Menjelang akhir tahun 2008 kemarin saya merasa sangat beruntung karena sempat nonton di sebagian stasiun televisi swasta tayangan film-film Barat (baca : film Holywood) yang pernah ngetop. Selintas tidak ada yang istimewa sebenarnya, karena kesempatan saya itu sama dengan kesempatan yang dimiliki oleh jutaan orang lain di negeri kita. Dengan begitu, sangat tepat jika dikatakan keberuntungan saya itu sekedar perasaan saya saja, yang mungkin saja bagi orang lain dianggap terlalu berlebihan.
Nonton film-film Barat memang kerap menimbulkan berbagai macam perasaan. Terhibur tentunya sudah merupakan ukuran yang standar, sehingga menjadi tidak begitu penting untuk diungkapkan. Terkagum-kagum dengan berbagai macam aspek dari film tersebut, bisa menjadi akibat lain yang sangat mungkin berbeda-beda pada tiap orang. Dan bisa saja rasa terkagum-kagum itu kemudian dianggap sebagai bagian perasaan inferior kita terhadap gemerlap dan majunya dunia Barat, termasuk dalam produksi film-filmnya.
Jika perasaan terkagum-kagum itu menghinggapi banyak orang Indonesia. maka tanpa ragu dan malu-malu saya mengakui termasuk salah satu di antaranya. Bukan sekedar terkagum-kagum malah, lebih jauh saya juga merasa iri dan bertanya-tanya kapan kira-kira sineas-sineas negeri ini bisa menghasilkan karya sehebat, atau paling tidak mendekati film-film Barat tersebut.
Pada dasarnya, film-film Barat tidak berbeda dengan film pada umumnya, termasuk film-film Indonesia. Alur cerita yang di dalamnya terkandung konflik karakter antara si baik dan si jahat, yang diolah sedemikian rupa, untuk pada akhirnya menempatkan si baik sebagai pemenang di akhir cerita, sama sekali tidak istimewa. Yang membuat film-film Barat menjadi istimewa adalah teknik penggarapannya (baca: teknologi) yang sudah sedemikian maju, sangat memperhatikan detail-detailnya, sehingga mampu menyuguhkan hasil akhir yang sangat sulit untuk tidak mengundang decak kagum.
Kalau ada yang menyebut penguasaan teknologi sebagai faktor dominan dari hasil karya mereka, maka pendapat itu tidak keliru. Juga tidak salah jika dana yang tidak main-main (tentunya disertai keyakinan bahwa dana besar yang dikeluarkan sebagai biaya produksi akan menghasilkan keuntungan), disebut faktor yang sangat berpengaruh. Karena kenyataannya memang demikian.
Kemudian selera pasar adalah salah satu faktor lainnya, karena selera pasar yang mencerminkan tingkat apresiasi masyarakat terhadap kualitas suatu karya akan mampu "memaksa" sineas-sineas kita untuk menghasilkan karya yang memenuhi standar kualitas yang bisa diterima. Jika dengan karya yang "begitu-begitu" saja sudah dapat diterima pasar yang berarti menghasilkan keuntungan, (dengan tetap tidak menutup mata pada sebagian sineas kita yang berpegang pada idealismenya) sangat sulit tercipta tradisi lahirnya karya-karya berkualitas tinggi, karena bisa jadi karya yang berkualitas tinggi tidak akan mampu menghasilkan keuntungan berarti atau justru bakalan merugi.
Masih adakah faktor-faktor lainnya yang bisa jadi penghambat kemajuan dunia perfileman kita? Sangat mungkin dan bisa saja beragam, tergantung pada tingkat pengetahuan serta kemampuan tiap orang dalam dunia perfileman. Kemudian dengan sedikit berandai-andai kita ajukan pertanyaan. Seandainya faktor-faktor yang dalam dunia perfileman kita -katakanlah- jadi penghambat tersebut terselesaikan atau paling tidak terkurangi, apakah dengan sendirinya akan segera lahir karya-karya hebat dari negeri ini?
Terlalu naif jika kita mengatakan "ya". Terlepas dari benar tidak serta besar-kecilnya pengaruh faktor-faktor penghambat baik yang sudah saya sebut di atas ataupun belum, masih ada satu faktor lagi yang sangat mendasar sebagai penghambat kemajuan dunia perfileman kita, ialah kebebasan.
Diakui atau tidak, sineas-sineas kita sampai dengan saat ini belum bisa sepenuhnya mendapat kebebasan dalam berekspresi lewat perfileman. Sangat sulit membayangkan lahirnya tradisi yang mampu secara terus-menerus menghasilkan karya-karya hebat dari sineas-sineas ketika kebebasan belum didapatkan. Kebebasan dari rasa takut dihentikan secara paksa dalam proses pembuatannya (seperti contoh mutakhir dalam kasus film Lastri-nya Eros Djarot), kemungkinan tidak diloloskan oleh lembaga sensor, dihentikan di tengah penayangan karena protes atau ketidak setujuan dari sebagian masyarakat, bahkan sampai dengan kemungkinan menghadapi proses peradilan.
Pro-kontra terhadap suatu hasil karya sebenarnya sangat alamiah dan dengan begitu sah-sah saja. Namun ketika pro-kontra tersebut tidak ditangani secara benar serta pada akhirnya merugikan salah satu pihak, maka yang terjadi adalah penindasan. Dan ketika pihak yang dirugikan/ditindas itu adalah kalangan sineas, maka yang terjadi adalah pengekangan terhadap kebebasan berekspresi.
Sangat memprihatinkan melihat pengekangan terhadap kebebasan berekspresi masih terjadi di negeri kita. Jika di masa order lama dan orde baru pengekangan itu dilakukan secara terang-terangan oleh penguasa, maka di masa reformasi itu pengekangan dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang didukung dengan diamnya aparat negara.
Sudah saatnya negara menempatkan diri secara netral dalam menyikapi pro-kontra yang terjadi antar individu atau kelompok dalam masyarakat terhadap suatu hasil karya, dalam hal ini perfileman. Sudah seharusnya aparat tidak berlindung di balik kata "demi keamanan" untuk membenarkan atau setidaknya membiarkan aksi sekelompok masyarakat yang menindas sekelompok lainnya.
Jika kebebasan berekspresi sudah mendapat jaminan serta pro-kontra terhadapnya sudah bisa ditangani secara benar, maka tradisi akan lahirnya karya-karya hebat dari sineas-sineas hanya tinggal masalah waktu yang tidak akan terlalu lama.
Selamat datang, sugeng rawuh ..
Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..
Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"
Custom Search
Sunday, January 4, 2009
Kebebasan Berekspresi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Mas, di era keterbukaan ini (apa bener ya, dulu tahun 90-an yang ketat dan tertutup begitu aja disebut-sebut "keterbukaan") apa masih banyak hambatan bikin filem?
Sudah lebih demokratis, tapi kok belum denger ada filem yang mengorek-ngorek tabu di era Orba, misalnya. Bikin versi lain peristiwa G30S, Timtim, Tanjung Priuk.
Yang ramai dibicarakan kok cuma pengaruh UU Pornografi bagi kesenian.
Kalau soal teknologi, banyak kok negara produsen filem bagus tanpa ruwet memanfaatkan teknologi bikin filem seperti Lord of the Rings, Narnia, Jurassic Park. Filem-filem Iran misalnya sering dipuji kritikus festival Cannes. Filem-filem Bollywood kalau sekedar mengritik polisi dan politisi juga sering, sebagai "bumbu" di tengah tari-tarian dan cerita yang mudah ditebak.
Jangan-jangan problemnya bukan hanya teknologi, hambatan eksternal, tapi juga "kreativitas" para film makers ........
Filem Lastri yg -tadinya mau- dibikin Eros Djarot itu berisi kisah cinta seorang mantan Gerwani.
Belum2 udah diprotes, dan akhirnya terpaksa dihentikan karena alasan keamanan.
Aparat tidak bertindak apa2 untuk melindungi atau menjamin proses pembuatan filem dapat berlangsung dengan aman.
Post a Comment