Yap .. ini memang tentang "kolor ijo" yang sempat geger di Jakarta beberapa waktu lalu. Sebuah isyu yang tidak tanggung-tanggung langsung menghantam ibukota RI, barometer segala macam bentuk kemajuan dan kemoderenan. Tempat di mana warga relatif lebih gampang mendapatkan akses informasi yang seluas-luasnya, dibandingkan belahan lain di wilayah negara RI. Tapi ya begitulah .. di ibukota itu, di tengah-tengah sang barometer itu, di kota yang serba lebih itu, ternyata juga gampang diguncang isyu yang tidak masuk akal dan tidak jelas juntrungannya. Logikanya, apalagi di wilayah lain.
Orang-orang yang tidak percaya dengan isyu tersebut cenderung mengaitkannya dengan pemilu yang -waktu itu- akan menjelang. Saya termasuk yang setuju dengan kecenderungan seperti itu, bahkan lebih spesifik saya menganggapnya seperti meraba "peta" dalam masyarakat kita, agar bisa disajikan "menu" yang diperkirakan akan jadi santapan favorit masyarakat. Sebuah usaha yang -dari sudut pandang tertentu- brilian dan efisien. Tidak perlu repot-repot membuat penelitian yang canggih segala macam. Cukup ciptakan isyu, dan bisa didapat hasil yang sangat memuaskan.
Begitulah .. betapapun saya terus-terusan "berteriak" parau, apalah hasil signifikan yang bisa diharap dari masyarakat "kolor ijo"? Tidak ada. Sebenarnya sayapun sadar sesadar-sadarnya, "teriakan" saya tidak akan membawa hasil, setidaknya dalam waktu dekat ini. Malahan saya yang harus menanggung konsekuensi dari "teriakan" saya, di mana konsekuensi itu seringnya tidak enak. Tapi toh saya memilih untuk tetap "berteriak" dan terus "berteriak". Untuk apa? Tentu saja untuk sebuah harapan. Hanya orang gila saja yang terus-terusan "berteriak" tanpa memiliki harapan. Saya berharap, setidaknya ada satu atau dua orang yang mau mendengar teriakan saya, dan kemudian -minimal- memikirkannya. Saya juga berharap akan bertemu dengan orang-orang yang memiliki kegelisahan yang sama, namun belum cukup punya keberanian untuk menyuarakan kegelisahannya. Atau keberanian menyuarakan itu sudah ada, namun -sama seperti saya- masih jalan sendiri-sendiri dan belum bisa serius memformulasikan "teriakannya".
Saat menulis ini, saya masih terus-menerus mengikuti hasil penghitungan suara, baik dari radio, televisi maupun internet. Mengikuti sebuah proses demokrasi yang lebih banyak diwarnai isyu-isyu ketimbang pembahasan masalah secara rasional. Demokrasi di tengah-tengah masyarakat "kolor ijo". Sebuah proses demokrasi yang lebih banyak orang menjajakan "kolor ijo". Tidaklah berlebihan kalau demokrasi kita ini disebut demokrasi "kolor ijo".
5 April 2004
Selamat datang, sugeng rawuh ..
Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..
Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik" 
Custom Search
Wednesday, June 18, 2008
Rengeng-rengeng: Demokrasi Kolor Ijo
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment