"Bayangkan seandainya dalam hidup ini kita nggak punya rasa percaya," Dul Kemplu membuka obrolan malam itu berusaha mencairkan kejengkelan Mat Kemin dan Kang Sarjo.
Siapa yang tidak jengkel, jika tiap mau mengambil makanan di warung angkringan langganan mereka, Dul Kemplu nanya sampai ke hal yang detil ke Pak Mo, penjualnya. Bahannya dari apa, sudah berapa lama, dimasak dengan apa dan bagaimana, dan seterusnya. Lebih menjengkelkan lagi tiap mau menyantap, makanannya dicium dulu baunya, persis seperti kucing. Meskipun Pak Mo dengan sabar meladeni, dan paling banter hanya geleng-geleng kepala, tak urung hal itu membuat wajah Mat Kemin dan Kang Sarjo plethat-plethot tanda tidak senang dengan kelakuan Dul Kemplu.
"Bayangkan aja sendiri," sahut Mat Kemin ketus.
"Kelakuan bikin malu aja," sambung Kang Sarjo.
"Tanpa rasa percaya, betapa rumit dan repotnya hidup ini. Bukan hanya orang lain, tapi diri kita sendiri juga jadi repot," Dul Kemplu meneruskan seolah tidak mempedulikan sahutan ketus kedua temannya.
"Kelakuanmu bukan cuma bikin repot. Kalau bukan Pak Mo yang jual, masih untung kalau cuma dipisuhi, bisa-bisa kamu digebuki," kata Kang Sarjo dengan nada jengkel.
"Lha tadi baru urusan makanan di angkringan. Coba kalau mau naik angkutan umum misalnya. Kita mesti nanyai sopirnya dulu, Pak beneran bisa nyopir nggak," Dul Kemplu nyerocos sambil mulutnya diplethat-plethotkan. "Bannya sudah pasti nggak bakal mbledhos di jalan kan, remnya pakem apa nggak. Bapak cukup tidur nggak, jangan-jangan ngantuk .... "
Wusssss ... tiba-tiba sebuah tendangan melayang ke arah pantat Dul Kemplu.
"Jangan ndagel!" hardik Kang Sarjo sambil menahan ketawa. "Kamu kira dengan ndagel lantas kelakuan kamu bisa dimaafkan gitu?"
"Siapa yang ndagel? Wong aku mraktekin doang," Dul Kemplu membela diri. "Lagian siapa yang berharap maaf. Emangnya aku salah apa?"
"Sudah bikin malu di depan Pak Mo itu emang bukan kesalahan?!" gantian Mat Kemin menghardik sambil melotot.
"Lha wong tadi juga cuman praktek kok," kata Dul Kemplu sambil nyengenges.
"Asuuuu .. " kata Kang Sarjo sambil mendorong badan Dul Kemplu. "Kalau cuma mau praktek mbok ya kompromi dulu, tiwas adem panas pengin nyemplungin kamu ke got."
"Sontoloyoooo ... " Mat Kemin tidak mau ketinggalan mengeluarkan kromo inggilnya.
Ketiga orang itu tertawa bareng akhirnya.
"Dalam masyarakat tradisional, atau hubungan masyarakat dalam ruang lingkup kecil, kepercayaan satu sama lain itu sifatnya secara langsung dan lebih sederhana," kata Dul Kemplu setelah mereda tertawanya.
"Kayak kepercayaan kita pada Pak Mo?" tanya Kang Sarjo.
"Iya," jawab Dul Kemplu. "Meski kita nggak pernah tahu persis gimana Pak Mo menyiapkan, meracik sampai memasak makanan yang beliau jajakan, kita tetap percaya bahwa Pak Mo nggak bakalan secara sengaja mencampurkan bahan-bahan berbahaya atau menjajakan makanan yang sudah basi. Makanya kita nggak pernah ragu tiap makan di angkringan Pak Mo."
"Ah, itu sih bukan karena percaya. Tapi karena kepepet, wong kemampuan kita cuman segitu. Selain itu, boleh ngutang lagi hahahaha," sahut Mat Kemin sambil tertawa.
"Meski kadang suka ngemplang, ternyata masih boleh ngutang lagi," imbuh Kang Sarjo disambung dengan cekakaan mereka bertiga.
"Ya begitulah timbal balik rasa saling percaya yang sangat sederhana," kata Dul Kemplu. "Tapi pada masyarakat modern, atau pada skup yang lebih luas kepercayaan seperti itu sudah tidak berlaku lagi."
"Ya jelas dong, kan kita tidak lagi bisa saling mengenal dan tahu keseharian maupun integritas pribadi masing-masing," Kang Sarjo menanggapi.
"Makanya, hubungan antar anggota masyarakat menjadi terbalik. Menjadi rasa saling tidak percaya," kata Dul Kemplu.
"Ya nggak juga .. " bantah Mat Kemin.
"Tunggu dulu ... " Dul Kemplu mencegah Mat Kemin melanjutkan bantahannya. "Karena rasa saling percaya itu jadi sulit, akhirnya kepercayaan diwakilkan pada lembaga-lembaga tertentu. Dan tiap orang jika ingin dipercaya harus memiliki sertifikasi, rekomendasi, stempel atau apalah yang sejenis itu dari lembaga terkait. Harus tertib administrasi, dan lain sebagainya.
"Misalnya, kalau orang pengin dipercaya bisa nyopir harus punya SIM, kalau pengin dipercaya punya suatu keahlian harus punya ijazah, gitu?" tanya Mat Kemin.
"Betul, ya seperti itulah sebagian contohnya," jawab Dul Kemplu.
"Ya itu udah konsekuensi kita hidup di tengah-tengah masyarakat modern. Apa mau kembali ke jaman Majapahit, nggak tho?" sahut Kang Sarjo. "Lantas, apa masalahnya?"
"Masalahnya ... ketika lembaga-lembaga yang jadi sumber kepercayaan itu ternyata nggak bisa dipercaya. Ketika kita sama-sama tahu betapa mudahnya berbagai macam sertifikasi diperoleh asal ada duit," jawab Dul Kemplu.
"Terus, apa kita mesti nglakuin kayak yang kamu praktekin tadi biar bisa percaya?" tanya Kang Sarjo.
"Berapa persen sih dari masyarakat kita yang leluasa menentukan pilihan-pilihan?" Dul Kemplu menerawang, mengabaikan pertanyaan Kang Sarjo. "Nggak banyak. Yang terbanyak adalah orang-orang yang terpaksa menerima keadaan karena keterbatasan pilihan atau ketidakmampuan secara finansial untuk menentukan pilihan-pilihan."
"Lha terus, piye jal?" tanya Mat Kemin.
"Dalam masalah transportasi saja misalnya. Akhirnya timbul sikap masa bodoh, disertai pasrah bongkokan, sambil berharap nasib baik selamat sampai tujuan," kata Dul Kemplu.
"Itu baru masalah transportasi," sambung Dul Kemplu setelah kedua temannya hanya diam. "Belum lagi masalah hukum, pendidikan, pemilu .. "
"Kok sampai pemilu .. ?" potong Kang Sarjo.
"Ah, sudahlah .. mikirin mbayar utang ke Pak Mo aja masih pusing .. kenapa mikirin yang lain-lain .. " Dul Kemplu menyudahi.
Selamat datang, sugeng rawuh ..
Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..
Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik" 
Custom Search
Monday, May 25, 2009
Rasa Percaya
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment