Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Monday, September 1, 2008

Paijo : Fitrah

Sambil nyantai di belakang rumahnya, Paijo nampak larut melihat anak-anak tetangganya yang sedang bermain-main. Anak-anak itu ributnya bukan main. Kadang-kadang pada tertawa, kadang ada juga yang marah, cemberut bahkan menangis. Namun tangis dan kemarahan itu tidak bertahan lama. Dalam sekejap sudah berubah kembali menjadi tawa.

"Heh ! ngelamun sambil senyam-senyum sendiri. Kayak orang gila !" tiba-tiba Dini sudah nongol di samping Paijo sambil menepuk punggung kakaknya.

"Huh, si centil ini bikin kaget aja, aku cubit nanti ! Eh, tadi bilang apa, kayak orang gila ? Biarin kayak orang gila, daripada kayak orang waras, wek !" kata Paijo sambil meleletkan lidah.

"Dasar orang gila, gilapun masih bangga !"

"Lho, tadi bilangnya kayak orang gila, kok sekarang ganti ?"

"Biarin .. emang gila beneran kok .. ngelamun, senyam-senyum sendiri, sampai aku udah di sinipun nggak tahu !" Dini mulai sewot.

"He .. he .. sorry, aku baru asyik nih, in trance !" kata Paijo dengan gaya khasnya, cengar-cengir.

"Asyik apaan ? .. oh .. aku tahu .. pasti sedang kesengsem sama cewek nih !"

"Nggak kok, bukan ngelamunin cewek !"

"Udah deh, pake malu-malu segala .. kan asyik kalau aku bisa segera punya kakak ipar. Tambah satu lagi yang bisa diajak berantem."

"Enak aja, emang kakak ipar cuman mau diajak berantem ? .. sudah kubilang enggak, ya enggak. Kalaupun misalnya, misalnya nih ya .. bener, aku juga belum merasa siap kok !"

"Siap apaan ? sini aku siapin .. siaaaapp .. geraaak !"

"Huh, dasar anak centil."

"Biarin centil, wek ! Daripada kamu, masak cowok sudah setua ini merasa belum siap. Cowok apaan tuh ?"

"Cowok merdeka he .. he .. !" lagi-lagi Paijo menjawab sambil cengar-cengir. "Udah enak-enak merdeka gini .. kok tiba-tiba mesti masuk penjara .. aku belum siap !"

"Eeeh, sembarangan ngomong ! Emang siapa yang mau masukin penjara ?"

"Bukan sembarangan ngomong, ini serius ! Aku nggak mau menjalin hubungan sama cewek sekedar untuk kesenangan aja. Aku maunya kalau menjalin hubungan ya .. yang serius .. ada orientasi yang jelas yang mengarah ke rumah tangga."

"Jadi, di mana penjaranya ?"

"Ya .. rumah tangga itu kan penjara !"

"Dasar orang gila ! kedengaran Ibu bisa dijewer kamu !"

"Nggak bakalan."

"Kok bisa ?!"

"Justru, selama ini yang aku tunggu-tunggu, yang aku cari-cari, cewek yang punya konsep, punya pandangan terhadap rumah tangga seperti Ibu !"

"Konsep kayak apa ?"

"Konsep bahwa hubungan rumah tangga, hubungan suami-istri itu bukan saling memiliki, namun partnership !"

"Masak sih Ibu pernah bilang begitu !"

"Iya, dulu Ibu pernah bilang seperti itu sama aku. Ibu bilang, kalau hubungan suami-istri itu dasarnya saling memiliki, maka rumah tangga tidak akan pernah tenteram. Karena dari rasa memiliki itu akan timbul rasa berhak menentukan, membatasi apa-apa saja tentang obyek yang dimiliki."

"Rasa memiliki itu kan wajar !"

"Iya, aku pun pernah membantah seperti itu sama Ibu .. tapi, ternyata di balik keluguan dan kesederhanaan Ibu ada sesuatu yang benar-benar sangat mengagumkan!"

"Apa itu ?"

"Ibu bilang, bahwa Ibu itu nggak pernah merasa memiliki Bapak, dan sebaliknya Bapak juga nggak merasa memiliki Ibu. Kita, kata Ibu, bukan milik siapa-siapa, bukan pula milik diri kita sendiri. Tapi kita, adalah milik Gusti Allah !"

"Ini sih benar, tapi apa hubungannya dengan rumah tangga ?"

"Hubungannya kan sangat jelas, karena yakin kita semua, termasuk Bapak itu hanya milik Gusti Allah, maka Ibu nggak pernah membatas-batasi Bapak. Ibu membebaskan semua apa yang Bapak mau lakukan, selama itu nggak melanggar kehendak Allah, nggak menabrak sunnatullah, seperti yang kita obrolin kemarin, juga nggak mengabaikan hak istri dan anak-anaknya."

"Itu sih ideal banget. Masak sih, kita bisa seperti itu ?"

"Yang ideal itu cakrawala. Ke sana langkah mesti kita arahkan. Sampai seberapa mampu kita mendekati cakrawala, itu bukan urusan kita. Kewajiban kita hanya menempuh langkah ke sana, Gusti Allah juga nggak mewajibkan kita untuk sampai ke cakrawala."

"Kumat Deh !"

"Ibu pun tidak sepenuhnya berhasil dengan konsepnya itu. Sesekali timbul juga rasa cemburu, curiga terhadap Bapak. Namun semuanya bisa Ibu atasi, karena lebih dari apapun Ibu lebih percaya pada Gusti Allah, pada kekuatan doa, dan pada diri Ibu sendiri. Apa nggak hebat orang seperti Ibu ini ?"

"Ya .. muji Ibu sendiri sih .. agak nggak enak .. tapi kok bisa ya Ibu punya pandangan seperti itu ? Padahal dulu Ibu sekolah hanya sampai SR ?"

"Itu yang dinamakan 'local wisdom' !" sahut Paijo. "Hikmah itu tidak melulu didapat dari bangku sekolahan. Pengajaran di sekolah hanya salah satu sumber, ia tetap tidak akan pernah menjadi hikmah sebelum diolah oleh diri si penerima. Lain halnya dengan orang yang mampu mengoptimalkan potensi dalam dirinya, nalarnya, batinnya untuk menyerap sumber dari manapun, terutama sumber yang bertebaran di seluruh pelosok semesta, yang dalam bahasa agama disebut dengan ayat kauniyah. Termasuk jerawatmu itu juga ayat kauniyah !"

"Kurang ajar !" Dini mencubit lengan Paijo.

"Waduh .. ampun .. ampun .. lepasin dong !"

"Biar kapok ! .. makanya jangan berani-berani masuk ke area yang sensitif ya ?!" hardik Dini sambil berkacak pinggang.

"Ya deh .. sampe mana tadi ? oya, soal ayat kauniyah. Makanya Din .. kita kan kadang ketemu sama orang yang pendidikannya pas-pasan tapi memiliki hikmah yang jauh melampaui teori. Sebaliknya ada orang yang pendidikannya tinggi, namun pintarnya hanya menjiplak-jiplak teori, sedangkan nalarnya dangkal banget. Juga ada orang yang cuman tahu ayat Al-Fatihah, tapi perilakunya lebih baik, lebih lurus dari orang yang hapal ribuan ayat dan hadits."

"Kok, jadi nyrempet ke situ ?"

"Iya .. ya ? he .. he .. tanggung deh, aku lanjutin dikit .. kan, dalam beragama itu dikenal dua macam jalan, dua macam konsep, teosentris dan anthroposentris."

"Teosentris ? hm ... berpusat pada Tuhan .. anthroposentris ? .. berpusat pada manusia .. " komentar Dini setengah bergumam.

"Itu cuman istilah, kita bisa pake istilah lain, top-down dan bottom-up, atau apapun .. yang jelas teosentris itu sifatnya doktrinal, sedangkan anthroposentris adalah pencarian, termasuk 'local wisdom' itu tadi salah satunya."

"Apa dua konsep itu nggak berbenturan ?"

"Tentu saja pada titik tertentu terjadi benturan .. orang yang konsep beragamanya teosentris atau lebih berat ke teosentris cenderung mengabaikan benturan ini, dan menundukkan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari nalar ke bawah doktrin. Sedangkan anthroposentris, berusaha mewadahi benturan ini yang kemudian memungkinkan lahirnya multi-interpretasi, pluralitas dan toleransi. Dari sinilah kemudian muncul sikap bahwa beragama itu, hubungan manusia dengan Allah itu sangat pribadi, dan tidak boleh dipaksakan oleh orang lain atas nama
apapun dan siapapun."

"Huu.. kok jadi ngelantur jauh sih .. la wong tadi aku cuma nanya soal ngelamunnya kok ?"

"Kamu juga .. ngapain aku ngelantur didiemin aja .."

"Eh, tadi ngelamunin apa sih ?"

"Itu lho Din, aku kok seneng banget lihat anak-anak pada main. Asyiknya .. main .. marah .. berantem .. nangis .. eh, main lagi .. ketawa-ketawa lagi .."

"Waaa... itu mah biasa, tiap hari juga kita liat anak-anak kayak gitu !"

"Biasa buat anak-anak, tapi tidak biasa buat orang dewasa !"

"Maksudmu ?"

"Ya .. anak-anak itu kan meski habis marahan, habis berantem, sakit hati nggak ada, dendam nggak ada .. Sedang orang dewasa .. marahannya semenit, sakit hatinya bisa setahun .."

"Ya lain dong, masak orang dewasa dibandingin sama anak-anak !"

"Ya .. itu juga termasuk ayat kauniyah .. aku jadi lebih paham tentang fitrah," Paijo terus ngoceh. "Makin tumbuhnya anak-anak, makin redup fitrahnya .. tiap bayi memang dilahirkan dalam keadaan suci."

"Tapi ada juga lho yang mengatakan tiap manusia lahir sudah membawa dosa .."

"Itu bukan urusanku .. orang mau percaya yang seperti itu .. biar saja, hak mereka .. nggak usah kita recokin .. aku ngomong dalam konteks yang aku percayai, yang sesuai dengan nalarku .. "

"Trus .. ?"

"Kamu inget A-Heng ?"

"Ya .. anak Cina tetangga kita dulu .. kenapa ?"

"Kamu inget kan, dulu waktu kecil aku sama dia berteman akrab. Dia sering main ke rumah kita, akupun sering main ke rumahnya. Tapi, makin kita tumbuh besar, keakraban kita makin merenggang. Apalagi waktu sudah sama-sama SMP, jarak hubungan kita macem anak yang belum pernah akrab sebelumnya."

"Kenapa bisa begitu ya ?"

"Dulupun aku bertanya-tanya seperti itu .. tapi, makin paham aku soal fitrah, makin bisa kutemukan jawabannya .."

"What's that ?"

"Karena waktu kecil, kita relatif lebih murni, lebih bersih dari segala macam polusi. Polusi yang berasal dari tiap-tiap kotak. Polusi itu yang akhirnya jadi sekat-sekat yang memaksa kita menjadi renggang. Mungkin kita tidak menginginkan hal seperti itu, namun terkadang kondisilah yang memaksa."

"Trus .. ?"

"Aku cemburu dengan anak-anak itu, belum terjebak dalam kotak-kotak .. tertawanya .. marahnya .. nangisnya .. jujur, apa adanya .."

9 Februari 2002

No comments: