Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Monday, September 1, 2008

Paijo : Senandung Cinta (2)

Rabi'ah Al Adawiyah adalah salah seorang perempuan yang buah karyanya masih dikenal hingga kini. Apakah beliau seorang filsuf agung ? Apakah Ibu Rabi'ah ini seorang faqih yang mumpuni ? Bukan. Karya-karya beliau, yang banyak tertuang dalam syair tidak menunjukkan keruwetan dan ke-njlimet-an ala teologi atau fiqh. Karya beliau adalah kesederhanaan ungkapan hati yang dikenal dengan istilah cinta. Kita tidak perlu mengerutkan kening atau pun bersitegang untuk bisa memahami ungkapan hati beliau. Cukup dengan merasakan getar-getar cinta itu. Ya, cinta ala Rabi'ah. Cinta vertikal antara seorang hamba dengan Tuhan, dan cinta horizontal antara hamba dengan sesama.

"Tapi kan ada yang bilang ajaran Rabi'ah ini nggak bener," komentar Dini.

"Ya. Itu karena kita menggunakan pendekatan legal-formal dalam menilai karya beliau, pendekatan yang menggunakan metoda teks sebagai final destination dari proses berpikir. Coba kalau kita gunakan teks sebagai pintu atau terminal untuk lanjutan proses berpikir, tentu kesimpulannya akan berbeda," jawab Paijo.

"Huh, kalo ngomong mbok ya yang jelas. Ngomong kayak di awang-awang aja," kata Dini sambil bibirnya agak dimonyongkan.

Paijo tersenyum. Tumben kali ini dia tidak meledek sang adik, barangkali Paijo sedang 'mateg aji' sehingga selera humornya ikut terbang seiring datangnya si ajian. "Begini cah ayu .. Kalo aku ngomong teks, itu artinya teks Quran dan hadits. Teks-teks itu, terutama hadits, sebenarnya masih dililit masalah sangat serius mengenai otentisitasnya. Tapi sudahlah, kita kesampingkan dulu soal tersebut. Sekarang kita ngomong mau apa dengan teks-teks itu."

"Ya nggak tau lah !" tangan Dini mulai bergerilya dengan kacang kulit yang ditaruh di meja saat melontarkan komentar ketusnya.

"Teks hanyalah teks. Ia benda mati. Tinggal manusia yang membacanyalah yang menentukan mau apa dengan teks itu. Apakah cukup berhenti di arti literal satu teks atau milih menyuruk lebih jauh mencari apa-apa yang tersembunyi di balik teks, itu adalah pilihan orang yang membaca."

"Jadi kalau teks Quran dan hadits dipahami secara literal, itu sebenarnya maunya manusia ?" tanya Dini tanpa menghentikan aksi kunyah kacang kulit.

"Tepat. Manusialah yang menentukan wajah agama selanjutnya dengan berbagai pilihan pendekatannya terhadap teks. Juga saat dikenal berbagai metoda pendekatan teks, itu juga nggak lebih hasil olah pikir manusia. Oh.. teks mesti dibaca begini dan diartikan begini .. itu yang bilang manusia."

"Lalu .. aqidah itu gimana .. ?" tanya Dini yang sepertinya mulai tertarik dengan topik Paijo.

"Aqidah pun buatan manusia. Itu berasal dari 'ide-ide' ilahiyah yang tertuang dalam kalam dan terbaca melalui teks yang selanjutnya terbaca oleh manusia dan melahirkan satu rumusan-rumusan tertentu. Rumusan-rumusan dalam masalah-masalah pokok agama itulah yang dikenal dengan istilah aqidah, yang kemudian dinyatakan sebagai sesuatu yang mesti diyakini."

"Yah.. aku bisa ngerti. Tapi kenapa jika aqidah seperti yang kamu bilang itu, kok dinyatakan sebagai sesuatu yang mesti diyakini ?" tanya Dini lagi.

"Karena pengakuan unsur manusia sebagai perumus aqidah ditiadakan. Jadinya rumusan-rumusan itu sudah dianggap identik dengan Allah dan sifatnya mutlak. Ini kan mirip dengan tekhnik dagang, cuman model begitu adalah tekhnik dagang yang nggak jujur. Kalau jujur, mestinya adanya unsur manusia dalam rumusan aqidah itu nggak ditutup-tutupi."

"Lantas .. posisinya Rabi'ah tadi di mana ?"

"Gimana ya njelasinnya," Paijo menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Begini .. aku pakai istilah yang pernah dipakai Cak Nun saja. Cak Nun pernah bilang, kalau karakteristik Nabi Muhammad itu perpaduan antara karakter Musa yang keras dan tegas dengan Nabi Isa yang lembuh dan penuh cinta kasih."

"Apa hubungannya ?" tanya Dini setengah menyanggah.

"Hubungannya .. ajaran Islam itu perpaduan legal-formalnya ajaran yang dibawa Nabi Musa dengan semangat cinta-kasihnya ajaran Isa Al-Masih."

"Jadi, cintanya Rabi'ah itu mengambil sumber dari ajaran Nabi Isa ?"

"Nggak salah, namun juga nggak begitu tepat. Ajaran cinta-kasih itu sudah built-in, jadi salah satu aspek dalam ajaran Islam dan berpadu dengan aspek legal-formalnya. Sebenarnya masih ada satu aspek lagi, yaitu aspek rasional yang diwakili melalui sosok Nabi Ibrahim."

"Kok bisa ?" tanya Dini.

"Ya bisa. Kisah Nabi Ibrahim mencari Tuhan adalah contoh aspek rasional dalam ajaran Islam. Berbeda dengan Nabi Musa dan Nabi Isa yang merupakan bagian mata rantai kenabian dari bani Israel, maka kenabian Muhammad terputus dalam masa yang sangat panjang sejak kenabian Ismail. Dan kenabian Muhammad sendiri diawali dengan perenungan dan pencarian yang ada kemiripan dengan Nabi Ibrahim."

"Kalau gitu Cak Nun salah dong ?!"

"Nggak juga. Berbeda atau kurang bukan lantas berarti salah. Barangkali Cak Nun memandang dari sudut pandang lain, atau waktu melontarkan pendapat itu dia berhadapan dengan situasi tertentu. Yang jelas toh, perpaduan karakter itu bisa dikembangkan lebih luas lagi. Mungkin dengan memasukkan Nabi Nuh dan Nabi-Nabi yang lain."

"Wah, itu kesanya seperti othak-athik gathuk," komentar Dini.

"Memang. Karena agama yang sampai ke kita saat ini memang hanya hasil othak-athik gathuk. Tentu saja othak-athik gathuk itu bukan mlulu dalam konotasi negatif, namun mesti dipahami sebagai olah pikir."

"Oh ya.. tadi ada tiga aspek , apaan ? hmmm .. aspek legal-formal, cinta kasih, rasional," Dini menjawab sendiri pertanyaannya setengah bergumam. "Lantas dari ketiga aspek itu kita mesti gimana ?"

"Idealnya sih seimbang dan proporsional. Seimbang, maksudnya ketiga aspek itu hidup dan mendapat tempat dalam diri kita. Proporsional, maksudnya kita mesti bisa menentukan yang terbaik, kapan saatnya melakukan pendekatan legal-formal, rasional ataupun dengan pendekatan cinta. Repotnya, yang ideal itu susah dicapai manusia. Manusia pun kebanyakan lebih bertumpu ke satu aspek, bukan pendekatan yang kaffah alias komprehensif alias menyeluruh. Lebih repot lagi kalau dari model pendekatan seperti itu terus merasa benar sendiri."

"Hi..hi..," Dini nyengingis melihat kakaknya rada 'naik'.

"Rabi'ah Al-Adawiyah adalah seorang pecinta. Syair-syairnya adalah senandung cinta. Perkara benar atau salah, bukan urusan kita."


30 September 2002

No comments: