Dunia persilatan boleh panas akibat 'kenakalan' Ulil, seorang pendekar muda dari padepokan NU yang sekarang memegang bendera Jaringan Islam Liberal. Para pendekar dan pemerhati dunia persilatan boleh 'ketar-ketir' dan geram dengan fatwa mati Al-Mukarram KH Athian Ali, tapi Paijo dan teman-teman kosnya tetap saja adem ayem. Bukan karena anak-anak itu tidak lagi punya kepedulian pada apa yang terjadi dalam ruang lingkup kecil maupun nasional. Namun karena fenomena seperti Ulil dengan jurus 'mbelingnya' serta Athian yang mewakili kemarahan kaum mapan yang ingin melanggengkan kemapanannya sudah lama jadi bahan obrolan anak-anak itu. Juga bukan karena menganggap remeh fatwa mati, yang bisa dikategorikan ke dalam 'hate speech' dan selanjutnya bisa diperdebatkan lagi apakah 'hate speech' itu bisa dimasukkan ke dalam 'hate crime' atau tidak. Namun justru fatwa mati itu merupakan 'blunder' yang menyisakan lubang besar yang akan jadi kuburan buat pemikiran Islam ala Athian, serta membantu membebaskan kaum liberalis dari keterpojokan secara teologis di mana-mana. 'Kenakalan' Ulil juga bukanlah sesuatu yang baru bagi mereka, karena fenomena seperti itu sudah jamak ditemui dalam sejarah Islam yang awal, serta akan berulang dan terus berulang.
Namun toh Paijo dan kawan-kawan tidak bisa selamanya bebas dari topik itu. Waktu istirahat di sela-sela kerja bakti hari Minggu pagi, mau tidak mau Paijo harus melayani temannya seorang aktivis masjid yang mengeluhkan pemikiran model Ulil sebagai membahayakan Islam.
"Mas percaya Islam itu agama dari Allah ?" tanya Paijo.
"Sampeyan ini aneh-aneh saja. Ya tentu saja percaya."
"Mas juga percaya kalau Allah itu maha besar, maha kuasa, maha segala ?"
"Kok nanya kayak gitu lagi sih ?! Tentu saja percaya !" jawab teman Paijo itu dengan agak gusar.
"Kalau percaya, kenapa Mas risau dengan ulah Ulil. Apa seorang Ulil itu bisa menghancurkan Islam yang Mas percayai dari Allah itu, seperti yang dituduhkan oleh sebagian orang sampai mengeluarkan fatwa mati segala ? Apa nggak kepikir, jangan-jangan kerisauan Mas dan kemarahan orang-orang itu yang sebenarnya menghina Allah ?"
Teman Paijo itu agak tersentak, seperti tidak menyangka bakal dapat pukulan 'straight' yang membuatnya limbung. Anak-anak muda lainnya yang semula pada asyik ngobrol bikin kelompok sendiri-sendiri mendadak juga ikut tertarik mendengar suara Paijo yang agak meninggi.
"Tapi kan penafsiran model Ulil itu bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya ?" tanya teman Paijo setelah bisa menguasai dirinya kembali.
"Mas saya nanya ya ?" kata Paijo sambil tersenyum. "Tuhan itu ada berapa Mas ?"
"Tuhan ya satu," jawabnya sambil menebak-nebak jurus Paijo selanjutnya.
"Teman-teman, benar Tuhan itu satu ?" Paijo mendadak mengalihkan pertanyaan pada teman-temannya yang duduk di dekat-dekat situ, dan semuanya membenarkan.
"Kalau memang benar Tuhan itu satu, coba tolong jelaskan Tuhan menurut teman-teman semua. Silakan, mulai dari sampeyan," Paijo meniru jurus Nashrudin Hoja.
Seperti terkena sihir, anak-anak itu mau saja mengikuti instruksi Paijo. Setelah empat orang selesai menggambarkan Tuhannya masing-masing, Paijo menghentikannya.
"Sudah, cukup empat orang saja !" Paijo mulai keluar penyakit cengar-cengirnya. "Gimana nih, katanya Tuhan itu satu, tapi kok empat orang saja nggak ada yang sama menggambarkan Tuhan?"
"Tuhan itu ya tetep satu. Meski digambarkan berbeda-beda oleh empat orang, Tuhan bukan lantas berarti empat, karena nggak semua orang bener menggambarkan Tuhan !" kata si aktivis masjid.
"Oke .. sekarang saya nanya lagi ke Mas-Mas yang tadi menggambarkan Tuhan. Menurut Mas-Mas Tuhan yang sampeyan gambarkan itu bener atau nggak ?" Yang ditanya menganggukkan kepala semua.
"Nah, sekarang semua merasa benar dengan Tuhannya masing-masing. Terus gimana, Tuhan yang bener yang mana, atau jangan-jangan memang Tuhan itu tidak satu ?" tanya Paijo sambil belum hilang cengar-cengirnya.
"Wah, bahaya itu Mas. Bisa kafir itu ! Allah kan sudah jelas dalam Quran dan hadits !" bantah si aktivis masjid.
"Betul. Tapi bukankah yang membaca Quran itu juga banyak orang, dan hasilnya pun bisa berbeda-beda ? jadi gimana dong ?"
"Berarti cara membacanya yang nggak bener !"
"Terus untuk memastikan cara yang bener itu gimana ? apa kita bisa nanya ke Allah langsung, atau paling tidak ke Nabi ?" tanya Paijo lagi.
"Ya nggak bisa. Jangan mengada-ada ah !"
"Bukan mengada-ada Mas, ini pertanyaan prinsipil. Jika kita memang tidak bisa memastikan cara baca yang bener, ya .. buat apa kita bersitegang, mengutuk sampai mengancam mati segala?"
"Ulil itu membaca Mas. Athian juga, kyai ini, kyai itu, saya, sampeyan, semuanya hanya membaca. Dan jika dari proses membaca kita masing-masing hasilnya nggak ada yang sama, ya biarkan saja, lha wong kita nggak dapet bisikan langsung dari Allah bahwa hasil baca kita yang paling bener," lanjut Paijo setelah sepi tanggapan dari temannya.
"Tuhan sejati itu memang satu, tapi Tuhan dalam realita itu banyak, sebanyak jumlah manusia yang masing-masing punya pikiran berbeda tentang Tuhan. Tuhan jenis kedua inilah yang masing-masing kita miliki dan sembah, Tuhan hasil refleksi kita masing-masing yang tentu berbeda tingkat pemahaman maupun latar belakangnya. Nggak pada tempatnya kalau kita ngotot Tuhan yang ada di pikiran kita sebagai Tuhan yang sejati, dan lantas menafikkan Tuhan yang ada di pikiran orang lain," Paijo terus ngerocos.
"Itulah kenyataan yang mesti diterima oleh semua umat beragama. Inilah kesadaran awal yang mestinya kita tumbuhkan dalam pendidikan agama. Jika kita menyalahkan orang yang mempersepsi Tuhan berbeda dengan kita, mestinya yang harus disalahkan adalah Tuhan sendiri, kenapa Dia tidak membuat persepsi semua orang tentang Dia sama semua, padahal Dia Maha Kuasa. Padahal ..."
Ups .. Paijo mendadak menghentikan ocehannya. Paijo baru sadar, kalau sempat didengar KH Athian Ali atau simpatisannya, bisa dihukum mati dia. Akhirnya Paijo sadar juga, bisa gawat kalau kata-katanya disalah pahami orang yang memang tidak bisa dan tidak mau memahami. Mulutnya yang sudah mau mendedarkan masalah Tuhan sebagai sesuatu yang abstrak dan sebagai Dzat yang real, 'the ultimate reality', terpaksa ditahannya. Keluhannya tentang Tuhan "yang malang", yang ditarik sana-sini dan dijadikan stempel pembenaran tiap perbuatan juga hanya tinggal keluhan dalam hati.
"Udahlah, ayo kerja bakti lagi. Ulil, Athian nggak usah diurus. Mereka semua orang dewasa yang kalau salah biarlah Allah sendiri yang menghukumnya kelak di akhirat. Mereka baru perlu kita urus kalau sudah mengganggu orang lain, mencelakakan orang lain, serta menghambat anugerah Tuhan berupa kemerdekaan berpikir dan berpendapat."
28 Desember 2002
Selamat datang, sugeng rawuh ..
Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..
Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik" 
Custom Search
Monday, September 1, 2008
Paijo : Tuhan Yang Malang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment