Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Wednesday, June 18, 2008

Rengeng-rengeng 12: Subjektivitas Yang Semena-mena

Subjektif yang semena-mena, kata itu sekilas saya baca di tulisan KDP, mengutip netter lain (siapa ?). Subjektif atau diubah jadi kata benda : subjektivitas, adalah menu paling mengasyikkan dari segala macam menu. Dia adalah teman paling dalam, paling pribadi dari tiap-tiap insan. Dengan begitu, subjektivitas tidaklah terlalu penting untuk diributkan atawa diseminarkan. Seribu pakar dengan sejuta metodologinya boleh saja menyimpulkan A itu jelek. Tapi kalau di dalam dada sini, subjektivitas sang insan bilang A itu lumayan bagus, bagus atau sangat bagus, apa urusan para pakar ? Lha wong privat, ngapain orang lain ikut campur ?

Cuman ya masalahnya, banyak orang tidak tahu diri. Subjektif disangkanya objektif. Privat disangkanya publik. Ujung-ujungnya mau subjektivitasnya yang privat itu nongol di ruang publik, jadi standar di ruang publik dan kalau perlu sekalian ngatur publik. Jadilah akhirnya subjektivitas semena-mena berseliweran di ruang publik, berposisi garang dan mengancam subjektivitas yang lain.

Wak Haji Rhoma Irama, sang super star ndangdut, yang juga politikus dan kadang-kadang jadi da'i inipun, (lepas dari hipokrisi, motif bisnis atau politis seperti disinyalir banyak orang) tidak lain hanyalah salah satu figur yang semena-mena dengan subjektivitasnya kala membombardir Inul dengan fatwa haramnya. Dan Wak Haji tidak sendirian. Ada FPI yang hobi mengobrak-abrik -berdasarkan subjektivitasnya- tempat maksiat. Ada aktivis-aktivis yang sampai sekarang giat mengkampanyekan subjektivitasnya agar dijadikan hukum negara dan
dilabeli 'Syariat Islam', sembari nekat memberi stempel aduhai pada 'lawan' idelogisnya. Ada MUI, sejumlah anggota DPRD wilayah tertentu, aparat, sampai tokoh masyarakat yang dengan subjektivitasnya semena-mena melakukan pencekalan serta pembatasan pada pihak yang tidak disetujui.

Tapi ... jangan lupa. Di posisi berseberangan dengan Wak Haji, berdiri juga kesemena-menaan subjektivitas yang lain. Stasiun televisi, sponsor, serta pihak-pihak yang berkepentingan lainnya secara semena-mena memborbardir ruang publik, dalam hal ini layar televisi, tanpa memperhatikan jam tayang, baik tayangan sebenarnya maupun iklannya. Dan di sana pula tidak sedikit orang tua yang jengah dan khawatir saat tiba-tiba di layar kacanya nongol tontonan yang
-berdasarkan subjektivitas si ortu- belum pantas di tonton oleh anak-anaknya. Dan itu terjadi begitu saja, pada jam-jam anak-anak masih betah di depan pesawat televisi.

Lantas apa ? Sepertinya perlu lebih serius diupayakan penataan agar satu subjektivitas tidak bisa secara semena-mena menindas subjektivitas yang lain. Dan yang tak kalah penting melaksanakan secara konsisten penataan itu. Jika tidak, bangsa kita akan dipenuhi aksi-aksi premanistis berupa pemaksaan subjektivitas secara semena-mena. Dan itu bukan sekedar soal Inul vs Wak Haji.

30 April 2003

No comments: