Sepanjang tahun 2008, kasus pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Very Idham Henyansyah alias Ryan merupakan kasus kriminal yang sangat banyak menyita perhatian, kalau tidak dapat dikatakan paling banyak. Hal ini bisa dilihat dari frekuensi pemberitaan baik oleh stasiun televisi, portal berita di internet sampai dengan media cetak.
Kasus Ryan memang cukup menyedot perhatian publik mengingat serangkaian pembunuhan yang ia lakukan membuatnya disebut sebagai pembunuh berantai. Dimulai dari terungkapnya kasus mutilasi, serangkaian pembunuhan terhadap orang-orang yang dilakukan di rumahnya, sampai terungkapnya kasus -apa yang disebut dengan- "Salah Tangkap".
Terlepas dari opini kita masing-masing terhadap Ryan terkait dengan perbuatan yang telah dilakukannya, tak dapat dipungkiri Ryan juga berjasa cukup besar akan terungkapnya "Salah Tangkap" terhadap pembunuhan Asrori, yang kemudian diikuti dengan mengemukanya kasus-kasus serupa yang lain, dengan korban dan tempat yang berlainan pula.
"Salah Tangkap" kemudian menjadi istilah yang banyak dipakai oleh media. Berikut ini adalah link-link media yang menggunakan istilah "Salah Tangkap" (tanpa tanda kutip) berkaitan dengan kasus pembunuhan terhadap Asrori: Salah Tangkap dan Salah Menghukum, Salah Tangkap Bukan Kesalahan Institusi, Salah Tangkap Kerap Terjadi, Salah Tangkap Bukti Kinerja Polisi Tidak Profesional,Kasus Salah Tangkap Sangat Memalukan, Dugaan Salah Tangkap, Kapolres Jombang Kembali Diperiksa.
Sisi lain yang menarik diamati dari pemberitaan seputar kasus "Salah Tangkap" pembunuhan, dengan ditemukannya mayat yang mulanya diidentifikasi sebagai Asrori tersebut adalah penggunaan istilah "Salah Tangkap" itu sendiri. Tepatkah penggunaan istilah "Salah Tangkap" dalam kasus tersebut? Jika tepat berarti masalah selesai dan tidak perlu ada lagi yang dipersoalkan dengan penggunaan istilah "Salah Tangkap" itu. Namun jika dianggap kurang atau tidak tepat, di mana letak ketidak tepatannya, dan mengapa?
Sebelum menyimpulkan tepat tidaknya istilah "Salah Tangkap" itu digunakan, di sini akan disampaikan contoh kasus berupa cerita rekaan tentang pencurian yang melibatkan satpam, pencuri, dan korban "salah tangkap".
Contoh kasus pertama; dua orang Satpam di sebuah pusat perbelanjaan menangkap basah seseorang yang melakukan pencurian. Ciri utama yang diingat oleh kedua Satpam tersebut ialah pencuri memakai kaos berwarna merah dan celana jeans. Pencuri tersebut lari ke suatu arah dengan kedua Satpam mengejarnya. Beberapa saat kemudian sang Satpam menemukan orang yang memakai pakaian dengan ciri-ciri mirip si pencuri tadi. Orang tersebut kemudian ditangkap dan diproses sesuai standar penanganan yang berlaku. Kemudian diketahui bahwa orang yang ditangkap itu bukan si pencuri, setelah pencuri yang sebenarnya -singkat cerita- tertangkap dengan bukti-bukti yang lebih meyakinkan.
Contoh kasus kedua, terjadi pencurian di sebuat pusat perbelanjaan namun ciri-ciri pencuri tidak jelas. Kemudian satpam menangkap seseorang yang dituduh sebagai pencuri tersebut. Selanjutnya sang satpam memaksa orang itu dengan untuk mengaku sebagai pencuri sambil merekayasa bukti-bukti sehingga seolah-olah orang tersebut benar-benar pencurinya. Akhirnya terungkap bahwa orang yang ditangkap itu bukanlah si pencuri, dan pengakuan serta bukti-buktinya hanyalah hasil pemaksaan dan rekayasa.
Dengan dua contoh kasus di atas, di contoh kasus yang manakah penggunaan istilah "Salah Tangkap" dapat dibenarkan? Jawabnya tentu tidak sulit, karena ini bukan masalah bahasa dan istilah yang rumit. Tanpa memerlukan kecerdasan tingkat tinggi, mudah disimpulkan bahwa untuk contoh kasus pertama, penggunaan istilah "Salah Tangkap" dapat dibenarkan dan sangat bisa diterima. Sedang pada contoh kasus kedua, penggunaan "Salah Tangkap" sulit untuk bisa diterima, kalau tidak dapat dinyatakan salah. Mengapa?
Kata "Salah" dalam istilah "Salah Tangkap" dapat disetarakan dengan penggunaan "salah" dalam istilah-istilah antara lain sebagai berikut "Salah Pukul", "Salah Umpan", "Salah Tebak" dan sebagainya. Kata "salah" dalam istilah-istilah tersebut mengandung unsur dominan makna ketidak sengajaan, ketidak tahuan, tidak adanya niat dari pelaku kesalahan dan sebagainya.
Dalam contoh kasus pertama, ketidak sengajaan sebagai unsur dominan terpenuhi. Sedang pada contoh kasus kedua, unsur ketidak sengajaan tidak terpenuhi karena yang terjadi sebaliknya yaitu pemaksaan dan rekayasa yang berarti kesengajaan menjadi unsur yang dominan.
Selanjutnya kalau kedua contoh kasus di atas dijadikan sebagai perbandingan proses hukum terhadap kasus pembunuhan -yang semula diduga sebagai- Asrori, contoh kasus yang manakah yang lebih dekat, yang pertama atau kedua?
Penggunaan bahasa serta istilah yang benar, sudah pasti merupakan standar yang harus dipenuhi dalam dunia media massa, apalagi jika media tersebut sudah berskala nasional dan memiliki reputasi bagus. Namun mengapa istilah "Salah Tangkap" lolos begitu saja dan semua media menerima serta memakainya seolah-olah tidak ada kritik dan koreksi sama sekali?
Penyebab penggunaan istilah yang tidak atau kurang tepat kemungkinannya bisa beragam. Salah satu kemungkinan itu bisa karena ketidak tahuan atau kekurang mampuan dalam penguasaan bahasa.
Kemungkinan penyebab yang kedua karena untuk kemudahan. Yang penting istilah tersebut mudah diingat, mudah diucapkan atau ditulis serta maknanya bisa difahami secara bersama-sama. Tidak begitu penting apakah istilah tersebut tepat secara tata-bahasa atau menurut ukuran lainnya, sehingga terkesan "asal-asalan". Contoh yang populer dalam hal ini adalah penggunaan istilah pra bayar untuk pre-paid dan pasca bayar untuk post-paid dalam dunia telepon seluler.
Kemungkinan penyebab yang lain bisa dikarenakan istilah yang paling sesuai atau paling tepat belum ditemukan. Jadi istilah tersebut dapat dikatakan bersifat sementara. Dan karena sifatnya yang masih sementara dan disadari bahwa istilah tersebut bukan istilah yang benar-benar sesuai atau tepat, penulisannya biasanya disertai dengan tanda kutip, yang menunjukkan bahwa istilah tersebut maknanya konotatif, bukan denotatif.
Adanya kemungkinan penyebab yang lain tentunya cukup terbuka. Namun dalam tulisan ini perlu disampaikan satu kemungkinan penyebab lagi yaitu efumisme atau penghalusan kata-kata. Eufimisme sudah merupakan hal yang lumrah dan kerap digunakan dengan tujuan menghindari tersinggungnya atau tersakitinya pihak-pihak tertentu jika kata dengan istilah sebenarnya atau yang lebih lugas digunakan.
Dari beberapa kemungkinan penyebab di atas, kemungkinan yang manakah kira-kira menjadi penyebab media dengan "nyaman" dan terus-menerus menggunakan istilah "Salah Tangkap"?
Ketidak tahuan sudah pasti mustahil menjadi penyebabnya. Karena untuk kemudahan lebih besar kemungkinannya menjadi penyebab, meskipun seandainya benar ini yang jadi penyebab, kita pastas merasa prihatin karena media mestinya menjadi pelopor penggunaan istilah yang tepat atau sesuai daripada menggunakan istilah "asal-asalan" demi untuk kemudahan.
Kemungkinan ketiga, yaitu istilah yang sifatnya sementara atau hanya bermakna konotatif? Kemungkinan ini tergolong kecil menjadi penyebabnya, karena tidak adanya tanda kutip dalam penulisan istilah "Salah Tangkap", dan tidak adanya koreksi atau istilah pengganti yang lebih tepat meskipun pengungkapan kasus tersebut telah mengalami perkembangan dan telah bergeser dari kondisi awal ketika istilah "Salah Tangkap" digunakan.
Bagaimana dengan eufimisme? Apakah eufimisme lebih pantas "dicurigai" sebagai penyebab penggunaan istilah "Salah Tangkap" serta "nyaman" dan terus menerusnya istilah tersebut digunakan oleh media, dan mengapa?
Jika benar eufimisme yang menjadi penyebab, tentu sangat disayangkan. Media massa yang dalam alam demokrasi dianggap/ditempatkan sebagai pilar ke empat demokrasi setelah lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, telah melalaikan fungsinya sebagai alat kontrol terhadap ketiga lembaga di saat lembaga-lembaga itu tidak atau belum berfungsi optimal baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama.
Jika media ikut terjebak dalam eufimisme, kita pantas merasa kehilangan sebagian harapan bahwa berbagai ketidak beresan lembaga-lembaga negara dalam menjalankan tugas sebagaimana mestinya dapat dikontrol dan dikoreksi oleh atau melalui media. Eufimisme sudah pasti mereduksi kebenaran dari suatu masalah atau keadaan. Eufimisme sangat berpotensi menggeser substansi masalah dari yang semestinya.
Di atas semua itu kita tentunya masih bisa berharap bahwa penggunaan istilah "Salah Tangkap" dalam kasus pembunuhan -yang semula diduga sebagai- Asrori itu, serta kasus-kasus serupa lainnya segera diganti dengan istilah yang lebih tepat, lebih sesuai dan lebih lugas, yang pada akhirnya lebih memiliki daya dorong bagi Polri dan instansi-instansi terkait untuk lebih transparan dalam penyelesaiannya, mampu dengan segera memperbaiki kinerjanya dan mencegah terulangnya kasus-kasus serupa di kemudian hari.
No comments:
Post a Comment