itu bukan Inul.

Namun, point-point terakhir yang saya tulis di atas, tidaklah menggugurkan kekaguman saya, dan juga tidak mengurangi respek saya terhadap mereka. Welcome Mas Ulil, sugeng rawuh Mbak Inul, selamat datang Aa Gym.

26 Maret 2003

Selengkapnya ...

Rengeng-rengeng 5

Bayangkanlah John Lennon masih hidup saat ini. Kira-kira apa yang akan dia lakukan ? Mengarang lagu baru yang lebih dahsyat dan menohok dari 'imagine'-nya yang melegenda itu ? Atau bergabung bersama jutaan demonstran di seluruh belahan dunia untuk menentang perang ? Atau bersama-sama kita nongkrong di gardu ronda sambil ngopi, ngudut dan main gaple ?

Sah-sah saja kita membayangkan si John, seperti sahnya si John menyuruh kita membayangkan seandainya tidak ada sorga, neraka, negara, agama dan kepemilikan. Membayangkan, setidaknya bisa memberi kita sedikit hiburan, di tengah keputus asaan saat segala upaya mentok dalam menahan tangan sang adidaya. Membayangkan, jika mau, juga bisa kita ubah jadi cita-cita yang lebih terkonsep dan punya peluang terwujud di kemudian hari.

Saat ini, saya pun membayangkan si John ada di hadapan saya. Ingin saya katakan pada mantan pentolan Beatles ini, "John, ente bukan pemimpi. Ente betul, ente nggak sendirian. Boleh aku gabung sama ente ?" Saya bayangkan si John mengangguk sambil tersenyum. "Tapi tunggu John .. jangan salah paham. Aku hanya mau gabung sama cita-cita ente soal Live In Peace. Kalau soal Rest In Peace .. belakangan aja dech .. " Si John tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. Si John merogoh saku celananya, menyodori saya sebatang rokok .. rokok kretek. "John .. ente doyan
rokok kretek ? Apa ente juga doyan thiwul ?" Belum sempat si John menjawab, ia keburu hilang ditelan suara-suara berisik di sekitar saya.

Batam, 20 Mar 2003

Selengkapnya ...

Rengeng-rengeng 4

Masih seputar tuhan, tapi kali ini agak berbeda. Saya telah dan sedang meninventarisasi kejahatan-kejahatan yang dilakukan tuhan. Hasil sementara inventarisasi saya dan kemungkinan action saya sebagai berikut :

1. Saya akan ajukan tuhan sebagai penjahat perang, karena tuhanlah yang bertanggung jawab atas terjadinya genocide terhadap penduduk muslim Bosnia.
2. Saya akan ajukan tuhan ke komisi Hak Azasi Manusia, karena tuhan pula yangbertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan di Ambon dan Poso.
3. Saya akan adukan tuhan ke PBB, karena tuhan telah membisiki George W. Bush untuk melakukan misi 'crusade' dengan menyerang Afghanistan.
4. Saya akan tuntut tuhan, karena menyuruh Osama bin Ladin melakukan aksi teror ke seantero dunia dan membunuh orang-orang yang tidak tahu apa-apa.
5. Saya akan adukan tuhan ke polisi, karena aksi-aksi premanistis para pembelanya.
6. Saya akan adukan tuhan ke Komnas HAM, karena suruhan-suruhannya melakukan pelanggaran terhadap hak kebebasan berekspresi di Indonesia.
7. Saya akan mengadu ke para aktivis feminisme, karena tuhan telah menjadikan perempuan warga kelas dua.

Untuk sementara itu dulu daftarnya. Sebenarnya saya masih punya sederet daftar lagi, tapi saya bingung teman. Tuhan yang mana yang akan saya tuntut. Tuhannya MUI, tuhannya FPI, tuhannya majelis mujahidin, tuhannya lasykar jihad, tuhannya lasykar kristus, tuhannya Bush, tuhannya Osama, tuhan nya orang Kristen, tuhannya orang Islam, Hindu atau .. tuhan yang mana ? Saya bingung, karena semua orang bilang tuhan dan tuhan di belakang mereka. Itu sudah indikasi cukup jelas bahwa tuhanlah yang paling bertanggung jawab. Tapi .. tuhan yang mana ?

(ntar disambung lagi ya ..)

Batam, 18 Mar 2003

Selengkapnya ...