Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Wednesday, June 18, 2008

Rengeng-Rengeng 1

Akhir-akhir ini ada beberapa hal yang sempat saya catat. Pertama penolakan Cak Nur buat dicalonkan jadi presiden, kedua tampilnya Jaya Suprana di acara Who Wants To Be The President, dan last but not least tulisan ringan mas Agus Syafii (kok kebetulan nama belakangnya sama dengan saya, cuma beda ejaan) "Tuhan sedang ngapain ?" serta "Ada apa dengan syetan" dan masih disusul lagi dengan "Setanpun pengen Tobat".

Tobat .. tobat .. Bocah kok nakale kayak setan. Kurang lebih mungkin begitu (belagak sok tahu dikit ah) kenakalan mas Agus itu dikomentari. Nakal memang, tapi sulit dibantah. Coba hayo, silakan bantah bahwa mencet tombol lampu tanpa basmalah pun lampu tetap saja nyala. Terus itu anekdotnya tentang setan yang mengeluh terus-menerus dikambing hitamkan .. apa tidak cespleng ? Celoteh mas Agus itu mengingatkan saya pada seorang netter yang lain yang kurang lebih pernah bilang begini : "Kalau segala masalah cukup dinisbatkan pada Tuhan atau syetan, tentu ilmu psikologi, sosiologi, anthropologi tidak akan pernah bisa berkembang seperti sekarang ini" (ZY, cmiiw).

Suka atau tidak, mau jujur atau ndak, diakui atau diingkari, mau manggut-manggut atau ngamuk, kenyataannya dunia bisa mencapai kemajuan seperti sekarang ini justru setelah manusia berani dan bisa keluar dari tuhan sentrisme yang ribuan tahun memebelenggu. Tuhan sentris, yang pada kenyataan sebenarnya agamawan sentris, telah berhasil dipatahkan. Dunia segera berpaling pada manusia-sentris. Tuhan-pun, jika masih ada, digeser cukup menghuni bilik-bilik individu. Akal gantian mengambil peran paling depan dalam kancah dunia berikutnya. Persetan kata tuhan (agamawan maksudnya), manusia memilih berpikir sendiri dan melesat
bak anak panah lepas dari busurnya, meninggalkan tuhan yang tertatih-tatih sambil misuh-misuh.

Berikutnya soal Cak Nur. Cak Nur adalah sosok di luar partai yang banyak diminati orang untuk menduduki kursi presiden, selain Aa Gym. Kebetulan kedua-duanya menolak, meski dasar penolakannya berbeda. Si Aa, yang terkenal piawai mengaduk-aduk emosi ini, mengemukakan alasan bahwa beliau bukan figur yang layak untuk mengemban amanat seperti itu. Tidak ada yang baru (kecuali yang belum tahu he..he..). Sedang Cak Nur, si pendekar dari nJombang, menegaskan kembali pendiriannya untuk tetap konsern pada pendidikan jangka panjang, dan
tidak mau bangsa ini tertinggal lebih lama lagi. Tertinggal soal apa ? Nah ini ..

Untuk membedakan ciri masyarakat modern dengan tradisional salah satunya bisa dilihat dari caranya memilih pemimpin. Pada masyarakat modern, kepemimpinan itu ditekankan pada system. Sedang pada masyarakat tradisional, kepemimpinan tekanan utamanya pada figur. Figur, dalam tata masyarakat modern meski tetap penting, hanyalah prioritas nomor sekian setelah system di nomor satu dan -barangkali- hal-hal lain di nomor berikutnya. Sedang pada masyarakat tradisional, figur bisa berarti segalanya. Seolah-olah negara tidak akan bisa berjalan tanpa seorang figur.

Sayangnya Cak Nur ini orangnya serius, sehingga buah pikirannya sulit masuk ke wilayah di mana banyak orang lebih kepengin yang ndagel-ndagel. Sayangnya lagi, Cak Nur ini sukanya pakai bahasa dewa, sehingga hanya orang-orang yang punya akses dan pernah berkenalan dengan kahyangan yang bisa memahami. Kalau saja Cak Nur ini doyan ndagel-ndagel sedikit, tentu gema buah pikirannya bisa menjangkau wilayah yang lebih luas lagi. Tapi biarlah, Cak Nur ya Cak Nur, dengan pikiran dan gayanya sendiri. Kalau ikut-ikutan ngepop, nanti Aa Gym jadi dapat saingan, meskipun bisa saja itu jadi sesuatu yang bagus. Satunya ngepop dan pintar memainkan emosi, yang satunya lagi ngepop dan jago merangsang nalar supaya lebih sehat serta berfungsi. Kalau si Aa mau hadir di konsernya Slank, si Cacak boleh nongol di panggungnya si Inul ( Inul lagi ! :-( ). Kalau si Slank pengin dapat pengalaman spiritual (atau emosional -> emosional religi, hayo?), maka Inul pun bisa dikasih pengalaman intelektual. Apik tho ?

Lha, terus si Jaya Suprana ? He..he.. kalau ketemu pengin saya jitak si juragan jamu itu. Lha wong acara Who Wants To Be The President itu acara serius kok malah dipakai ndagel. Sudah jelas nongol di TV yang dikhususkan buat orang-orang yang pengin jadi presiden, kok bilang tidak ingin jadi presiden. Yang berlaku umum kan seperti yang disindir di Butet itu, kalau giat misuhi korupsi masalah sebenarnya bisa jadi sekedar "kenapa gue nggak kebagian ?". Atau seperti yang dibilang Cak Nun (bukan Cak Nur, lho !), orang mengutuk-ngutuk KKN, padahal
intinya "Kapan gue yang dapet giliran KKN ?". Si Jaya ini mentang-mentang punya ilmu kelirumologi, terus main pleset-plesetan. Lagipula itu, kata "pemerintah" yang sudah ratusan tahun mapan kok mau diganti abdi rakyat, piye tho? Padahal si Jaya betul. Nah, lho ?!

(Wis lah, ntar kalau ada waktu luang tak sambung lagi)

No comments: