Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Wednesday, June 18, 2008

Rengeng-Rengeng : Menuju Cakrawala

Suka nonton acara TV yang ada adegan singa atau cheetah menguber-uber rusa yang imut-imut, kemudian setelah tertangkap tubuh rusa dicabik-cabik dengan cakar dan taring sang pemburu ? Terkadang kita lihat juga pertarungan antara sesama pemburu dalam memperebutkan mangsa atau wilayah "teritorial"nya.

Saat melihat barangkali perasaan kita sempat berdesir dan berkata : "Kejam !". (Kalau anak saya suka bilang : "Jahat !"). Tapi memang begitulah 'survival the fittest', si hukum rimba itu. Siapa kuat dia menang. Singa dan cheetah memiliki struktur tubuh dan naluri sebagai pemburu dan pembunuh. Sebaliknya rusa memiliki naluri dan ketrampilan untuk menghindar dari serangan sang pembunuh. Meski ujudnya berbeda, namun keduanya punya manfaat dan tujuan yang sama : bertahan hidup.

Naluri untuk survive, itulah naluri dasar dari setiap makhluk hidup. Apa yang bisa dilihat dari rimba dan hamparan padang rumput di Afrika itu hanyalah sekedar contoh bagaimana binatang mengikuti nalurinya untuk bertahan hidup. Kita (manusia) tidak usah melibatkan diri dalam proses alamiah seperti itu. Kita juga tidak usah memakai perasaan dalam melihat adegan di rimba itu, tapi cukup menjadikannya bahan penambah pengetahuan untuk mengenal alam berikut proses-prosesnya lebih jauh. Yang perlu kita lakukan hanyalah mencegah, agar apa yang terjadi dalam rimba itu tidak menjangkiti kita, para manusia.

Elllho .. apa bisa tingkah laku binatang-binatang di rimba menjangkiti manusia yang merupakan makhluk paling mulia itu ? Jawabannya bukan saja bisa, tapi sudah dan sering. Tentu saja adegan yang serupa itu tidak akan kita temui (kecuali di film-film mungkin), karena saling terkam, cakar dan gigit di dunia manusia sudah berbeda. Ujudnya sudah jauh lebih halus. Namun meski lebih halus, dampaknya bisa jauh lebih hebat dan luas ketimbang yang terjadi di rimba-rimba. Jika binatang membunuh (dan juga saling membunuh) hanya sekedar memenuhi kebutuhan dasarnya yang memang tidak ada pilihan lain itu, maka pada manusia seringkali tidak lagi mengacu pada pemenuhan kebutuhan dasar. Dari sanalah kemudian muncul perang, pembunuhan, penghisapan, sampai penjajahan antar sesama manusia.

Kita tidak usah mengharap ada perbaikan di rimba, karena perbaikan itu tidak akan pernah ada (kecuali perbaikan sebatas pada hal-hal yang sifatnya biologis). Tapi terhadap dunia manusia kita bukan saja berharap, namun juga mesti secara aktif mengupayakan berbagai macam perbaikan. Jika perkembangan peradaban manusia justru melahirkan sisi-sisi negatif, berupa makin canggih dan halusnya berbagai macam bentuk penjajahan serta makin nggegirisinya alat-alat penghancur sesama manusia dan alam, maka di sisi lain manusia mesti mengembangkan dan mengupayakan perbaikan dalam tata hubungan sesama, melawan penjajahan dalam bentuk apapun dan meniadakan atau paling tidak meminimalkan saling menghancurkan antara sesama manusia.

Utopiskah gagasan yang terakhir itu ? Bisa jadi, jika kita selalu mengharap segala sesuatu berjalan secara sempurna. Tapi jika kita meletakkannya sebagai cakrawala, maka gagasan itu bukan sesuatu yang mustahil. Tidak gampang memang, karena interaksi antar sesama manusia serta konflik-konflik yang ditimbulkan sudah sangat kompleks dan tidak bisa diatasi seperti membalik telapak tangan. Namun sejarah manusia menunjukkan bahwa selalu ada geliat-geliat dan kerinduan untuk mencapai sesuatu yang berada di cakrawala. Dan seiring perkembangan
peradaban manusia, jalan-jalan menuju cakrawala yang tercerai-berai itu makin terbuka lebar peluangnya untuk saling bersinergi.

Pertanyaan lanjutan adalah, apakah mungkin jalan-jalan yang berbeda dan tercerai berai saling bersinergi dan bagaimana ? Sangat mungkin, jika memang di antara sesama pejalan yang berbeda itu menyadari bahwa ada tujuan yang sama dan satu, serta menanamkan pada diri sendiri bahwa kita bukanlah ancaman bagi orang lain, dan jalan-jalan lain yang berbeda bukanlah musuh dan ancaman bagi kita.

Itu baru dasarnya, dan sangat dasar sekali. Untuk bisa mengurai secara detail, serta terutama sekali melaksanakan, perlu kerja keras yang luar biasa dan tidak kenal istilah menyerah. Dan itu tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, atau dituntut hanya dilakukan oleh sebagian jalan dan pejalannya, melainkan harus dilakukan secara bersama-sama. Paling tidak jika dasar ini sudah ada, maka hubungan yang saling mengancam yang kemudian melahirkan penjajahan manusia atas sesama manusia dalam bentuk apapun makin bisa diminimalkan. Bukankah faktor yang
membuat tumbuh suburnya suatu ideologi adalah adanya musuh dan keterancaman ? Baik musuh yang benar-benar ada maupun yang diada-adakan ? Baik itu ideologi yang berbasis ekonomi, ras, wilayah geografis, etnik, agama dan lain sebagainya ?

(Dalam rangka menyambut dan memperingati HUT RI ke 58)

18 Agustus 2003

No comments: