Ada yang mencibir, orang main sepakbola itu kurang kerjaan. Bola satu kok diperebutkan 22 orang. Apa tidak mampu beli bola sendiri-sendiri? Ada juga yang bilang, orang-orang yang mendukung tim A atau tim B sebenarnya orang-orang bodoh. Toh kalau tim yang didukung menang atau jadi juara, yang mendukung tidak mendapat apa-apa.
Harus saya akui yang dibilang itu memang betul. Jika saya menyatakan diri sebagai penggemar sepakbola, dan rela memelototi televisi tiap malam belakangan ini untuk sekedar nonton perhelatan Euro 2008, itu artinya saya dengan senang hati menggabungkan diri bersama jutaan orang-orang bodoh di seantero dunia. Artinya juga, saya rela menjadi bagian orang-orang kurang kerjaan, atau setidaknya doyan menonton orang-orang yang kurang kerjaan.
Saya juga sadar sepenuhnya, kecuali bagi sebagian orang yang dengan ketajaman naluri bisnisnya mampu memanfaatkan momen Euro 2008, pada umumnya apapun hasil yang telah, sedang dan akan terjadi dalam perhelatan itu tidak ada relevansinya secara langsung dengan hidup yang semakin tidak gampang di republik ini.
Jika Belanda menang misalnya, tidak serta merta harga barang yang telanjur melambung itu turun kembali. Jika Jerman kalah, dampaknya terhadap perbaikan ekonomi bangsa ini tidak akan terasa. Bahkan tidak juga saat wasit mempertontonkan ketegasannya dan keteguhannya dalam menghukum pemain atau satu tim, tidak lantas aparat penegak hukum di negeri ini menunjukkan ketegasan dan keteguhan yang sama.
Namun begitu, boleh dong saya mengemukakan alasan atau membela diri kenapa saya bisa dengan sadar dan rela bergabung ke dalam aktivitas yang bodoh, kurang kerjaan dan tidak punya relevansi dengan kesulitan hidup itu.
Pertama, saya memandang sepakbola bukanlah sekedar permainan tanpa makna. Sepakbola -seperti juga cabang olahraga yang lain- bagi saya adalah wujud nyata keberhasilan mengelola "nafsu syahwat". Harap jangan berpikiran ngeres dulu dengan istilah "nafsu syahwat", karena "nafsu syahwat" di sini lebih berarti pada keinginan atau dorongan untuk menunjukkan eksistensi maupun keunggulan, baik dalam skala individu, kelompok maupun bangsa.
Dapat dibayangkan, jika seandainya "nafsu syahwat" itu gagal diarahkan ke dalam wadah yang lebih manusiawi seperti sepakbola, dunia bakal tidak pernah sepi dari bentuk pelampiasan "nafsu syahwat" lainnya yang lebih mengerikan.
Terlepas dari kontroversi maupun dampak langsungnya bagi hidup kita, menyaksian kesebelasan Belanda bertanding habis-habisan melawan Italia, atau Kroasia yang "bertempur" di lapangan hijau melawan Jerman, jauh lebih menarik, lebih manusiawi dan lebih layak ditunggu ketimbang masing-masing negara menembakkan rudalnya ke negara lainnya.
Hidup akan terasa lebih indah dan nyaman jika penyerang-penyerang kesebelasan Amerika Serikat -yang di luar perhelatan Euro itu- membombardir gawang lawannya, ketimbang pesawat-pesawat tempurnya yang meluluh lantakkan Irak dan mencabut ribuan nyawa tak berdosa.
Atau kalau mau contoh yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari, menyaksikan suatu tim sepakbola mempertontonkan superioritasnya terhadap tim lain jauh lebih mampu memikat ketimbang menyaksikan kelompok seperti FPI -misalnya- menunjukkan kekuatannya pada kelompok lain.
Kedua, tentang sepakbola antar negara itu sendiri. Bagi saya pertandingan di level antar negara seperti di Euro 2008 selalu memiliki daya tarik lebih dibandingkan pertandingan antar klub. Karena meskipun tetap berperan, kekuatan uang bukan lagi menjadi unsur yang sangat dominan. Jika kesebelasan seperti Kroasia mampu menyingkirkan Inggris di babak kualifikasi dan mengalahkan Jerman di putaran final, sangat sulit mengharapkan Dinamo Zagreb mampu melakukan hal yang sama terhadap klub superkaya seperti MU, Chelse atau Bayern Muenchen.
Level antar negara ditentukan terutama bukan karena kekuatan finansial negara bersangkutan. Kekuatan kesebelasan suatu negara lebih ditentukan pada adanya tradisi yang kuat, yang memungkinkan lahirnya bakat-bakat hebat, serta kemampuannya mengelola bakat-bakat tersebut.
Jika kekuatan finansial jadi faktor paling dominan dalam membentuk kekuatan kesebelasan suatu negara, maka negara-negara seperti Brasil, Argentina dan negara-negara di benua Afrika tidak akan masuk hitungan.
Ketiga, seperti sering dilontarkan komentator-komentator di televisi, kita sebenarnya bisa mengambil pelajaran dari perhelatan seperti Euro itu. Bahwa pada kenyataannya kita selalu gagal dan gagal lagi dalam mengambil pelajaran, tidak ada salahnya jika kita juga terus mencoba dan mencoba lagi.
Selamat menikmati Euro 2008.
Selamat datang, sugeng rawuh ..
Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..
Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik" 
Custom Search
Wednesday, December 24, 2008
Rengeng-rengeng : Sepakbola dan Kita
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment