Saat pertama kali 'mencicipi' nginap di hotel yang lumayan berkelas (entah bintang satu, dua, tiga atau bintang tujuh, nggak ngeh .. yang jelas, nginepnya ada yang nyeponsorin), ketika masih usia belasan dulu, saya sempet diledekin habis-habisan sama temen. Pertama ketika saya kebingungan nyari gayung waktu mau mandi. Kedua saat saya bilang mesti menghabiskan waktu sejam lebih sekedar untuk buang hajat di atas closet duduk.
"Dasar wong ndeso ! Ya .. begini inilah yang namanya standar internasional," kurang lebih begitu semprotan temen saya waktu itu.
Karena takut dibilang 'wong ndeso' lagi, waktu giliran makan pun terpaksa saya bergaya seolah menikmati dan tidak terjadi apa-apa. Hasrat nanya oseng-oseng pun saya pendam jauh di lubuk hati. Padahal, suwer, lidah dan perut saya penginnya berontak karena sudah telanjur nyetel sama jenis masakan seperti oseng-oseng ataupun nasi pecel.
Meski sambil nyimpan rasa dongkol .. bagaimanapun harus saya akui temen saya itu betul, bahwa saya "wong ndeso". Dan otak ndeso itulah yang terus bertanya-tanya sambil ngedumel. "Mbah-mbah dulu pada kemana sih .. waktu rapat netepin 'standar internasional' apa nggak pada dateng ?"
Itu cerita tentang ke-ndeso-an dan ketololan saya dulu. Apakah sekarang saya nggak ndeso dan tolol lagi ? Nggak lagi sepenuhnya. Paling tidak, yang nampak di luar saya nggak lagi ndeso dan tolol. Saya mulai bisa makai setelan jas lengkap dengan dasi, dan menyingkirkan keinginan pakai batik atawa sorjan. Ngomong pun saya mulai terbiasa memakai istilah asing.
Tapi itu yang di luar lho .. Yang di dalem, ternyata saya tetep saja ndeso .. dan tolol. Yang di dalem sini .. otak dan hati saya ternyata teteplah otak dan hati yang ndeso. Diam-diam saya masih mengagumi sikap Iwan Fals dulu yang menolak 'go international' kalau mesti bawain lagu ngInggris. "India bisa, kenapa kita nggak ?!" begitu alasan doi kala itu. Juga .. ternyata saya kangen sama Totok Tewel cs dari group Elpamas yang manggung 'sarungan' sambil nyanyi lagu-lagu Hard Rock. Juga .. ternyata saya masih demen lantunan suara Waljinah. Juga .. ternyata saya masih hobi ludruk sama ketoprak. Juga .. ternyata saya diam-diam mengagumi Siti Nurhaliza.
Lho .. apa hubungannya Mbakayu Siti dengan ndeso dan nggak ndeso ?
Sejarah peradaban dan budaya manusia adalah hamparan cerita soal pinjem-meminjem, soal cerita pengaruh-mempengaruhi. Dan memang begitu itulah yang alami, sesuai sunnatullah. Manusia yang satu selalu butuh manusia lain, satu komunitas butuh komunitas lain. Ketika kita ngomong tentang 'budaya asli bangsa', saya jamin, kita bakalan blingsatan mengurai dan menjelaskan apa itu 'budaya asli bangsa'. Karena sejarah budaya bangsa kita pernah bersentuhan sangat erat dengan budaya Hindi, dan pada periode berikutnya dengan budaya Arab, di susul kemudian budaya Eropa, terus yang mutakhir budaya Barat (Amerika dan
Eropa). Saat kita ngomong 'budaya Jawa', apa itu 'budaya Jawa', batasannya apa, kayak mana kriterianya ? Belum lagi kalau ngomong 'budaya Indonesia'. Jangankan ngomong tentang interaksi suku-suku bangsa dalam keluarga besar Nusantara yang kemudian membentuk 'budaya Indonesia', lha wong kata 'Indonesia' itu sendiri nggak dibikin oleh Mbah-mbah kita.
Jadi ? .. Kalau nggak mau mumet .. ya jangan ngomong 'budaya asli'. Mending kita sikapi bahwa setiap perubahan budaya yang merupakan hasil proses persentuhan antara budaya itu, sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja. Jangan mau pula jadi orang ndeso .. kayak saya. Jadilah orang modern dengan mengikuti standar modernitas.
Nyindir ? Nggak salah kalau ada yang nebak demikian. Dalam banyak hal, saya memang memilih untuk tetap ndeso. Akal dan hati saya terlalu sulit dibohongi untuk menerima standar modernitas sebagai sesuatu yang alami. Artinya, bahwa yang alamiah itu hanya sebagian, di samping faktor-faktor lain yang ditentukan oleh kekuatan, baik berupa uang, senjata dan penguasaan akses ke media. Akal dan hati saya juga berkata, bahwa ada ideologisasi di balik uang dan senjata itu. Ada pula identitas di dalam ideologi. Dan .. secara alamiah .. bakalan ada
resistensi terhadap identitas dan ideologi yang meng-hegemoni.
Saya memilih tetap ndeso, ketika mengagumi Siti Zurhaliza yang mempertahankan identitas Melayu-nya sembari menyanyikan nada-nada pentatonis dan diatonis. Dan saya tidak perlu merasa malu untuk bilang .. "Makasih Mbak Siti .. "
4 Agustus 2003
Selamat datang, sugeng rawuh ..
Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..
Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik" 
Custom Search
Wednesday, June 18, 2008
Rengeng-rengeng : Makasih Mbak Siti ..
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment