Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Wednesday, June 18, 2008

Rengeng-rengeng 10

Saat di satu situasi saya terpaksa duduk berhimpitan dengan seorang teman perempuan, ada yang ngledek saya ,"Wah tuh .. Syafei seneng donk empet-empetan .." Waktu itu ringan saja saya menjawab, "Siapa bilang cuman aku yang seneng .. si Mbak itu pasti juga seneng .."

Entah gimana si teman itu menafsirkan jawaban saya. Bisa jadi dianggapnya sekedar ngeles. Padahal jawaban ringan saya itu juga mengandung protes pada ledekannya yang masih didasari pandangan : perempuan adalah objek seksual.

Sebagai laki-laki yang dikaruniai badan sehat dan berfungsi normal, saya pun tidak mungkin bisa luput dari menganggap perempuan sebagai objek seksual. Namun pada saat yang sama saya juga dikaruniai akal, yang dengannya saya bisa melampaui naluri kebinatangan saya itu. Akal saya mengatakan, bahwa dalam urusan esek-esek, perempuan sebenarnya memiliki posisi yang sama dengan laki-laki : sebagai objek dan subjek sekaligus. Karena perempuan bukanlah sekedar seonggok daging sebagai hidangan santapan, namun seperti juga laki-laki, perempuan juga dilengkapi dengan akal dan rasa. Itu baru soal esek-esek, belum ke soal yang lainnya.

Memang malang benar nasib kaum perempuan, yang tidak pernah diberi hak memilih untuk dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan itu. Di dunia mereka dikondisikan jadi pelayan laki-laki. Penolakan terhadap pengkondisian ini akan membuat status 'shalihah' mereka dicabut. Tercabutnya status shalihah, automatis akan mengantarkan mereka ke neraka yang -katanya- mayoritas penghuninya kaum perempuan. Jadi, tidak seperti laki-laki, jalan menuju ke sorga bagi kaum perempuan jauh lebih rumit dan sulit. Malangnya lagi, sudah rumit dan sulit jalannya, kalau berhasil masuk sorga pun mesti bersaing lagi dengan 72 bidadari. "Weleh .. weleh .. nasibmu Nduk," pinjem kata-kata Simbah.

Apakah saya sedang membela perempuan ? Atau saya sedang melakukan 'class suicide', yang katanya merupakan prasyarat seorang laki-laki agar bisa menerima emansipasi ? Tidak. Jika membela, maka itu artinya saya masih dihinggapi perasaan superioritas laki-laki atas perempuan. Juga istilah 'class suicide' itu terlalu bombastis bagi saya. Yang perlu dilakukan oleh laki-laki agar bisa menerima emansipasi hanyalah perasaan legawa, rela. Rela mengakui bahwa
laki-laki selama ini memang lebih diuntungkan melalui kebohongan dan mitos-mitos. Baik mitos yang diciptakan oleh laki-laki terhadap laki-laki, laki-laki terhadap perempuan, maupun sebaliknya. Baik mitos yang dilestarikan melalui tradisi, maupun mitos yang diciptakan atas nama Tuhan yang (lebih digambarkan) laki-laki itu.

Emansipasi bukanlah keinginan melawan kodrat, seperti yang dituduhkan sebagian orang, tapi upaya menciptakan hubungan yang lebih proporsional antara laki-laki dan perempuan. Proporsional dalam hak dan kewajiban masing-masing berdasarkan 'perundingan' yang lebih bisa diterima nalar, dan bukannya atas dasar mitos-mitos. Emansipasi bukanlah perlawanan terhadap Tuhan, namun jalan menuju Tuhan dengan membongkar kebohongan yang mengatas namakan Tuhan. Jika Tuhan masih digambarkan sebagai laki-laki, itu artinya jalan menuju Tauhid, menuju Tuhan yang tidak laki-laki dan tidak perempuan itu masih panjang.

Emansipasi sebenarnya tidak merugikan laki-laki. Karena tidak ada bertambahnya hak kecuali bertambah pula kewajiban. Tidak ada berkurangnya hak kecuali berkurang pula kewajiban. Dalam emansipasi, sebenarnya ada juga keuntungan yang bisa diperoleh laki-laki. Dengan emansipasi, laki-laki juga bisa memposisikan dirinya dengan lebih baik dan masuk akal, serta tidak terkungkung terus menerus oleh mitos. Laki-laki tidak perlu lagi merasa malu menyusun daftar serta melaporkan kekerasan perempuan terhadap laki-laki, misalnya.

Jadi, apa lagi alasan untuk tidak legawa dengan emansipasi ? Segeralah ke sana, karena rasa legawa inilah yang akan menghindarkan ketegangan dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Ketegangan yang diwarisi turun temurun dari rasa dendam dan kebencian yang menghuni alam bawah sadar masing-masing. Rasa legawa inilah yang akan jadi jalan memutus mata rantai ketegangan itu. Jika tetap harus ada ketegangan dalam hubungan laki-laki dan perempuan, biarlah itu hanya di seputar wilayah antara perut dan lutut saja.

12 April 2003

No comments: