Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Monday, September 1, 2008

Paijo : Subyektivitas

"Om .. Om .. Ilham mau nanya nih Om .." obrolan Paijo cs mendadak terhenti oleh Ilham yang dantang dengan suara berisiknya. Ilham adalah anak bungsu bapak/ibu kos Paijo dan kawan-kawan. Ia baru duduk di kelas 4 SD.

"Hoi Jendral kecil, apa yang bisa kami-kami ini bantu buat jendral ?" Paijo menyahut, tangannya memberi hormat bak seorang tentara sambil mulutnya diplethat-plethotkan.

"Ah, kopral Paijo lagi. Kopral nggak level buat njawab pertanyaan seorang jenderal, wek !" ledek Ilham yang kayaknya dikit-dikit sudah ketularan gaya sablengnya Paijo.

"Kalau nggak level, berarti jenderal salah alamat. Di sini markasnya para kopral, Cil."

"Kok Cil sih. Emangnya kancil ? Ilham timpuk baru tahu rasa !" kata Ilham sambil melotot.

"Kan jenderal kecil ? biar hemat, panggil saja Cil .." kata Paijo lagi masih sambil cengar-cengir.

"Huu .. udah ah, Ilham serius mau nanya nih !" Ilham cemberut.

"Ya deh, ya deh .. mau nanya apa adik Ilham ?" tanya Paijo dengan dibuat-buat lembut.

"Ini Om .. hawa nafsu tuh apaan sih ?" tanya Ilham dengan mimik manja.

"Emangnya kenapa Ham ?" kali ini Rakhmat yang melayani.

"Penasaran aja sih Om. Abisnya, sering banget denger kata itu lewat corong masjid. Pak Guru juga pernah bilang, tapi nggak dijelasin. Di kaset ceramah punya Bapak, juga pernah denger .. "

"Oo.. itu .. " Rakhmat manggut-manggut. "Hawa nafsu itu artinya dorongan, keinginan dari diri kita untuk berbuat yang tidak baik, yang jahat," Rakhmat menjelaskan sambil memegang pundak Ilham.

"Hanya itu Om ?" tanya Ilham sepertinya kurang puas.

"Ya, kurang lebih seperti itu. Masih mau nanya lagi ?"

"Nggak deh, udah cukup. Ilham mau mandi, abis itu nonton power rangers. Makasih ya Om. Buat kopral sableng nggak ada terima kasih, wek !" Ilham berlari sambil meledek Paijo.

"Ha .. ha .. ha .. ," Blothong tertawa ngakak. "Pokoknya besuk kalau Ilham jadi sableng beneran, Paijo yang bertanggung jawab." Paijo yang diledek cuma mesem.

"Mat, kok njawabnya dikit banget ?" Budi yang sedari tadi asyik baca buku nanya.

"Lha mau dijawab kayak apa ? Segitu kan cukup buat anak kecil. Toh dia kelak bisa ngembangin lebih jauh lagi kalau emang anak itu kreatif."

"Nah, sekarang kalau yang nanya aku, gimana. Gimana Jo menurut kamu ?" tanya Budi.

"Gimana apanya ?" Paijo balik nanya.

"Woo telmi .. ya, soal hawa nafsu itu .. "

"Lha Rakhmat kan udah njawab tadi. Dari satu sisi emang seperti itu jawabannya."

"Dari satu sisi. Berarti ada sisi lain lagi kan ? Okey, aku bukan Ilham Jo, jadi, apa sisi laen itu ?" kejar Budi.

"Sisi yang mana lagi ? Ah, kamu aja yang pura-pura nggak tahu Bud !"

"Sedikit banyak, tentu aku juga tahu soal itu Jo. Sebagai orang dewasa, ketertarikanku pada pengertian kata hawa nafsu tentu nggak sama dengan Ilham. Aku pengin tahu pendapatmu tentang seringnya digunakan kata itu dalam "perang" pemikiran, sorry aku pake kata perang."

"Oh itu .. " Paijo bangun dari posisi tidurannya. "Kalau pendapatku sih .. hawa nafsu itu punya dua kaki yang masing-masing kaki berpijak di wilayah yang berbeda."

"Wilayah apaan ?" tanya Budi lagi.

"Ini istilahku sendiri Bud. Kamu bisa cari istilah lain kalau yang ini dianggep nggak pas," kata Paijo. "Wilayah tempat berpijak itu, satu ada di wilayah ruhani yang irrasional, satunya lagi di wilayah rasional."

"Hm .. apaan tuh ?"

"Yang di wilayah ruhani, aku mengikuti yang dibilang Rakhmat tadi tentu dengan penjabaran yang sedikit lebih panjang, sedang wilayah rasionalnya adalah yang kita kenal dengan istilah subyektivitas."

"Upss.. pendapat darimana tu Jo ?" tanya Budi sedikit heran.

"Lha kamu tadi minta pendapat sama siapa, sama hantu ?"

"Nggak .. nggak .. maksudku kamu nyolong pendapat itu darimana ? tapi, udahlah lanjutin aja .. siapa yang punya pendapat toh nggak penting, yang penting pendapatnya."

"Sebelah pijakan hawa nafsu yang di wilayah ruhani itu, mestinya dipakai buat introspeksi diri, dan menurutku sama sekali nggak layak dipake nuding orang lain. Namanya saja di wilayah ruhani, berarti yang tahu hanya orang yang bersangkutan dengan gusti Allah. Nggak ada urusan dengan orang lain," Paijo berhenti sejenak. "Lha kalau kita udah nuding orang laen ngikuti hawa nafsunya, berarti kita udah melampaui wewenang Allah untuk mengetahui sesuatu yang sifatnya rahasia antara orang bersangkutan dengan Allah. Kalo ketemu sama orang yang suka nuding-nuding kayak gitu, tanyain balik aja, emangnya darimana ente tahu si A atau si B itu ngikuti hawa nafsu apa nggak ? Apa Allah sendiri yang mbisiki ke telinga ente ?"

"Trus, yang satunya lagi ?"

"Subyektivitas .. siapa sih orangnya yang nggak lepas dari subyektivitas ? Cendekiawan atau 'ulama mana yang bebas sama sekali dari subyektivitas saat dia melontarkan pemikiran atau pendapat ? Subyektivitas nol itu nonsense !" kata Paijo.

"Kamu siap mempertanggungjawabkan pendapatmu Jo ?" tanya Budi.

"Tentu saja. Kalau ada yang salah, mana ? tolong tunjukin !"

"Nggak kok, aku percaya. Tapi, tentang subyektivitas nol yang menurutmu nonsense itu, bisa jelasin. Paling nggak contohnya lah .. "

"Obyek, apapun dia, bisa informasi benda atau apa saja, kondisi obyektifnya hanyalah selama proses obyek itu masuk ke kita. Tapi ketika kita merefleksi obyek tersebut kondisinya sudah berubah menjadi subyektif."

"Contohnya ?" ganti Blothong yang nanya.

"Kita ambil contoh rumah aja yang dicat dengan beberapa warna. Kondisi obyektifnya rumah itu terdiri dari hijau, kuning, biru misalnya. Dan ketika kita merefleksi warna-warna itu bagus atau nggak serasi atau nggak dan lain sebagainya, di situlah subyektivitas yang ganti ambil peranan."

"Jadi, kalau kita ngomong tentang apa saja, hakikatnya itulah refleksi subyektif kita terhadap satu obyek," Paijo melanjutkan lagi melihat teman-temannya diam menyimak. "Kalau ulama ngomong tentang syariat, hakikatnya itulah syariat menurut subyektivitas sang ulama. Termasuk ketika bicara tentang Allah, hakikatnya itu adalah Allah dalam subyektivitas dia, bukan Allah itu sendiri. Bahwa tiap subyektivitas itu dekat atau jauh dari kebenaran yang hakiki, nggak satu orang atau golongan pun berhak menjatuhkan vonis pada yang selainnya."

7 Mei 2002

No comments: