Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Wednesday, June 18, 2008

Rengeng-rengeng : Oh .. Bunga!

Bunga itu katanya lambang keindahan. Rumah akan terasa begitu gersang tanpa kehadiran bunga, baik di halaman maupun di dalamnya, baik bunga betulan maupun imitasi. Bunga juga bisa jadi lambang perempuan, lambang kecantikan. Makanya dalam cerita-cerita silat kita kenal julukan "Pendekar pemetik bunga". Selain itu bunga tertentu dikenal sebagai simbol cinta, juga sebagai simbol romantisme. Makanya kita kenal istilah "Say it with flower!"

Jika hari-hari belakangan di berbagai media ramai perbincangan tentang bunga, namun dalam nuansa yang penuh kegerahan, itu pasti bukan tentang bunga-bunga seperti disinggung di atas. Ini memang tentang bunga yang disabdakan para maha resi, para person tempat bermuaranya segala ilmu dan kebijaksanaan, yang tergabung dalam "paguyuban" Majelis Ulama Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, oleh para resi bunga itu dinyatakan HARAM. Barang yang dinyatakan haram itu bisa disetarakan dengan najis. Barang kotor yang mesti dijauhi, atau harus dibasuh bersih-bersih jika telanjur nempel di badan maupun pakaian. Dalam khasanah tasawuf, barang haram jika dimakan akan menjelma jadi bagian darah dan daging, yang selanjutnya akan bisa membuat pikiran dan hati orang yang memakannya menjadi kotor. Tapi jangan keburu gusar dulu pada para resi itu, karena toh yang mereka haramkan hanya bunga bank. Dan tentunya bank di sini bukan dalam konteks seperti bank Samiun, bank Udin, bank Amat, atau apalagi bank ... shut ..

Ulama adalah panutan umat. Tidak sembarang orang bisa mendapat gelar ulama. Ada persyaratan sangat berat untuk menyandang gelar itu. Keilmuan sudah pasti jadi prasyarat utama, disusul keteladanan dan seterusnya. Seorang Nurkhalish Madjid pun yang notabene ilmunya sangat mumpuni tidak ada yang minat memberinya gelar ulama. Tidak juga Gus Dur, Amin Rais, Syafii Maarif, Jalaluddin Rakhmat atau -apalagi- Sutan Sabri .. Logikanya, orang yang menyandang gelar ulama pasti lebih mumpuni ketimbang orang-orang yang saya sebut itu. Dan mereka yang duduk dalam mejelis itu, yang dinamai Majelis Ulama Indonesia, pasti orang yang sudah pantas menerima gelar tersebut, minimal merasa pantas karena buktinya sudah ada
dan cukup betah di sana.

Kita -sebagai umat- tidak perlu mempertanyakan lebih jauh apapun yang difatwakan oleh beliau-beliau itu. Kita harus ber-husnuzhan (berprasangka baik, berpikir positif), bahwa apapun yang dilakukan oleh para maha resi itu semata-mata demi kemaslahatan umat Islam pada khususnya, serta bangsa dan negara Indonesia pada umumnya. Jangan berani mereka-reka apa yang ada di balik fatwa ulama! Segala sesuatu pasti sudah dipikirkan masak-masak dari berbagai macam seginya. Kita juga tidak perlu repot-repot melihat kembali sifat-sifat riba yang dijalankan
oleh para Yahudi di masa Rasulullah di bandingkan dengan bunga bank di masa sekarang, karena pasti para resi itu lebih tahu. Kita juga tidak perlu capek berfikir soal angka inflasi, kepercayaan-ketidakpercayaan, faktor resiko, bagi hasil resiko dan konco-konconya, karena semua itu sudah diambil alih Majelis Ulama. Kita -sebagai umat- seyogyanya tinggal manut dan ngambil enaknya saja. Juga, sebaiknya kita lupakan orang yang mengatakan bahwa "Bank syariah dengan bank konvensional itu tinggal ditukar istilah 'bunga' dan 'bagi hasil', maka nanti akan kelihatan sama saja." Jangan, sekali-kali jangan! Tidak mungkin bank syariah sama dengan bank konvensional. Lebih baik kita laknat ramai-ramai saja orang yang berani mengatakan seperti itu, karena -sungguh!- itu merupakan pelecehan terhadap para ulama.

Sebaiknya, sehabis gajian sisihkanlah sedikit uang kita. Kita beli sempritan (peluit) yang banyak dijual orang di toko-toko. Kita harus manut dan menjadikan para ulama itu sebagai teladan. Untuk itu mulai sekarang kita harus belajar supaya kelak biasa dan pintar "nyemprit".

Batam, 23 Des 2003

No comments: