Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Monday, May 25, 2009

Rasa Percaya

"Bayangkan seandainya dalam hidup ini kita nggak punya rasa percaya," Dul Kemplu membuka obrolan malam itu berusaha mencairkan kejengkelan Mat Kemin dan Kang Sarjo.

Siapa yang tidak jengkel, jika tiap mau mengambil makanan di warung angkringan langganan mereka, Dul Kemplu nanya sampai ke hal yang detil ke Pak Mo, penjualnya. Bahannya dari apa, sudah berapa lama, dimasak dengan apa dan bagaimana, dan seterusnya. Lebih menjengkelkan lagi tiap mau menyantap, makanannya dicium dulu baunya, persis seperti kucing. Meskipun Pak Mo dengan sabar meladeni, dan paling banter hanya geleng-geleng kepala, tak urung hal itu membuat wajah Mat Kemin dan Kang Sarjo plethat-plethot tanda tidak senang dengan kelakuan Dul Kemplu.

"Bayangkan aja sendiri," sahut Mat Kemin ketus.

"Kelakuan bikin malu aja," sambung Kang Sarjo.

"Tanpa rasa percaya, betapa rumit dan repotnya hidup ini. Bukan hanya orang lain, tapi diri kita sendiri juga jadi repot," Dul Kemplu meneruskan seolah tidak mempedulikan sahutan ketus kedua temannya.

"Kelakuanmu bukan cuma bikin repot. Kalau bukan Pak Mo yang jual, masih untung kalau cuma dipisuhi, bisa-bisa kamu digebuki," kata Kang Sarjo dengan nada jengkel.

"Lha tadi baru urusan makanan di angkringan. Coba kalau mau naik angkutan umum misalnya. Kita mesti nanyai sopirnya dulu, Pak beneran bisa nyopir nggak," Dul Kemplu nyerocos sambil mulutnya diplethat-plethotkan. "Bannya sudah pasti nggak bakal mbledhos di jalan kan, remnya pakem apa nggak. Bapak cukup tidur nggak, jangan-jangan ngantuk .... "

Wusssss ... tiba-tiba sebuah tendangan melayang ke arah pantat Dul Kemplu.

"Jangan ndagel!" hardik Kang Sarjo sambil menahan ketawa. "Kamu kira dengan ndagel lantas kelakuan kamu bisa dimaafkan gitu?"

"Siapa yang ndagel? Wong aku mraktekin doang," Dul Kemplu membela diri. "Lagian siapa yang berharap maaf. Emangnya aku salah apa?"

"Sudah bikin malu di depan Pak Mo itu emang bukan kesalahan?!" gantian Mat Kemin menghardik sambil melotot.

"Lha wong tadi juga cuman praktek kok," kata Dul Kemplu sambil nyengenges.

"Asuuuu .. " kata Kang Sarjo sambil mendorong badan Dul Kemplu. "Kalau cuma mau praktek mbok ya kompromi dulu, tiwas adem panas pengin nyemplungin kamu ke got."

"Sontoloyoooo ... " Mat Kemin tidak mau ketinggalan mengeluarkan kromo inggilnya.

Ketiga orang itu tertawa bareng akhirnya.

"Dalam masyarakat tradisional, atau hubungan masyarakat dalam ruang lingkup kecil, kepercayaan satu sama lain itu sifatnya secara langsung dan lebih sederhana," kata Dul Kemplu setelah mereda tertawanya.

"Kayak kepercayaan kita pada Pak Mo?" tanya Kang Sarjo.

"Iya," jawab Dul Kemplu. "Meski kita nggak pernah tahu persis gimana Pak Mo menyiapkan, meracik sampai memasak makanan yang beliau jajakan, kita tetap percaya bahwa Pak Mo nggak bakalan secara sengaja mencampurkan bahan-bahan berbahaya atau menjajakan makanan yang sudah basi. Makanya kita nggak pernah ragu tiap makan di angkringan Pak Mo."

"Ah, itu sih bukan karena percaya. Tapi karena kepepet, wong kemampuan kita cuman segitu. Selain itu, boleh ngutang lagi hahahaha," sahut Mat Kemin sambil tertawa.

"Meski kadang suka ngemplang, ternyata masih boleh ngutang lagi," imbuh Kang Sarjo disambung dengan cekakaan mereka bertiga.

"Ya begitulah timbal balik rasa saling percaya yang sangat sederhana," kata Dul Kemplu. "Tapi pada masyarakat modern, atau pada skup yang lebih luas kepercayaan seperti itu sudah tidak berlaku lagi."

"Ya jelas dong, kan kita tidak lagi bisa saling mengenal dan tahu keseharian maupun integritas pribadi masing-masing," Kang Sarjo menanggapi.

"Makanya, hubungan antar anggota masyarakat menjadi terbalik. Menjadi rasa saling tidak percaya," kata Dul Kemplu.

"Ya nggak juga .. " bantah Mat Kemin.

"Tunggu dulu ... " Dul Kemplu mencegah Mat Kemin melanjutkan bantahannya. "Karena rasa saling percaya itu jadi sulit, akhirnya kepercayaan diwakilkan pada lembaga-lembaga tertentu. Dan tiap orang jika ingin dipercaya harus memiliki sertifikasi, rekomendasi, stempel atau apalah yang sejenis itu dari lembaga terkait. Harus tertib administrasi, dan lain sebagainya.

"Misalnya, kalau orang pengin dipercaya bisa nyopir harus punya SIM, kalau pengin dipercaya punya suatu keahlian harus punya ijazah, gitu?" tanya Mat Kemin.

"Betul, ya seperti itulah sebagian contohnya," jawab Dul Kemplu.

"Ya itu udah konsekuensi kita hidup di tengah-tengah masyarakat modern. Apa mau kembali ke jaman Majapahit, nggak tho?" sahut Kang Sarjo. "Lantas, apa masalahnya?"

"Masalahnya ... ketika lembaga-lembaga yang jadi sumber kepercayaan itu ternyata nggak bisa dipercaya. Ketika kita sama-sama tahu betapa mudahnya berbagai macam sertifikasi diperoleh asal ada duit," jawab Dul Kemplu.

"Terus, apa kita mesti nglakuin kayak yang kamu praktekin tadi biar bisa percaya?" tanya Kang Sarjo.

"Berapa persen sih dari masyarakat kita yang leluasa menentukan pilihan-pilihan?" Dul Kemplu menerawang, mengabaikan pertanyaan Kang Sarjo. "Nggak banyak. Yang terbanyak adalah orang-orang yang terpaksa menerima keadaan karena keterbatasan pilihan atau ketidakmampuan secara finansial untuk menentukan pilihan-pilihan."

"Lha terus, piye jal?" tanya Mat Kemin.

"Dalam masalah transportasi saja misalnya. Akhirnya timbul sikap masa bodoh, disertai pasrah bongkokan, sambil berharap nasib baik selamat sampai tujuan," kata Dul Kemplu.

"Itu baru masalah transportasi," sambung Dul Kemplu setelah kedua temannya hanya diam. "Belum lagi masalah hukum, pendidikan, pemilu .. "

"Kok sampai pemilu .. ?" potong Kang Sarjo.

"Ah, sudahlah .. mikirin mbayar utang ke Pak Mo aja masih pusing .. kenapa mikirin yang lain-lain .. " Dul Kemplu menyudahi.

Selengkapnya ...

Thursday, April 9, 2009

PKS dan Golput

Fenomena PKS sebenarnya sih mirip-mirip dengan fenomena Golput, berangkat dari kekecewaan terhadap politisi partai-partai nasionalis-sekuler, terutama yang besar-besar.

PKS yang berhasil mencitrakan dirinya sebagai partai “bersih” (mencitrakan lho ya, beneran atau ga, ga tahu .. tanyakan pada rumput yang bergoyang :) ), serasa menemukan momentumnya terutama di 2004 lalu. Sayang, mereka cepat besar kepala dan tidak sabaran. Coba kalau mereka lebih bersabar dan tidak (menunda) menampakkan watak asli mereka (baca: agenda syariatisasi) selama periode 2004 sampai sekarang, kemungkinan besar PKS mendapat kenaikan suara yang signifikan pada pemilu ini, karena jumlah orang yang kecewa sampai dengan apatis terhadap pemilu jumlahnya tidak berkurang.

PKS sebenarnya cukup peka menangkap sinyalemen seperti itu, terbukti mereka sangat getol menyerukan agar tidak golput, sampai-sampai HNW merasa perlu minta MUI mengeluarkan fatwa tentang Golput.

Sayang sekali, meski fatwa sudah dikeluarkan, ternyata tidak cukup didengar, apalagi diikuti. Padahal, PKS sudah telanjur GR, bahwa mereka bakal dapat limpahan suara orang-orang yang kecewa terhadap partai-partai nasionalis-sekuler.

Kemudian .. terlepas dari positif-negatif nya, fenomena PKS dan Golput mestinya bisa jadi kritik pedas terhadap partai-partai nasionalis-sekuler. Khusus PKS, sejelek-jeleknya (kalo dianggap jelek lho ya), masih tetap lebih baik ketimbang HTI yang sibuk jualan mimpi khilafah dan menolak sistem, atau kelompok yang memilih jalan teror dan kekerasan.

Kalau dalam 5 tahun ke depan ada perbaikan perilaku dan kinerja partai-partai nasionalis sekuler, saya yakin suara PKS (juga golput) bakal menyusut dengan sendirinya.

Pemilu kali ini, sudah sangat jelas mengindikasikan bahwa mayoritas rakyat Indonesia masih cukup waras untuk tidak menjadikan agama (baca: tafsir agama tertentu) sebagai landasan ideologi membangun bangsa dan negara ke depan. Bola sekarang berada di partai-partai nasionalis-sekuler, tinggal bagaimana mereka memainkannya.

Selengkapnya ...

Friday, January 16, 2009

Muslim Alternatif

Sudahkah kita menjadi muslim yang baik? Sebuah pertanyaan yang pada dasarnya sederhana bagi tiap muslim. Dengan begitu jawabannya pun mestinya juga sederhana. Namun, persoalan yang pada dasarnya sederhana itu bisa berubah dan berkembang menjadi kompleks dan tidak sederhana lagi, ketika konteks yang melatar belakanginya juga berubah dan berkembang.


Ketika pertanyaan tersebut diletakkan pada konteks bahwa hubungan manusia dengan Tuhan itu, dalam hal ini bagi tiap muslim, merupakan masalah yang sangat pribadi, maka jawabannya sangatlah sederhana. Menjadi seorang muslim yang baik dengan begitu tidak bisa terukur dan ditetapkan dengan kriteria-kriteria tertentu. Penilaiannya pun tidak dapat ditentukan oleh orang atau lembaga tertentu. Dengan kata lain, jawaban dari pertanyaan tersebut -lebih kurang- ialah, “Hanya Tuhan yang tahu” atau “Itu urusan Tuhan”.


Namun ketika pertanyaan tersebut diletakkan pada konteks sosial tertentu, dalam kurun waktu dan tempat tertentu atau pada komunitas tertentu, maka menemukan jawabannya bisa menjadi persoalan yang rumit dan kompleks. Jawabannya menjadi berbeda-beda tergantung pada konteks sosialnya masing-masing.


Sesuatu yang awalnya tidak terukur itu kemudian menjadi terukur dan terumuskan dalam kriteria-kriteria tertentu melalui sebuah proses konstruksi sosial pada waktu, tempat dan komunitas masing-masing. Suatu nilai yang awalnya menjadi “urusan Tuhan” berubah menjadi urusan sesama manusia yang kemudian berkembang lagi menjadi urusan sekelompok orang atau lembaga tertentu yang dianggap atau menganggap dirinya sebagai wakil.


Pada dasarnya terumuskannya ukuran serta kriteria-kriteria untuk segala sesuatu, bukan hanya pada masalah agama dan keberagamaan, adalah sebuah konstruksi sosial sebagai hasil dari suatu proses yang wajar dan alamiah. Hanya masalah waktu cepat atau lambatnya proses itu terjadi. Dan ketika suatu proses terbentuknya sebuah konstruksi sosial mengalami percepatan, hal itu tentunya tidak terlepas dari berbagai macam faktor, baik internal maupun eksternal.


Kemudian, jika penyebab terjadinya percepatan itu dibatasi hanya pada faktor internal, tidak akan sulit menemukan bahwa di sana ada kerja keras dari orang atau sekelompok orang yang tertata dan berkesinambungan.


Dalam kehidupan beragama di Indonesia, dalam hal ini agama Islam, melihat fenomena yang terjadi dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari telah terjadinya proses konstruksi sosial tersebut. Bahwa hal tersebut kemudian disikapi secara berbeda, bahkan berseberangan, tetap ada satu hal yang tidak dapat dipungkiri, fenomena yang terjadi dewasa ini merupakan buah dari gerakan yang tersistemasi sedemikian rupa serta kerja keras orang-orang yang terlibat di dalamnya.


Sebagian fenomena tersebut antara lain wacana-wacana keagamaan yang semakin hari cenderung semakin mengerucut, kalau tidak dapat disebut tunggal, yang sebagian tandanya bisa dilihat dari makin seragamnya corak masjid-masjid serta tema-tema ceramah atau khotbahnya. Produk-produk fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sejalan dengan wacana-wacana yang cenderung semakin mengerucut itu. Lolosnya produk hukum dan perundangan baik di tingkat nasional maupun daerah (Perda-Perda) yang berbasis pada wacana-wacana tersebut. Dan sebagainya.


Fenomena-fenomena seperti itu pada akhirnya akan menggiring masyarakat (umat Islam) untuk cenderung semakin seragam. Minimnya wacana alternatif, setidaknya yang mampu hadir di ceramah atau khotbah-khotbah masjid, akan semakin menyempitkan pilihan corak dan sikap keberagamaan tiap umat Islam. Dengan sendirinya hal tersebut akan melahirkan ukuran atau kriteria-kriteria yang juga semakin menyempit tentang keberagamaan setiap orang. Bahwa kemudian seorang muslim bisa dinilai sebagai muslim yang baik jika memenuhi kriteria yang demikian dan demikian. Yang tidak memenuhi kriteria itu konsekuensinya harus rela digolongkan sebagai muslim yang tidak/kurang baik.


Sebenarnya, jika keberagamaan tiap orang itu dikembalikan pada prinsip sebagai hubungan tiap individu dengan Tuhan, adanya ukuran atau kriteria yang ditetapkan sebagian orang atau lembaga tertentu tidak akan menjadi masalah besar. Namun hal tersebut berubah menjadi masalah, ketika ukuran atau kriteria-kriteria itu berusaha dimasukkan dan ditetapkan melalui produk hukum dan perundangan. Atau ketika derasnya tuntutan agar fatwa-fatwa lembaga tertentu ditindak lanjuti negara secara legal formal, seperti yang terjadi dalam kasus fatwa MUI terhadap Jamaah Ahmadiyah. Juga ketika kemudian negara tidak menentukan sikap secara tegas dan cenderung mengambil sikap aman jika dihadapkan dengan tuntutan seperti itu.


Jika fenomena seperti itu dibiarkan begitu saja, bukan hanya kecenderungan “wajah” kaum muslimin yang akan semakin seragam, namun juga dapat mengakibatkan semakin terkontrolnya keberagamaan setiap muslim oleh sekelompok orang atau lembaga, bahkan oleh negara. Lebih jauh lagi hal tersebut sangat potensial mengancam prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan setiap warga negara.


Setiap muslim yang tahu dan menyadari kondisi seperti itu, memiliki tanggung jawab untuk tidak membiarkan fenomena tersebut berlanjut. Wacana-wacana alternatif yang kokoh secara teologis, bukan hanya berposisi defensif, mendesak untuk terus-menerus dikembangkan. Yang kemudian tidak kalah mendesaknya adalah menghadirkan wacana-wacana alternatif itu pada kaum muslimin di akar rumput, dan tidak hanya terbatas pada kalangan tertentu sehingga cenderung terkesan elitis.


Wacana-wacana alternatif itu yang diharapkan dapat melepaskan umat Islam dari kesumpekan teologis akibat semakin menyempitnya pilihan. Setiap umat Islam juga berhak menjadi (meminjam judul buku Jalaluddin Rakhmat: Islam Alternatif) muslim alternatif, muslim yang berwajah berbeda dengan wajah muslim yang dominan menghiasai berbagai media massa, tanpa harus merasa rendah diri secara teologis. Setiap umat Islam bisa menjadi muslim yang baik dengan bersandarkan pada keyakinannya masing-masing tanpa harus mengikuti ukuran dan kriteria yang ditetapkan sekelompok orang atau lembaga tertentu, apalagi oleh negara.

Selengkapnya ...

Monday, January 12, 2009

"Salah Tangkap", Tanggung Jawab Penggunaan Istilah

Sepanjang tahun 2008, kasus pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Very Idham Henyansyah alias Ryan merupakan kasus kriminal yang sangat banyak menyita perhatian, kalau tidak dapat dikatakan paling banyak. Hal ini bisa dilihat dari frekuensi pemberitaan baik oleh stasiun televisi, portal berita di internet sampai dengan media cetak.


Kasus Ryan memang cukup menyedot perhatian publik mengingat serangkaian pembunuhan yang ia lakukan membuatnya disebut sebagai pembunuh berantai. Dimulai dari terungkapnya kasus mutilasi, serangkaian pembunuhan terhadap orang-orang yang dilakukan di rumahnya, sampai terungkapnya kasus -apa yang disebut dengan- "Salah Tangkap".


Terlepas dari opini kita masing-masing terhadap Ryan terkait dengan perbuatan yang telah dilakukannya, tak dapat dipungkiri Ryan juga berjasa cukup besar akan terungkapnya "Salah Tangkap" terhadap pembunuhan Asrori, yang kemudian diikuti dengan mengemukanya kasus-kasus serupa yang lain, dengan korban dan tempat yang berlainan pula.


"Salah Tangkap" kemudian menjadi istilah yang banyak dipakai oleh media. Berikut ini adalah link-link media yang menggunakan istilah "Salah Tangkap" (tanpa tanda kutip) berkaitan dengan kasus pembunuhan terhadap Asrori: Salah Tangkap dan Salah Menghukum, Salah Tangkap Bukan Kesalahan Institusi, Salah Tangkap Kerap Terjadi, Salah Tangkap Bukti Kinerja Polisi Tidak Profesional,Kasus Salah Tangkap Sangat Memalukan, Dugaan Salah Tangkap, Kapolres Jombang Kembali Diperiksa.


Sisi lain yang menarik diamati dari pemberitaan seputar kasus "Salah Tangkap" pembunuhan, dengan ditemukannya mayat yang mulanya diidentifikasi sebagai Asrori tersebut adalah penggunaan istilah "Salah Tangkap" itu sendiri. Tepatkah penggunaan istilah "Salah Tangkap" dalam kasus tersebut? Jika tepat berarti masalah selesai dan tidak perlu ada lagi yang dipersoalkan dengan penggunaan istilah "Salah Tangkap" itu. Namun jika dianggap kurang atau tidak tepat, di mana letak ketidak tepatannya, dan mengapa?


Sebelum menyimpulkan tepat tidaknya istilah "Salah Tangkap" itu digunakan, di sini akan disampaikan contoh kasus berupa cerita rekaan tentang pencurian yang melibatkan satpam, pencuri, dan korban "salah tangkap".


Contoh kasus pertama; dua orang Satpam di sebuah pusat perbelanjaan menangkap basah seseorang yang melakukan pencurian. Ciri utama yang diingat oleh kedua Satpam tersebut ialah pencuri memakai kaos berwarna merah dan celana jeans. Pencuri tersebut lari ke suatu arah dengan kedua Satpam mengejarnya. Beberapa saat kemudian sang Satpam menemukan orang yang memakai pakaian dengan ciri-ciri mirip si pencuri tadi. Orang tersebut kemudian ditangkap dan diproses sesuai standar penanganan yang berlaku. Kemudian diketahui bahwa orang yang ditangkap itu bukan si pencuri, setelah pencuri yang sebenarnya -singkat cerita- tertangkap dengan bukti-bukti yang lebih meyakinkan.


Contoh kasus kedua, terjadi pencurian di sebuat pusat perbelanjaan namun ciri-ciri pencuri tidak jelas. Kemudian satpam menangkap seseorang yang dituduh sebagai pencuri tersebut. Selanjutnya sang satpam memaksa orang itu dengan untuk mengaku sebagai pencuri sambil merekayasa bukti-bukti sehingga seolah-olah orang tersebut benar-benar pencurinya. Akhirnya terungkap bahwa orang yang ditangkap itu bukanlah si pencuri, dan pengakuan serta bukti-buktinya hanyalah hasil pemaksaan dan rekayasa.


Dengan dua contoh kasus di atas, di contoh kasus yang manakah penggunaan istilah "Salah Tangkap" dapat dibenarkan? Jawabnya tentu tidak sulit, karena ini bukan masalah bahasa dan istilah yang rumit. Tanpa memerlukan kecerdasan tingkat tinggi, mudah disimpulkan bahwa untuk contoh kasus pertama, penggunaan istilah "Salah Tangkap" dapat dibenarkan dan sangat bisa diterima. Sedang pada contoh kasus kedua, penggunaan "Salah Tangkap" sulit untuk bisa diterima, kalau tidak dapat dinyatakan salah. Mengapa?


Kata "Salah" dalam istilah "Salah Tangkap" dapat disetarakan dengan penggunaan "salah" dalam istilah-istilah antara lain sebagai berikut "Salah Pukul", "Salah Umpan", "Salah Tebak" dan sebagainya. Kata "salah" dalam istilah-istilah tersebut mengandung unsur dominan makna ketidak sengajaan, ketidak tahuan, tidak adanya niat dari pelaku kesalahan dan sebagainya.


Dalam contoh kasus pertama, ketidak sengajaan sebagai unsur dominan terpenuhi. Sedang pada contoh kasus kedua, unsur ketidak sengajaan tidak terpenuhi karena yang terjadi sebaliknya yaitu pemaksaan dan rekayasa yang berarti kesengajaan menjadi unsur yang dominan.

Selanjutnya kalau kedua contoh kasus di atas dijadikan sebagai perbandingan proses hukum terhadap kasus pembunuhan -yang semula diduga sebagai- Asrori, contoh kasus yang manakah yang lebih dekat, yang pertama atau kedua?


Penggunaan bahasa serta istilah yang benar, sudah pasti merupakan standar yang harus dipenuhi dalam dunia media massa, apalagi jika media tersebut sudah berskala nasional dan memiliki reputasi bagus. Namun mengapa istilah "Salah Tangkap" lolos begitu saja dan semua media menerima serta memakainya seolah-olah tidak ada kritik dan koreksi sama sekali?


Penyebab penggunaan istilah yang tidak atau kurang tepat kemungkinannya bisa beragam. Salah satu kemungkinan itu bisa karena ketidak tahuan atau kekurang mampuan dalam penguasaan bahasa.


Kemungkinan penyebab yang kedua karena untuk kemudahan. Yang penting istilah tersebut mudah diingat, mudah diucapkan atau ditulis serta maknanya bisa difahami secara bersama-sama. Tidak begitu penting apakah istilah tersebut tepat secara tata-bahasa atau menurut ukuran lainnya, sehingga terkesan "asal-asalan". Contoh yang populer dalam hal ini adalah penggunaan istilah pra bayar untuk pre-paid dan pasca bayar untuk post-paid dalam dunia telepon seluler.


Kemungkinan penyebab yang lain bisa dikarenakan istilah yang paling sesuai atau paling tepat belum ditemukan. Jadi istilah tersebut dapat dikatakan bersifat sementara. Dan karena sifatnya yang masih sementara dan disadari bahwa istilah tersebut bukan istilah yang benar-benar sesuai atau tepat, penulisannya biasanya disertai dengan tanda kutip, yang menunjukkan bahwa istilah tersebut maknanya konotatif, bukan denotatif.


Adanya kemungkinan penyebab yang lain tentunya cukup terbuka. Namun dalam tulisan ini perlu disampaikan satu kemungkinan penyebab lagi yaitu efumisme atau penghalusan kata-kata. Eufimisme sudah merupakan hal yang lumrah dan kerap digunakan dengan tujuan menghindari tersinggungnya atau tersakitinya pihak-pihak tertentu jika kata dengan istilah sebenarnya atau yang lebih lugas digunakan.


Dari beberapa kemungkinan penyebab di atas, kemungkinan yang manakah kira-kira menjadi penyebab media dengan "nyaman" dan terus-menerus menggunakan istilah "Salah Tangkap"?


Ketidak tahuan sudah pasti mustahil menjadi penyebabnya. Karena untuk kemudahan lebih besar kemungkinannya menjadi penyebab, meskipun seandainya benar ini yang jadi penyebab, kita pastas merasa prihatin karena media mestinya menjadi pelopor penggunaan istilah yang tepat atau sesuai daripada menggunakan istilah "asal-asalan" demi untuk kemudahan.


Kemungkinan ketiga, yaitu istilah yang sifatnya sementara atau hanya bermakna konotatif? Kemungkinan ini tergolong kecil menjadi penyebabnya, karena tidak adanya tanda kutip dalam penulisan istilah "Salah Tangkap", dan tidak adanya koreksi atau istilah pengganti yang lebih tepat meskipun pengungkapan kasus tersebut telah mengalami perkembangan dan telah bergeser dari kondisi awal ketika istilah "Salah Tangkap" digunakan.


Bagaimana dengan eufimisme? Apakah eufimisme lebih pantas "dicurigai" sebagai penyebab penggunaan istilah "Salah Tangkap" serta "nyaman" dan terus menerusnya istilah tersebut digunakan oleh media, dan mengapa?


Jika benar eufimisme yang menjadi penyebab, tentu sangat disayangkan. Media massa yang dalam alam demokrasi dianggap/ditempatkan sebagai pilar ke empat demokrasi setelah lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, telah melalaikan fungsinya sebagai alat kontrol terhadap ketiga lembaga di saat lembaga-lembaga itu tidak atau belum berfungsi optimal baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama.


Jika media ikut terjebak dalam eufimisme, kita pantas merasa kehilangan sebagian harapan bahwa berbagai ketidak beresan lembaga-lembaga negara dalam menjalankan tugas sebagaimana mestinya dapat dikontrol dan dikoreksi oleh atau melalui media. Eufimisme sudah pasti mereduksi kebenaran dari suatu masalah atau keadaan. Eufimisme sangat berpotensi menggeser substansi masalah dari yang semestinya.


Di atas semua itu kita tentunya masih bisa berharap bahwa penggunaan istilah "Salah Tangkap" dalam kasus pembunuhan -yang semula diduga sebagai- Asrori itu, serta kasus-kasus serupa lainnya segera diganti dengan istilah yang lebih tepat, lebih sesuai dan lebih lugas, yang pada akhirnya lebih memiliki daya dorong bagi Polri dan instansi-instansi terkait untuk lebih transparan dalam penyelesaiannya, mampu dengan segera memperbaiki kinerjanya dan mencegah terulangnya kasus-kasus serupa di kemudian hari.

Selengkapnya ...

Friday, January 9, 2009

Quote : Sorong, the forgotten pain

Yesterday I was speechless reading the paper. One of the earthquake victim in Sorong expressed a wonder of the very late response to help them. He said, ” People in Jakarta were busily making huge demonstrations to help Palestinians but here, to us in Sorong, they did give no damn at all.” (Kompas daily, page 4, Thursday edition, January 8, 2009). Selengkapnya di : Sorong, the forgotten pain

Selengkapnya ...

Monday, January 5, 2009

Alternatif Lain Cara Bikin Read More ..

Catatan : Script ini secara otomatis akan menampilkan paragraph pertama dari isi posting. Recomended buat posting artikel, namun kurang begitu bagus untuk menampilkan puisi.

1. Masuk ke Dashboard -> Layout -> Edit Html

2. Klik expand widget di atas 'textarea' html

3. Cari [sebaiknya dengan bantuan Ctrl+F] : " </head> "

4. Tempatkan script di bawah ini, tepat di atas " </head> "

if(len&gt;0)id.innerHTML = &quot;<p>&quot; + postbody + &quot;</p>&quot;;
<script type='text/javascript'>

function truncate_body (postid) {

var id = document.getElementById(postid);

var postbody = id.innerHTML;

var len = postbody.toLowerCase().indexOf(&quot;&lt;br&quot;);

postbody = postbody.substring(0, len);


id.style.display=&quot;block&quot;;

}

</script>



5. Cari [sebaiknya dengan bantuan Ctrl+F] "post.body"

Tempatkan script di bawah, tepat di atas " <p><data:post.body/></p> "

<b:if cond='data:blog.pageType != &quot;item&quot;'>

<div expr:id='&quot;postid_&quot; + data:post.id'>

<data:post.body/>

</div>

<script type='text/javascript'> truncate_body(&quot;postid_<data:post.id/>&quot;); </script>

<p>

<a class='read_more' expr:href='data:post.url'><b>Read more ...</b></a>

</p>

<b:else/>

catatan : Kata "Read more" silakan diganti sesuai selera .. :)

6. Tempatkan script ini tepat di bawah " <p><data:post.body/></p> "

</b:if>


7. Simpan

8. Selesai .. good luck ..

Selengkapnya ...

Sunday, January 4, 2009

Kebebasan Berekspresi

Menjelang akhir tahun 2008 kemarin saya merasa sangat beruntung karena sempat nonton di sebagian stasiun televisi swasta tayangan film-film Barat (baca : film Holywood) yang pernah ngetop. Selintas tidak ada yang istimewa sebenarnya, karena kesempatan saya itu sama dengan kesempatan yang dimiliki oleh jutaan orang lain di negeri kita. Dengan begitu, sangat tepat jika dikatakan keberuntungan saya itu sekedar perasaan saya saja, yang mungkin saja bagi orang lain dianggap terlalu berlebihan.

Nonton film-film Barat memang kerap menimbulkan berbagai macam perasaan. Terhibur tentunya sudah merupakan ukuran yang standar, sehingga menjadi tidak begitu penting untuk diungkapkan. Terkagum-kagum dengan berbagai macam aspek dari film tersebut, bisa menjadi akibat lain yang sangat mungkin berbeda-beda pada tiap orang. Dan bisa saja rasa terkagum-kagum itu kemudian dianggap sebagai bagian perasaan inferior kita terhadap gemerlap dan majunya dunia Barat, termasuk dalam produksi film-filmnya.

Jika perasaan terkagum-kagum itu menghinggapi banyak orang Indonesia. maka tanpa ragu dan malu-malu saya mengakui termasuk salah satu di antaranya. Bukan sekedar terkagum-kagum malah, lebih jauh saya juga merasa iri dan bertanya-tanya kapan kira-kira sineas-sineas negeri ini bisa menghasilkan karya sehebat, atau paling tidak mendekati film-film Barat tersebut.

Pada dasarnya, film-film Barat tidak berbeda dengan film pada umumnya, termasuk film-film Indonesia. Alur cerita yang di dalamnya terkandung konflik karakter antara si baik dan si jahat, yang diolah sedemikian rupa, untuk pada akhirnya menempatkan si baik sebagai pemenang di akhir cerita, sama sekali tidak istimewa. Yang membuat film-film Barat menjadi istimewa adalah teknik penggarapannya (baca: teknologi) yang sudah sedemikian maju, sangat memperhatikan detail-detailnya, sehingga mampu menyuguhkan hasil akhir yang sangat sulit untuk tidak mengundang decak kagum.

Kalau ada yang menyebut penguasaan teknologi sebagai faktor dominan dari hasil karya mereka, maka pendapat itu tidak keliru. Juga tidak salah jika dana yang tidak main-main (tentunya disertai keyakinan bahwa dana besar yang dikeluarkan sebagai biaya produksi akan menghasilkan keuntungan), disebut faktor yang sangat berpengaruh. Karena kenyataannya memang demikian.

Kemudian selera pasar adalah salah satu faktor lainnya, karena selera pasar yang mencerminkan tingkat apresiasi masyarakat terhadap kualitas suatu karya akan mampu "memaksa" sineas-sineas kita untuk menghasilkan karya yang memenuhi standar kualitas yang bisa diterima. Jika dengan karya yang "begitu-begitu" saja sudah dapat diterima pasar yang berarti menghasilkan keuntungan, (dengan tetap tidak menutup mata pada sebagian sineas kita yang berpegang pada idealismenya) sangat sulit tercipta tradisi lahirnya karya-karya berkualitas tinggi, karena bisa jadi karya yang berkualitas tinggi tidak akan mampu menghasilkan keuntungan berarti atau justru bakalan merugi.

Masih adakah faktor-faktor lainnya yang bisa jadi penghambat kemajuan dunia perfileman kita? Sangat mungkin dan bisa saja beragam, tergantung pada tingkat pengetahuan serta kemampuan tiap orang dalam dunia perfileman. Kemudian dengan sedikit berandai-andai kita ajukan pertanyaan. Seandainya faktor-faktor yang dalam dunia perfileman kita -katakanlah- jadi penghambat tersebut terselesaikan atau paling tidak terkurangi, apakah dengan sendirinya akan segera lahir karya-karya hebat dari negeri ini?

Terlalu naif jika kita mengatakan "ya". Terlepas dari benar tidak serta besar-kecilnya pengaruh faktor-faktor penghambat baik yang sudah saya sebut di atas ataupun belum, masih ada satu faktor lagi yang sangat mendasar sebagai penghambat kemajuan dunia perfileman kita, ialah kebebasan.

Diakui atau tidak, sineas-sineas kita sampai dengan saat ini belum bisa sepenuhnya mendapat kebebasan dalam berekspresi lewat perfileman. Sangat sulit membayangkan lahirnya tradisi yang mampu secara terus-menerus menghasilkan karya-karya hebat dari sineas-sineas ketika kebebasan belum didapatkan. Kebebasan dari rasa takut dihentikan secara paksa dalam proses pembuatannya (seperti contoh mutakhir dalam kasus film Lastri-nya Eros Djarot), kemungkinan tidak diloloskan oleh lembaga sensor, dihentikan di tengah penayangan karena protes atau ketidak setujuan dari sebagian masyarakat, bahkan sampai dengan kemungkinan menghadapi proses peradilan.

Pro-kontra terhadap suatu hasil karya sebenarnya sangat alamiah dan dengan begitu sah-sah saja. Namun ketika pro-kontra tersebut tidak ditangani secara benar serta pada akhirnya merugikan salah satu pihak, maka yang terjadi adalah penindasan. Dan ketika pihak yang dirugikan/ditindas itu adalah kalangan sineas, maka yang terjadi adalah pengekangan terhadap kebebasan berekspresi.

Sangat memprihatinkan melihat pengekangan terhadap kebebasan berekspresi masih terjadi di negeri kita. Jika di masa order lama dan orde baru pengekangan itu dilakukan secara terang-terangan oleh penguasa, maka di masa reformasi itu pengekangan dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang didukung dengan diamnya aparat negara.

Sudah saatnya negara menempatkan diri secara netral dalam menyikapi pro-kontra yang terjadi antar individu atau kelompok dalam masyarakat terhadap suatu hasil karya, dalam hal ini perfileman. Sudah seharusnya aparat tidak berlindung di balik kata "demi keamanan" untuk membenarkan atau setidaknya membiarkan aksi sekelompok masyarakat yang menindas sekelompok lainnya.

Jika kebebasan berekspresi sudah mendapat jaminan serta pro-kontra terhadapnya sudah bisa ditangani secara benar, maka tradisi akan lahirnya karya-karya hebat dari sineas-sineas hanya tinggal masalah waktu yang tidak akan terlalu lama.

Selengkapnya ...