"Gambar akan meletakkan pikiranmu dalam satu bingkai," begitu kurang lebih saya pernah membaca tulisan orang yang tidak mau membuka foto-foto korban kerusuhan Sampit. Kalimat singkat itu harus saya akui betul. Setidaknya begitulah yang saya temui pada teman-teman sesama muslim yang banyak melihat foto-foto kerusuhan Ambon. Ketika foto anak manusia yang dicincang sebegitu sadisnya, kemudian diikuti penjelasan bahwa itu foto seorang muslim yang dibantai oleh orang atau pasukan Kristen di Ambon, maka secara tidak sadar pikiran seseorang itu sudah tergiring masuk ke dalam satu bingkai. Terdorong rasa keingin tahuan saya sempatkan surfing di internet, mencari web-site yang dikelola umat Kristen tentang berita-berita Ambon. Ternyata saya temui hal yang kurang lebih sama, hanya dengan subyek-obyek terbalik, setidaknya di sebagian web site umat Kristen. Dalam kondisi seperti itu telah terjadi penggiringan pikiran umat Islam dan Kristen dalam bingkainya masing-masing dan membawanya pada posisi berhadap-hadapan. Tentu tidak semua umat Islam dan Kristen mau pikirannya tergiring sebegitu rupa, namun sedikit banyak tentu menyisakan umat masing-masing yang masih terkurung dalam bingkai itu, dan tetap menganggapnya sebagai sesuatu yang benar.
Gambar, tentunya bisa dimaknai bukan lagi sekedar coretan di atas kertas yang membentuk satu konfigurasi tertentu. Gambar dalam makna yang lebih luas berarti citra, imej (image). Imej bisa terbentuk melalui obyek apa adanya (obyektif), namun bisa juga melalui opini orang lain atas suatu obyek (subyektif). Kemudian imej melalui dua jalan itu melahirkan subyektivitas kita sendiri. Tentang nantinya seperti apa dan bagaimana subyektivitas kita, tentu akan sangat
dipengaruhi oleh imej itu sendiri, tingkat intensitas imej yang diterima, dan bagaimana kita mengolah imej-imej yang kita terima. Apakah bersikap kritis, menerima bulat-bulat, ataupun masa bodoh.
Sikap subyektif terhadap suatu imej, selalu terkurung atau berada di antara dua titik ekstrem : pro dan kontra (anti). Proses-proses seperti itulah yang nantinya akan membentuk suatu filosofi, atau ideologi dalam tataran yang aplikatif. Imej yang berupa suatu hegemoni akan melahirkan sikap ngikut, manut, nurut sekaligus sikap anti. Imej yang berujud ancaman akan melahirkan
perlawanan. Imej yang berupa harapan akan menarik orang untuk datang bersamanya. Begitulah hukum sebab-akibat. Proses seperti itu berlaku untuk semua umat manusia, tidak terkecuali orang-orang besar. Paham skripturalis (tekstual, literal) menguat di tengah merebaknya para ahli ra'yu. Sikap anti filsafatnya Al-Ghazali muncul di tengah "nggladrah"-nya filsafat, meskipun beliau sendiri juga seorang filsuf sebelum lebih dikenal sebagai sufi. Paham pembaharuannya Muhammad Abduh lahir di tengah tenggelamnya umat dalam kungkungan
irrasionalitas, dalam imej yang beliau terima. NU lahir sebagai resistensi kaum tradisional terhadap "mblunat"nya kaum modernis, yang dalam imej-nya yang negatif disetarakan dengan Wahabi. Islam Liberal lahir sebagai reaksi atas merebaknya -apa yang disebut- fundamentalisme agama.
Dalam fenomena sosial baik dalam skala lokal maupun global, prinsip yang sama juga tetap berlaku. Di Barat, sikap anti Islam tidak bisa dilepaskan dari imej yang mereka terima tentang Islam. Larangan simbol-simbol agama di sekolah negeri dan lembaga pemerintahan Prancis (jilbab, salib, tudung Yahudi) tidak bisa dilepaskan dari imej "mengerikan" yang menyertai simbol-simbol agama bagi mereka. Ini -sepertinya- terkait erat dengan beberapa kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum muslimin di Barat paska 9/11. Boleh dibilang itu adalah efek psikologis tentang peristiwa 9/11 yang membentuk imej tertentu tentang Islam dan muslimin. Sebaliknya 9/11 pun juga tidak lepas dari sebab-akibat yang melahirkan perlawanan dalam bentuk terorisme. Maka pendapat yang mengatakan USA lah biang terorisme yang sebenarnya, bisa dimengerti dan mungkin saja betul.
Islam yang saya pahami mengajarkan prinsip kaffah. Dan kaffah dalam pemahaman saya adalah sikap yang menyeluruh, komprehensif, baik dalam perbuatan maupun pikiran, dan berlaku dalam segala hal. Dalam menghadapi suatu imej pun, sikap kaffah tetap harus diperlukan. Jika hanya reaktif dan sepotong-potong, tanpa melihat proses sebab-akibat secara keseluruhannya, akan sangat mungkin mendorong kita pada satu sikap yang nantinya akan mendorong lahirnya satu sikap lagi sebagai reaksi atas sikap kita. Akibatnya dunia tidak akan pernah berhenti dari
mata rantai kekerasan yang melahirkan kekerasan baru, penindasan yang mendorong penindasan baru, dendam yang akan menyulut dendam baru.
Dengan prinsif kaffah, diharapkan jauhnya sikap "gebyah-uyah" (generalisasi). Dengan prinsip kaffah, diharapkan lahir suatu kearifan dan itikad baik untuk memutus mata rantai kekerasan. Dengan prinsip kaffah umat Islam diharapkan bisa menemukan jalan tengah, jalan yang bukan lagi berpijak pada prinsip menang-kalah, tapi menang-menang. Jalan tengah itulah yang saya pahami sebagai jalan (syariat) Islam. Tapi memang sungguh tidak mudah merumuskan, apalagi
mengaplikasikannya.
Batam, 30 Des 2003
Selamat datang, sugeng rawuh ..
Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..
Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik" 
Custom Search
Wednesday, June 18, 2008
Rengeng-rengeng : Mata Rantai Kekerasan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment