Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Wednesday, June 18, 2008

Rengeng-Rengeng: Khidir dan Sisdiknas

Ingat Piala Dunia 1982 ? Saat itu saya baru naik ke kelas 6 SD. Boleh dibilang, itulah PD pertama yang saya tonton dan ikuti dengan cukup intens. Salah satu yang meninggalkan kesan cukup dalam pada saya adalah tim Italy, sang jawara pada waktu itu. Bukan karena kehebatan atau permainannya yang indah, tapi jalannya mencapai tangga juara, khususnya di putaran kedua. Italy menyingkirkan dua jagoan super tangguh dari Amerika Latin, Argentina dan Brasil.

Italy bukan saja berhasil membawa pulang piala berlapis emas 24 karat tersebut, namun juga berhasil mengangkat kembali nama 'catenaccio' alias sistem pertahanan grendel yang luar biasa alot itu. Bukan itu saja, Italy juga sukses "melahirkan" julukan 'Khadafy' yang dilekatkan pada Claudio Gentile, sang maskot di jantung pertahanan yang brutal dan merupakan jaminan suksesnya 'catenaccio'. Maradona, sang megastar yang baru menanjak adalah korban paling parah dari kebrutalan si 'Khadafy' ini. Gentile, bak lintah menempel ketat Maradona sepanjang
pertandingan, dan langsung 'menghajarnya' jika mendapatkan bola. Argentina kalah, Maradona frustrasi berat, dan terakumuluasi saat gantian menghajar Zico secara brutal di pertandingan berikutnya.

Kejadian lain yang sulit dilupakan adalah skandal Jerman (Barat) yang main mata dengan Austria buat menyingkirkan Aljazair. Aljazair -dan juga banyak pihak- protes keras atas ulah Jerman dan Austria itu. Tapi apa boleh buat, sanksi yang dituntut tidak juga dijatuhkan, dan Jerman sukses melaju sampai final bertemu dengan Italy. Italy dan Jerman sah berjalan sampai final yang akhirnya dimenangkan Italy itu.

Apa yang dilakukan Italy dan Jerman sah-sah saja. Peraturan -waktu itu- memang memungkinkan aksi brutal ala Gentile berlalu tanpa sanksi berarti. Begitu pula dengan Jerman yang sulit dijerat dengan peraturan apapun yang berlaku saat itu. Sedang Maradona dengan Argentinanya, Aljazair (juga Brazil, mungkin) harus rela berada di pihak yang kalah, karena faktanya jalan mereka terhenti di babaknya masing-masing.

Namun ... ternyata kekalahan Maradona dan Aljazair hanyalah kekalahan di satu sisi. Dan mereka menang di sisi lain : moral. Moral manusia yang tidak terkontaminasi dengan kepentingan maupun ikatan-ikatan emosional sulit membenarkan atas apa yang dilakukan Gentile terhadap Maradona, maupun Jerman dan Austria terhadap Aljazair. Peraturan yang memberi perlindungan terhadap pemain pelan-pelan diujudkan sampai saat ini. Sistem pertandingan di partai penentuan pun diubah, harus dilangsungkan pada waktu bersamaan untuk mencegah jatuhnya korban seperti Aljazair. Itulah kemenangan Maradona dan Aljazair, kemenangan yang tidak diwakili dengan simbol piala.

Cerita PD 82 itu kembali nongol dalam benak saya, saat saya diam-diam meneteskan airmata ketika mendengar RUU Sisdiknas disahkan menjadi UU. Umat Islam telah meraih kemenangan. Ya .. kemenangan. Tapi sekedar kemenangan satu sisi, seperti kemenangan Italy dan Jerman di PD 82. Di sisi lain umat Islam mengalami kekalahan, khusunya menyangkut pasal 13 itu .. kekalahan dari sisi moral .. dan cukup telak.

Kekalahan secara moral ini, sebenarnya sangat merugikan, baik keluar maupun ke dalam. Ke luar, hal ini hanya menunjukkan bahwa standar moral umat Islam memang rendah. Pemahaman umat Islam tentang demokrasi-pun, tak lebih sekedar demokrasi okol alias tirani mayoritas. Umat Nasrani (dan agama lain), dari sisi moral, jadi legitim untuk meng-klaim dirinya sebagai pihak yang tertindas dan teraniaya.

Ke dalam, cara mencapai tujuan seperti ini, dengan mengandalkan jumlah yang mayoritas sembari mengintimidasi pihak minoritas, akan bisa jadi proto-type kelakuan umat Islam selanjutnya, ketimbang mencari dan memperbaiki kelemahan dalam diri umat Islam sendiri. Dan ini sangat melukai 'akhlaqul karimah' yang jadi misi utama Nabi Muhammad saw.

Khidir .. Khidir .. Ah, nama Nabi misterius itu kembali hadir dalam angan saya. Khidir yang mengajak berpikir jauh ke depan sembari membikin Musa muda naik pitam. Khidir yang tidak nyanthol dengan konstelasi politik manapun, tidak terkontaminasi dengan kepentingan pribadi apapun, dan tidak pernah muncul dalam panggung sejarah manapun.

Khidir .. Khidir .. akankah dia hadir kembali ? Ah, kalaupun masih mungkin hadir, saya yakin dia tidak akan berada di jalur pendidikan formal ala UU Sisdiknas.

Batam, 21 Juni 2003

No comments: