"Pak Allah itu gerak ya ?"
"Ya nggak lah."
"Kalau gitu Allah diem. Berarti Allah patung ya Pak ?"
"Ya nggak juga."
"Katanya nggak gerak, ya berarti Allah patung dong Pak. Kalau bukan patung, kan Allah gerak."
Itu obrolan menjelang tidur antara saya dengan anak saya waktu masih berumur sekitar 4 tahun (sekarang 8 tahun), yang masih saya ingat sampai sekarang. Setelah kalimat terakhir itu, saya biarkan anak saya berimajinasi sendiri tentang Allah yang mulai dikenalkan secara intens di sekolahnya. Saya sendiri setengah hati dan mengenalkan Allah ala kadarnya pada anak saya itu. Bisa jadi saya dianggap tidak punya konsern terhadap pendidikan agama anak saya. Dan memang saya tidak punya konsern terhadap pendidikan agama, jika pendidikan agama
artinya menjejalkan apa-apa saja yang saya ketahui dan yakini (sebagai orang tua) pada anak-anak saya.
Seperti kebanyakan orang tua muslim lainnya, sayapun ingin anak saya menjadi anak yang sholeh. Nilai-nilai agama sedapat mungkin saya coba tanamkan sejak dini. Selama memungkinkan, selalu saya ajak anak saya untuk ke masjid, sekedar mengikuti sholat berjamaah maupun kegiatan-kegiatan agama lainnya. Namun justru dalam proses penanaman itulah, saya dihadapkan pada peristiwa yang "memaksa" saya memikirkan kembali cara pandang terhadap agama dan pendidikan agama. Anak saya (waktu berumur 2 tahun) mengalami trauma berat sehabis saya ajak menyaksikan upacara penyembelihan hewan korban di masjid. Anak saya selalu ketakutan setiap kali melihat pisau. Dia juga ketakutan, terkadang sampai menjerit, jika di televisi ada tayangan adegan silat dengan pedang, meskipun sebelumnya sangat menggemari tayangan seperti itu.
Peristiwa itu merupakan titik balik yang mengubah secara drastis sikap dan pandangan saya terhadap agama. Pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya hanya saya pendam dan tekan-tekan, mulai saya geber habis-habisan. Dengan sendirinya, pandangan saya tentang anak serta pendidikannya, baik umum maupun agama, mengalami perubahan secara drastis pula. Anak tidak lagi saya arah-arahkan. Sikap saya terhadap anak berubah jadi cenderung liberal. Selama tidak membahayakan, tidak ada yang perlu saya larang-larang. Tentang Allah, tentang
agama, biarlah anak saya meretas jalannya sendiri. Saya, sebagai orangtua, hanya berusaha melempangkan jalan buatnya. Saya coba mengembangkan dialog tentang berbagai hal, tentu dengan bahasa anak-anak, tanpa perlu saya dikte-dikte.
Cerita lain, masih cerita tentang anak yang sama, saya pernah rela bersitegang dengan keluarga besar, karena bersikeras bilang "TIDAK" waktu anak saya mau diikutkan dalam lomba balita sehat. Kemudian cerita lain lagi, waktu nengok keponakan beberapa hari lalu, ibunya nyaris saya marahin. Pasalnya saya geram melihat keponakan yang belum genap berumur 2 tahun itu sudah dipakai-i jilbab. Saya tidak rela melihat keponakan yang belum tahu apa-apa itu jadi objek "ideologisasi" orang tuanya. Dan saya punya keberanian untuk marah, karena kami masih kerabat dekat. Kemarahan saya baru mereda saat ibunya bilang,"Lha wong aku nggak nyuruh makai kok Mas. Dia sendiri yang minta."
Setiap memandang anak-anak, terutama anak-anak saya, dalam hati saya berdesir, "Ya Allah, aku nggak bisa menjamin masa depan anak-anakku. Tidak dalam skala mikro, apalagi skala makro. Mestikah anak-anak itu menanggung beban lagi, yang mestinya bukan beban mereka ?"
Saya ingat kata-kata Sayyidina Ali, serta ungkapan dalam bentuk puisi oleh Almarhum Umar Khayam, "Anakmu bukan anak panahmu."
8 Oktober 2003
Selamat datang, sugeng rawuh ..
Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..
Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik" 
Custom Search
Wednesday, June 18, 2008
Rengeng-rengeng : Anakmu Bukan Anak Panahmu
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment