Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Friday, January 16, 2009

Muslim Alternatif

Sudahkah kita menjadi muslim yang baik? Sebuah pertanyaan yang pada dasarnya sederhana bagi tiap muslim. Dengan begitu jawabannya pun mestinya juga sederhana. Namun, persoalan yang pada dasarnya sederhana itu bisa berubah dan berkembang menjadi kompleks dan tidak sederhana lagi, ketika konteks yang melatar belakanginya juga berubah dan berkembang.


Ketika pertanyaan tersebut diletakkan pada konteks bahwa hubungan manusia dengan Tuhan itu, dalam hal ini bagi tiap muslim, merupakan masalah yang sangat pribadi, maka jawabannya sangatlah sederhana. Menjadi seorang muslim yang baik dengan begitu tidak bisa terukur dan ditetapkan dengan kriteria-kriteria tertentu. Penilaiannya pun tidak dapat ditentukan oleh orang atau lembaga tertentu. Dengan kata lain, jawaban dari pertanyaan tersebut -lebih kurang- ialah, “Hanya Tuhan yang tahu” atau “Itu urusan Tuhan”.


Namun ketika pertanyaan tersebut diletakkan pada konteks sosial tertentu, dalam kurun waktu dan tempat tertentu atau pada komunitas tertentu, maka menemukan jawabannya bisa menjadi persoalan yang rumit dan kompleks. Jawabannya menjadi berbeda-beda tergantung pada konteks sosialnya masing-masing.


Sesuatu yang awalnya tidak terukur itu kemudian menjadi terukur dan terumuskan dalam kriteria-kriteria tertentu melalui sebuah proses konstruksi sosial pada waktu, tempat dan komunitas masing-masing. Suatu nilai yang awalnya menjadi “urusan Tuhan” berubah menjadi urusan sesama manusia yang kemudian berkembang lagi menjadi urusan sekelompok orang atau lembaga tertentu yang dianggap atau menganggap dirinya sebagai wakil.


Pada dasarnya terumuskannya ukuran serta kriteria-kriteria untuk segala sesuatu, bukan hanya pada masalah agama dan keberagamaan, adalah sebuah konstruksi sosial sebagai hasil dari suatu proses yang wajar dan alamiah. Hanya masalah waktu cepat atau lambatnya proses itu terjadi. Dan ketika suatu proses terbentuknya sebuah konstruksi sosial mengalami percepatan, hal itu tentunya tidak terlepas dari berbagai macam faktor, baik internal maupun eksternal.


Kemudian, jika penyebab terjadinya percepatan itu dibatasi hanya pada faktor internal, tidak akan sulit menemukan bahwa di sana ada kerja keras dari orang atau sekelompok orang yang tertata dan berkesinambungan.


Dalam kehidupan beragama di Indonesia, dalam hal ini agama Islam, melihat fenomena yang terjadi dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari telah terjadinya proses konstruksi sosial tersebut. Bahwa hal tersebut kemudian disikapi secara berbeda, bahkan berseberangan, tetap ada satu hal yang tidak dapat dipungkiri, fenomena yang terjadi dewasa ini merupakan buah dari gerakan yang tersistemasi sedemikian rupa serta kerja keras orang-orang yang terlibat di dalamnya.


Sebagian fenomena tersebut antara lain wacana-wacana keagamaan yang semakin hari cenderung semakin mengerucut, kalau tidak dapat disebut tunggal, yang sebagian tandanya bisa dilihat dari makin seragamnya corak masjid-masjid serta tema-tema ceramah atau khotbahnya. Produk-produk fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sejalan dengan wacana-wacana yang cenderung semakin mengerucut itu. Lolosnya produk hukum dan perundangan baik di tingkat nasional maupun daerah (Perda-Perda) yang berbasis pada wacana-wacana tersebut. Dan sebagainya.


Fenomena-fenomena seperti itu pada akhirnya akan menggiring masyarakat (umat Islam) untuk cenderung semakin seragam. Minimnya wacana alternatif, setidaknya yang mampu hadir di ceramah atau khotbah-khotbah masjid, akan semakin menyempitkan pilihan corak dan sikap keberagamaan tiap umat Islam. Dengan sendirinya hal tersebut akan melahirkan ukuran atau kriteria-kriteria yang juga semakin menyempit tentang keberagamaan setiap orang. Bahwa kemudian seorang muslim bisa dinilai sebagai muslim yang baik jika memenuhi kriteria yang demikian dan demikian. Yang tidak memenuhi kriteria itu konsekuensinya harus rela digolongkan sebagai muslim yang tidak/kurang baik.


Sebenarnya, jika keberagamaan tiap orang itu dikembalikan pada prinsip sebagai hubungan tiap individu dengan Tuhan, adanya ukuran atau kriteria yang ditetapkan sebagian orang atau lembaga tertentu tidak akan menjadi masalah besar. Namun hal tersebut berubah menjadi masalah, ketika ukuran atau kriteria-kriteria itu berusaha dimasukkan dan ditetapkan melalui produk hukum dan perundangan. Atau ketika derasnya tuntutan agar fatwa-fatwa lembaga tertentu ditindak lanjuti negara secara legal formal, seperti yang terjadi dalam kasus fatwa MUI terhadap Jamaah Ahmadiyah. Juga ketika kemudian negara tidak menentukan sikap secara tegas dan cenderung mengambil sikap aman jika dihadapkan dengan tuntutan seperti itu.


Jika fenomena seperti itu dibiarkan begitu saja, bukan hanya kecenderungan “wajah” kaum muslimin yang akan semakin seragam, namun juga dapat mengakibatkan semakin terkontrolnya keberagamaan setiap muslim oleh sekelompok orang atau lembaga, bahkan oleh negara. Lebih jauh lagi hal tersebut sangat potensial mengancam prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan setiap warga negara.


Setiap muslim yang tahu dan menyadari kondisi seperti itu, memiliki tanggung jawab untuk tidak membiarkan fenomena tersebut berlanjut. Wacana-wacana alternatif yang kokoh secara teologis, bukan hanya berposisi defensif, mendesak untuk terus-menerus dikembangkan. Yang kemudian tidak kalah mendesaknya adalah menghadirkan wacana-wacana alternatif itu pada kaum muslimin di akar rumput, dan tidak hanya terbatas pada kalangan tertentu sehingga cenderung terkesan elitis.


Wacana-wacana alternatif itu yang diharapkan dapat melepaskan umat Islam dari kesumpekan teologis akibat semakin menyempitnya pilihan. Setiap umat Islam juga berhak menjadi (meminjam judul buku Jalaluddin Rakhmat: Islam Alternatif) muslim alternatif, muslim yang berwajah berbeda dengan wajah muslim yang dominan menghiasai berbagai media massa, tanpa harus merasa rendah diri secara teologis. Setiap umat Islam bisa menjadi muslim yang baik dengan bersandarkan pada keyakinannya masing-masing tanpa harus mengikuti ukuran dan kriteria yang ditetapkan sekelompok orang atau lembaga tertentu, apalagi oleh negara.

No comments: