[5.8] Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Kalau seandainya ditanya, setujukah saya dengan faham Ahmadiyah, tentunya saya jawab "tidak setuju!", terutama terhadap Ahmadiyah Qadiyani yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi. Begitu pula jika ditanya setuju atau tidaknya terhadap (aqidah/dogma) agama Kristen, Hindu, Budha, atau bahkan ateisme serta aliran-aliran lain dalam Islam, tentu saya jawab "tidak setuju!'", karena buktinya saya masih menganut agama Islam sesuai yang saya fahami. Secara manusiawi, ketidak setujuan saya sedikit banyak tentu menimbulkan rasa tidak suka. Ketimbang Ahmadiyah yang maju dan berkembang, saya lebih suka faham yang saya anut
yang berkembang. Ketimbang agama Kristen, Hindu, Budha, dan lainnya, tentu saya lebih senang melihat Islam yang berkembang pesat melebihi agama-agama lainnya.
Saya punya hak penuh untuk setuju/tidak setuju maupun suka/tidak suka terhadap segala sesuatu, termasuk suatu agama dan aliran agama. Dan saya akan protes keras serta melakukan perlawanan sedaya upaya, jika dipaksa harus setuju/tidak setuju atau suka/tidak suka terhadap sesuatu. Ini pikiran saya, ini pendapat saya, dan ini keyakinan saya! Tak satu orang pun berhak ikut campur, dalam pengertian sengaja menghambat atau memaksa ke suatu arah tertentu.
Inilah salah satu hak paling azasi bagi tiap manusia. Suatu hak yang tidak pada tempatnya dirampas oleh siapapun dengan dalih apapun. Hak seperti ini sekaligus mengandung konsekuensi suatu kewajiban, yakni kewajiban untuk menghormati hak-hak orang lain yang sama dan serupa. Dengan hanya mau menuntut hak, tanpa mau menunaikan kewajiban untuk menjaga hak orang lain, sungguh merupakan suatu sikap egois dan zhalim.
Dalam kasus penyerangan dan pengrusakan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), sikap pengecaman terhadap tindakan tersebut lebih sering dipelintir sebagai pembelaan terhadap faham Ahmadiyah, pembelaan terhadap aliran -yang dianggap- sesat. Substansi pembelaan yang berupa pembelaan terhadap hak meyakini dan menjalankan agama/kepercayaan sesuai keyakinan masing-masing, seperti sengaja dikaburkan.
Dalam sistem demokratis, secara normatif, MUI atau siapapun berhak untuk mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah (atau aliran) lain sesat, karena ini merupakan hak berpendapat yang juga dimiliki MUI. Namun, di sisi lain Ahmadiyah, atau siapapun yang divonis sesat oleh MUI, juga punya hak untuk membela diri dan menyatakan pendapat tanpa boleh dihalang-halangi oleh siapapun. Jika, MUI setelah mengeluarkan fatwa kemudian 'merayu' otoritas negara untuk mendukung ataupun mengimplementasikan fatwanya, sungguh ini suatu sikap pengecut yang tidak pantas disandang oleh orang yang bergelar -atau menggelari dirinya- ulama.
Beranikah MUI mempertahankan fatwanya dalam debat publik dengan Ahmadiyah ataupun aliran lain yang difatwa sesat? Saya tidak yakin, sebab MUI belum menunjukkan suatu kemajuan sejak menggelar 'pengadilan' sepihak terhadap aliran Syiah beberapa tahun yang lalu. Dan sungguh, saya hanya bisa mengelus dada melihat lembaga yang mengklaim dirinya
sebagai pembimbing serta teladan umat ini tidak kunjung beranjak dewasa, serta masih sanggup mempertontonkan (setidaknya diam terhadap) suatu kezhaliman yang sangat telanjang. Duh, MUI .....
2 Agustus 2005
Selamat datang, sugeng rawuh ..
Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..
Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik" 
Custom Search
Wednesday, June 18, 2008
Rengeng-Rengeng: Duh, MUI ....
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment