Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Monday, September 1, 2008

Paijo: Kebebasan

Teman-teman Paijo selama ini mengenal bujangan amburadul itu bukanlah seorang yang cengeng. Paijo adalah pendekar tanpa padepokan yang mempelajari berbagai ilmu dari bermacam-macam guru. Ia tak pernah belajar satu jurus secara khusus, namun mempelajari banyak jurus yang kemudian dirangkainya sendiri menjadi jurus "sluman slumun slamet" yang keampuhannya setara dengan Sasra Birawa-nya Mahesa Jenar. Jelas semua pada heran melihat Paijo satu jam lebih menangis sesenggukan di dalam kamarnya malam itu.

Rakhmat, Budi, Sentot dan Blothong hanya bengong di depan pintu kamar sambil sesekali berbisik-bisik di antara mereka. Tampaknya mereka kebingungan, bagaimana menanyai Paijo tentang sebab-musabab pendekar gendheng itu menangis. Sedang asyik-asyiknya saling mendorong pantat satu sama lain tiba-tiba Paijo menoleh. Tak berapa lama keluarlah jurus pembuka, "semburan ulo kepedhesan".

"Ngapain kalian di situ, Emang aku tontonan apa ? kalian belum pernah di emut kambing, ya ?" hardik Paijo sambil memelototkan mata.

"Jo .. sabar Jo, jangan marah dulu," Rakhmat coba menjelaskan. "Kita di sini cuman prihatin melihat kamu sesenggukan kayak gitu."

"Bah, jadi kalian kira aku nangis biar membuat kalian prihatin ? Gundhul mu amoh ! Aku nangis ya karena pengin nangis aja. Nggak ada urusan kalian mau prihatin, priyadi atau priyono !"

"Bukan begitu Jo, kita kan temenmu. Nggak biasanya kamu nangis kayak gitu. Kalau kamu punya masalah , kali aja kita bisa bantu. Tapi kalau nangismu cuman karena abis nonton pelem India, ya udah, lanjutin sono nangis sampe 1001 malam," kali ini Blothong yang menjawab.

Pendekar kita itu mulai agak adem. Paijo beringsut lantas duduk bersila. Mimik wajahnya berubah menjadi tenang dan serius. Tangan kanan di silangkan di perut dan tangan kiri memegangi dagu, persis seperti Fabio Capello kalau sedang mengawasi pasukannya berlaga di lapangan.

"Kalian tahu kenapa aku menangis ?" tanya Paijo. Suaranya pelan dan bergetar, mengandung wibawa yang bisa membuat seorang Wiro Sableng pun menjadi lemas.

Temen-temen Paijo hanya menggeleng.

"Aku nangis karena .. dari mataku keluar air ha..ha..ha.." kata Paijo sambil cekakan. Sekarang ia cengar-cengir melihat temen-temennya pada dongkol. Luar biasa memang makhluk satu ini, hanya dalam waktu kurang dari 5 menit dia bisa menampilkan tiga macam wajah yang sama sekali berbeda.

"Raimu Jo ! Sejak mbahmu belum lahir yang namanya nangis itu ya matanya ngluarin air," sahut Budi sambil menendang kaki Paijo. Jadilah mereka semua cekakan bersama-sama.

"Tunggu-tunggu, sekarang serius. Aku mau beritahu kalian kenapa aku menangis," Paijo menghela nafas lantas diam sejenak.

"Udah cepetan ngomong, emangnya kita cuman ngurusi makhluk gendheng macam kamu," Blothong coba mendesak Paijo.

"Besok tanggal berapa ?" tanya Paijo.

"Tanggal 17," Sentot yang menjawab.

"Tanggal 17 Agustus itu hari apa ?" tanya Paijo lagi.

"Lah, anak SD juga tahu Jo, kalau tanggal 17 Agustus itu hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Kayak gitu ditanyain, mentang-mentang nanya nggak kena pajak," lagi Blothong yang menjawab dengan sengit.

"Sudah 56 tahun bangsa kita merdeka. Merdeka itu artinya bebas. Bebas dari penjajahan, perbudakan. Bebas menentukan langkah-langkah sendiri. Bebas merancang masa depan sendiri. Bebas menganut sistem nilai sesuai pilihan sendiri, dan seterusnya," Paijo mulai ngoceh sambil menerawang ke langit-langit. "Tapi selama itu pula, kita belum pernah benar-benar merdeka. Kita hanya lepas dari satu penjajah untuk jatuh ke tangan penjajah yang lain. Yang menyedihkan,
penjajahan itu dilakukan oleh sebagian anak bangsa sendiri. Baik penjajahan tingkat nasional, maupun lokal. Itulah yang membuat aku menangis."

Sejenak suasana menjadi hening, sampai ketika Rakhmat buka suara.

"Jadi selama ini kamu belum merasa bebas, Jo. Apa kamu pengin kebebasan mutlak, bebas sebebas-bebasnya ?"

"Kebebasan mutlak tidak akan pernah ada. Manusia terikat pada keterbatasan, baik pada ruang, waktu maupun makhluk serta manusia lain. Sebebas-bebasnya manusia, ia akan tetap terbentur pada keterbatasan itu."

"Nah, jadi buat apa kamu nangis. Toh yang kita butuhkan kebebasan tapi yang bertanggung jawab," kali ini Sentot menimpali.

"Kebebasan dan tanggung jawab itu satu paket. Dari segi bahasa kata "kebebasan yang bertanggung jawab" adalah pemborosan. Sedang dari segi makna, kebebasan yang bertanggung jawab adalah omong kosong. Bebas itu dengan sendirinya selalu diikuti tanggung jawab, dan tanggung jawab tidak bisa dituntut pada orang yang tidak pernah bebas."

"Kamu ngomong apa kentut sih Jo ?" Blothong memotong.

"Aku serius. Kebebasan tidak dipisahkan dari tanggung jawab. Tapi ketika kata "kebebasan" dan "tanggung jawab" disatukan menjadi kata "kebebasan yang bertanggung jawab" yang terjadi adalah pengekangan kebebasan itu sendiri. Karena kata tersebut bisa diinterpretasikan seenak udel setiap orang. Yang repot jika penginterpretasian itu dilakukan oleh pihak yang kuat dan dipaksakan pada pihak yang lebih lemah. Oleh penguasa terhadap rakyat, ulama terhadap umat, oleh suami terhadap istri, orang tua terhadap anak, dan sebagainya."

"Tunggu, tunggu dulu Jo," ganti Rakhmat yang memotong. "Bukankah di semua negara, bahkan masyarakat, tetap saja ada perangkat-perangkat aturan yang mengikat, yang dengan sendirinya berarti juga pembatasan terhadap kebebasan."

"Adanya aturan-aturan tetap tidak bisa dihindari. Yang menjadi masalah adalah bagaimana proses lahirnya aturan-aturan itu ? Apakah ia sesuatu yang disepakati bersama, atau setidaknya disepakati oleh sebagian besar orang ? Kemudian apa yang menjadi dasar lahirnya aturan-aturan itu ? Hasil pemikiran yang mendalam serta mengikuti dinamika perkembangan jaman, ataukah warisan masa lalu yang disakralkan, kemudian dipaksakan untuk dianut oleh semua orang pada masa sekarang ?" kata Paijo sambil sesekali menyibakkan rambut gondrongnya yang
membuat tak satupun orangtua berminat mengambilnya sebagai menantu.

"Wah, mumet aku Jo," kata Blothong. "Kamu ini bukannya njelasin malahan balik nanya. Udah deh jelasin aja, pusing aku .. pusing .. "

"Itu cuman sebagian kecil pertanyaan. Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang bisa kulontarkan. Mengapa mesti alergi dengan pertanyaan ? Bukankah dengan bertanya membuat kita makin kreatif, makin tertantang untuk mengoptimalkan nalar yang sudah dianugerahkan Tuhan ? Dan kamu .. " akhirnya Paijo menunjuk Blothong, "Kapan kamu bisa maju kalau terus minta dicekokin, bukannya mikir sendiri."


17 Agustus 2001

No comments: