sajakku sajak trotoar
rengeng-rengeng, bernyanyi kecil seperti menggumam, tidak jelas terdengar tapi jelas ada sebagai bagian ekspresi anak manusia
Selamat datang, sugeng rawuh ..
Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..
Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"
Akhir minggu kemarin dan hari ini, untuk ke sekian kalinya saya melintasi jalan raya Ngawi-Sragen pulang-balik dengan sepeda motor. Sebenarnya tidak ada yang istimewa, karena saya sudah berulangkali melintasi jalan itu baik dengan sepeda motor maupun menumpang bus AKAP jurusan Solo-Surabaya. Di samping itu, tiap hari entah berapa ribu orang melakukan hal yang sama dengan saya.
Ada yang mencibir, orang main sepakbola itu kurang kerjaan. Bola satu kok diperebutkan 22 orang. Apa tidak mampu beli bola sendiri-sendiri? Ada juga yang bilang, orang-orang yang mendukung tim A atau tim B sebenarnya orang-orang bodoh. Toh kalau tim yang didukung menang atau jadi juara, yang mendukung tidak mendapat apa-apa.
"Di dunia ini nggak ada yang tetap, kecuali perubahan itu sendiri," kata Paijo.
Blothonk diam-diam ternyata masih menyimpan rasa kesal pada Paijo. Meski tidak ditampakkan dengan mengajak Paijo berantem, tapi itu terlihat dari wajahnya yang masih saja cemberut. Saat Rakhmat sudah di rumah, ditanyakannya lagi soal sunnatullah itu.
"Contohnya, kalau kutonjok hidungmu, terus syaraf di hidungmu ngirim pesan ke otak. Terus otak kamu merespon rasa sakit. Terus otak ngirim pesan lagi ke sekitar mulut, menggerakkan syaraf-syaraf di sana, termasuk mengaktifkan pita suara. Terus dari mulut kamu terdengar teriakan : WADUUUUHHH ! Nah, itulah sunnatullah .. " jelas Paijo sambil cengar-cengir waktu ditanya Blothonk tentang sunnatullah. "Mau dicoba ? he..he.. ?"
Blothonk uring-uringan tidak karuan. Paijo yang diharapkan mau diajaknya puter-puter dengan motor bututnya, malah nggelosor tidur pulas di dipan pada malam tahun baru itu. Lebih menjengkelkan lagi, gaya tidurnya sama sekali tidak enak dilihat. Tidur tengkurap dengan pakaian masih lengkap, kepala miring ke kanan, bibir monyong tertekan pipi yang nempel ke bantal. Kaki kiri menjuntai ke lantai, dan kedua tangan ikutan tengkurap dengan telapak tangan sedikit di atas pinggang. Persis penjahat yang diringkus polisi seperti di filem-filem Holywood. Gaya tidur Paijo seperti pelecehan habis-habisan terhadap nilai estetika, itu tentu jika tidur juga mesti dinilai estetis atau tidak.
Dunia persilatan boleh panas akibat 'kenakalan' Ulil, seorang pendekar muda dari padepokan NU yang sekarang memegang bendera Jaringan Islam Liberal. Para pendekar dan pemerhati dunia persilatan boleh 'ketar-ketir' dan geram dengan fatwa mati Al-Mukarram KH Athian Ali, tapi Paijo dan teman-teman kosnya tetap saja adem ayem. Bukan karena anak-anak itu tidak lagi punya kepedulian pada apa yang terjadi dalam ruang lingkup kecil maupun nasional. Namun karena fenomena seperti Ulil dengan jurus 'mbelingnya' serta Athian yang mewakili kemarahan kaum mapan yang ingin melanggengkan kemapanannya sudah lama jadi bahan obrolan anak-anak itu. Juga bukan karena menganggap remeh fatwa mati, yang bisa dikategorikan ke dalam 'hate speech' dan selanjutnya bisa diperdebatkan lagi apakah 'hate speech' itu bisa dimasukkan ke dalam 'hate crime' atau tidak. Namun justru fatwa mati itu merupakan 'blunder' yang menyisakan lubang besar yang akan jadi kuburan buat pemikiran Islam ala Athian, serta membantu membebaskan kaum liberalis dari keterpojokan secara teologis di mana-mana. 'Kenakalan' Ulil juga bukanlah sesuatu yang baru bagi mereka, karena fenomena seperti itu sudah jamak ditemui dalam sejarah Islam yang awal, serta akan berulang dan terus berulang.
Bukannya takut dengan hujan jika Paijo memilih berteduh di emperan toko sampai saat menjelang buka puasa. Tubuh manusia di desain untuk tahan terhadap air hujan, begitu yang diyakini Paijo. Rasa takut serta tidak biasa terkena air hujanlah yang menyebabkan seseorang masuk angin kalau kehujanan. Sedang bagi Paijo yang sejak kecil menjadikan hujan sebagai saat bermain, tentu ketidak takutan dan daya tahan sudah terbentuk dengan sendirinya. Paijo juga tidak khawatir motor bututnya ngadat jika lewat di genangan air, yang seolah sudah jadi bagian tak terpisahkan dari jalan, kota dan hujan, karena si butut telah dikerjai melalui proses kreativitas yang njlimet dan mengagumkan oleh bengkel langganannya.
Rabi'ah Al Adawiyah adalah salah seorang perempuan yang buah karyanya masih dikenal hingga kini. Apakah beliau seorang filsuf agung ? Apakah Ibu Rabi'ah ini seorang faqih yang mumpuni ? Bukan. Karya-karya beliau, yang banyak tertuang dalam syair tidak menunjukkan keruwetan dan ke-njlimet-an ala teologi atau fiqh. Karya beliau adalah kesederhanaan ungkapan hati yang dikenal dengan istilah cinta. Kita tidak perlu mengerutkan kening atau pun bersitegang untuk bisa memahami ungkapan hati beliau. Cukup dengan merasakan getar-getar cinta itu. Ya, cinta ala Rabi'ah. Cinta vertikal antara seorang hamba dengan Tuhan, dan cinta horizontal antara hamba dengan sesama.
Apakah Paijo terbawa arus "Ada Ada Dengan Cinta", jika tiba-tiba ia menulis sebait syair tentang cinta ? Tidak jelas, seperti syairnya yang juga tidak jelas.
"MU, Liverpool, Arsenal adalah contoh kesediaaan mau mengubah diri," kata Paijo saat ditanya pak RT tentang klub-klub papan atas liga Inggris itu. Sejak dikerjain Paijo, dan dilanjutkan nonton liga champions bareng di rumahnya, diam-diam pak RT mulai "jatuh hati" pada Paijo. Pak RT mendapatkan seorang teman yang bisa diajak ngomong dalam banyak hal. Pak RT seperti bernostalgia dengan masa mudanya yang energik dan dinamis. Sedikit banyak hal itu didapatinya juga pada diri Paijo. Jika beberapa hari Paijo tidak nongol, maka pak RT akan pesan pada seseorang agar Paijo datang ke rumahnya.
Paijo dan Rakhmat malam itu dipanggil pak RT. Pasalnya, menurut pengaduan ketua pengurus karang taruna setempat kedua anak itu dianggap bertanggung jawab atas menurunnya partisipasi anak-anak muda dalam kegiatan karang taruna.
"Dibohongi itu enak," begitu Paijo sering nyeplos sambil guyon dengan teman-temannya, jika ada saat mereka ngomong soal jujur, kejujuran, bohong dan kebohongan.
Tentu bukan karena didatangi peri, kuntilanak, genderuwo atau makhluk-makhluk sejenisnya jika Paijo dan kawan-kawan malam itu sibuk ngobrol soal hantu. Dan tentu juga bukan karena lagu ndangdut 'Mbah Dukun' yang sedang ngetop yang kemudian lantas menyeret anak-anak itu ke dunia klenik.
"Kemerdekaan ialah hak segala bangsa", begitu bunyi bagian dari Pembukaan UUD 45. Kalimat yang lahir melalui proses olah fikir para founding fathers Republik Indonesia terasa begitu indah. Indahnya, bukan semata-mata karena kalimat itu terumuskan menjelang persiapan kemerdekaan, dan ditetapkan setelah kemerdekaan bangsa Indonesia. Tapi juga karena kalimat itu berarti tekad segenap bangsa Indonesia, melalui founding fathersnya, untuk berperan aktif memperjuangkan kemerdekaan yang lebih luas bagi bangsa-bangsa lain yang masih terjajah. Letak keindahan lain ialah bahwa rumusan kalimat tersebut senada dengan fitrah manusia serta misi utama yang diemban para Nabi, misi pembebasan.
"Seandainya seluruh lautan dijadikan tinta, tidak akan cukup untuk menuliskan kalimat Allah, meskipun ditambah sebanyak itu lagi tetap tidak akan cukup," kata-kata itu diucapkan dalam bahasa Jawa oleh Kyai Abdullah lima tahun lalu, menjelang beliau memilih pulang ke kampung halaman di hari tuanya. Beliau mengutip sari dari salah satu ayat surat Al-Kahfi yang sampai kini masih terngiang di telinga Paijo.
"Om .. Om .. Ilham mau nanya nih Om .." obrolan Paijo cs mendadak terhenti oleh Ilham yang dantang dengan suara berisiknya. Ilham adalah anak bungsu bapak/ibu kos Paijo dan kawan-kawan. Ia baru duduk di kelas 4 SD.
Seandainya dunia ini kecil, tentu sangat mengasyikkan. Celakanya, faktanya dunia ini tidak kecil. Dunia ini besar, luas dan sangat kompleks sehingga jadinya tidak asyik. Untungnya, manusia punya kreativitas tersendiri untuk membuat dunia yang tidak asyik itu menjadi asyik. Salah satu cara : ciptakan "dunia" sendiri. "Dunia" kecil yang bisa kita atur sesuai kemauan kita. Bisa kita aduk-aduk, kita jungkir-balikkan sesuai selera kita. Maka terciptalah "dunia"-"dunia" kecil baru di atas dunia yang besar dan luas. "Dunia" itu bisa berlatar belakang dan bernama macam-macam.