Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Monday, September 1, 2008

Paijo : Sunnatullah (3)

"Di dunia ini nggak ada yang tetap, kecuali perubahan itu sendiri," kata Paijo.

"Omongan kok mbulet ! Perubahan ya berubah, lha kok dibilang tetap !" bantah Blothonk.

"Ooo.. cah menyun ! Itu kan kayak nggak milih nomer 1 atau 2 atau 3, berarti juga satu pilihan tersendiri. Gitu aja dibilang mbulet !"

"Omongan sama wong gendeng emang susah. Nggak milih berarti satu pilihan ?"

"Iyalah. Milih untuk nggak milih, itu juga pilihan !"

"Iya deh .. emang Paijo itu nggak pernah mau kalah," komentar Blothonk. "Eiitt, tapi nanti dulu. Tadi kamu bilang nggak ada yang tetap. Emangnya kamu sekarang nggak laki-laki lagi, karena nggak tetap ?"

"Thonk .. Thonk .. " Paijo tersenyum. "Perubahan itu nggak cuman yang bisa dilihat doang, nggak cuman pada fisik doang."

"Ah, bisa-bisa kamu aja .. "

"Ini beneran ! secara fisik, dari sejak lahir sampai sekarang, ya jenis kelaminku tetap laki-laki, kayak dapurmu juga !" kata Paijo. "Tapi dari sisi batin, pemahamanku tentang kelaki-lakianku misalnya, atau tingkah lakuku sebagai makhluk berjenis kelamin laki-laki toh selalu berubah. Belum lagi kalo ngomong perubahan yang sifatnya biologis, yang nggak jelas kelihatan .."

"Perubahan emang udah jadi sunnatullah," Budi mulai nimbrung. "Tapi perubahan kan nggak selalu berarti perbaikan ?"

"Lha .. aku kan juga nggak bilang begitu !" kata Paijo. "Perubahan ada yang maju ada yang surut. Ada naik ada turun. Kalo objek yang diomongin jelas kayak benda, tekhnologi dan yang sejenisnya, gampang, karena parameternya juga jelas. Tapi kalo udah nyangkut manusia dengan segala macem rentetannya, udah nggak ada lagi parameter yang bisa dipake dengan pasti. Semuanya serba subyektif."

"Ya sih .. kalo udah nyangkut manusia, kita emang nggak bisa lagi pake pendekatan hitam-putih," komentar Budi. "Justru karena itulah kita nggak bisa langsung bilang orang yang berubah berarti juga maju, dan sebaliknya yang nggak mau berubah berarti kolot."

"Logika kayak gitu juga mesti dipake buat nggak nge-cap orang yang mau berubah sebagai nggak baik, durhaka, atau nggak tahu adat. Sebaliknya yang nggak mau berubah juga nggak lantas berarti baik," kata Paijo. "Aku pikir .. kalo udah ngomong soal manusia dengan segala problematikanya, kita mesti berangkat dari kesadaran soal subyektivitas pandangan kita. Namanya aja subyektif, berarti orang lain sangat mungkin punya pandangannya sendiri, juga dengan subyektivitasnya. Dan yang namanya subyektivitas nggak bisa dijadiin standar."

"Lha kalo begitu kan bubrah, Jo !" Blothonk memotong. "Kalo subyektivitas nggak bisa dijadiin standar, padahal semua orang itu punyanya hanya subyektivitas, berarti nggak ada donk yang bisa dijadiin standar ? Rak yo bubrah tho ?"

"Raimu !" semprot Paijo sambil nyengenges. "Yang aku omongin itu baru basic-nya, kesadaran yang mesti ada dalam diri kita. Selanjutnya tiap orang mesti merundingkan lagi subyektivitasnya masing-masing. Dicari jalan terbaiknya agar di antara berbagai macam subyektivitas, yang bisa jadi saling bertentangan atau malah menguatkan, ada sesuatu yang bisa dijadiin standar. Tapi kalo kesadaran itu nggak ada, yang bakal terjadi adalah pemaksaan satu jenis subyektivitas."

"Kalo udah gitu berarti bukan subyektivitas lagi Jo ?" tanya Blothonk.

"Tetap subyektivitas, tapi subyektivitas yang disepakati. Dan kesepakatan ini sangat punya peluang, bahkan harus diubah di kemudian hari jika ada kesepakatan baru lagi, dengan subyektivitas baru lagi, yang mungkin lebih baik lagi. Begitu dan begitu terus."

"Tapi orang kan berhak melontarkan idenya sampai dengan memperjuangkan ide subyektif-nya itu supaya dijadiin standar ?" tanya Budi.

"Jelas. Tapi juga mesti tahu konsekuensinya," jawab Paijo.

"Konsekuensi apaan Jo ?" gantian Blothonk tanya.

"Konsekuensinya, ide yang dilontarkan itu dikritik, digempur sana-sini. Kalau ide yang subyektif nggak mau dikritik, keberatan digempur orang lain yang juga punya subyektivitasnya sendiri, itu namanya fasis," jawab Paijo.

"Lha kan malah bisa berantem, Jo !" kata Blothonk.

"Lho kan berantem nggak selamanya jelek Thonk !" kata Paijo. "Tinggal dipilah-pilah aja, mana yang bisa dibikin 'berantem', dan mana yang nggak. Juga gimana caranya berantem ? di situ masalahnya. Kalo kita bisa mewadahi 'berantem' dengan bener, maka berantem justru hasilnya bakal bagus."

"Lha, kalo sebaliknya ?"

"Harus dibiasakan. Mesti dilatih terus mewadahi berantem secara sehat. Kita tidak mungkin selamanya menghindar dari kemungkinan berantem, karena ketika satu ide dilontarkan ke publik, maka sudah ada ide lain, yang barangkali bertentangan, yang menunggu. Kita nggak mungkin terus-terusan berlindung dibalik ungkapan yang indah-indah, sekedar menyembunyikan ide kita dari kemungkinan dikritik orang. Arus listrik negatif dengan positif, kalo ketemunya lewat wadah yang bener, kayak bolahm, malah jadi nerangin. Tapi kalo asal ketemu aja, ya ludes satu rumah."

"Sunnatullah lagi ya Jo ?" komentar Budi sambil tersenyum. "Berarti kalo nggak dilempar ke publik, nggak perlu berantem kan ?"

"Ya ! jadi kalo nggak mau dikritik, masuk kamar , ngomong di depan cermin sampai gempor .. pasti nggak ada yg ngritik, asal nggak ngganggu orang tidur aja," Paijo mulai kumat cengar-cengirnya.

"Jo, tapi kalo berantem terus .. gimana, apa nggak abis energi buat berantem doang ?" tanya Blothonk.

"Itu kan kalo kita nggak bisa milah-milah. Kapan saat berantem, kapan nggak. Mana yang bisa diberantem-in mana yang nggak. Berantem secara sehat kan berarti nyari jalan yang bakalan dipake landasan kerja selanjutnya. Selama itu kan udah ada landasan yang udah disepakati. Jadi, dua-duanya tetep jalan. Kan bisa juga bagi tugas ?"

14 Januari 2003

No comments: