Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Monday, September 1, 2008

Paijo: Kotak-Kotak

Setengah berteriak Blothong berkata pada Budi yang baru datang, "Bud, ada film bagus."

"Film apaan?" tanya Budi.

"Itu tuh, film yang dulu pernah diputer TVRI, judulnya "Kungfu, The Gendheng Continue."

"Ah, main plesetan lagi. Statiun televisi mana yang mau muter film itu. Emangnya anak-anak sekarang bisa sabar ngikuti film yang berat dan sarat nilai filosofis kayak gitu ?" kata Budi serius.

"Ada .. itu TPI alias Televisi Pa Ijo, he .. he .. ," jawab Blothong sambil cekikikan.

"Raimu thong ! lha tiwas aku serius."

"Hey, ada apa sih ribut-ribut ? ngganggu orang tidur aja," Rakhmat terbangun sambil mengucek matanya. Sementara Paijo dari tadi asyik membaca buku, seakan tidak mendengar sama sekali ribut-ribut temannya.

"Itu Mat, si Blothong. Panas-panas gini main plesetan, katanya ada film, apa tadi judulnya ?" kata Budi.

"Kungfu, The Gendheng Continue he .. he.. ," Blothong mengulangi.

"Sopo sing main kungfu, Thong. Sopo sing gendheng ?" tanya Rakhmat sambil menahan jengkel karena tidurnya terganggu.

"Itu si Paijo yang main kungfu, Paijo sing gendheng-nya continue .." kata Blothong sambil menunjuk Paijo. Yang ditunjuk tetap cuek sambil membaca buku.

"Apanya yang gendheng, lha sedang manis baca buku gitu kok," Rakhmat balik rebahan lagi.

"Lihat tu, di dinding sebelah sono. Kemarin abis nempel poster Osama, hari ini dia nempel tulisan. Rak gendheng-nya continue to ?" Blothong menunjuk ke dinding yang ada tempelan tulisan.

Budi mendekati tulisan itu, kemudian membacanya, "KETIKA SAYA CERITA, SAYA BANYAK MENOLONG ORANG MISKIN, MAKA ORANG BILANG SAYA ORANG SALEH, NAMUN KETIKA SAYA BICARA MENGAPA ORANG MENJADI MISKIN, MAKA ORANG MENUDUH SAYA KOMUNIS."

"Jo, kata-kata ini dapet darimana ?" tanya Rakhmat setelah ikut membaca.

"Dapet dari temen, itu kata-kata seorang rohaniawan yang aku ambil sarinya," jawab Paijo sambil meletakkan bukunya.

"Siapa rohaniawan itu Jo ?" tanya Rakhmat lagi.

"Kalau aku kasih tau pun mungkin kalian nggak kenal, lha wong aku sendiri juga nggak kenal," jawab Paijo sambil nyengir. "Lagian .. nggak terlalu penting siapa yang ngomong."

"Penting Jo !" sahut Budi,"Siapa yang ngomong itu bisa jadi bobot ukuran omongan itu. Semacam legitimitas lah."

"Cari aja sendiri. Kamu kan bisa nanya sama temen-temenmu di kampus. Ntar kalau udah ketemu, emploken legitimitas itu. Kalau aku sih milih ikut nasihat sayyidina Ali, jangan lihat siapa yang bicara, tapi lihat apa yang dibicarakan."

"Ya hancur Jo kalau kita nggak lihat siapa yang ngomong. Bukankah kita harus hati-hati menerima informasi ?" kata Budi sambil balik bertanya.

"We alah, mahasiswa kok nggak bisa mbedain kapan saatnya harus lihat yang ngomong, kapan saatnya nggak perlu. Kalau tentang berita, betul kita harus hati-hati dan lihat orangnya, Allah pun memerintahkan demikian, tapi kalau non berita yang kita perlukan adalah obyektivitas. Dengan melihat orang yang ngomong justru akan mengubur obyektivitas itu," jawab Paijo.

"Uwis .. uwis .. soal siapa yang ngomong, soal obyektivitas kita tunda saja. Sekarang tugas Paijo menjelaskan apa maksudnya nempel tulisan itu," Rakhmat menyela.

"Masak dari kemarin aku ditanya maksud terus, emangnya nggak capek njelas-njelasin ?" Paijo coba mengelak.

"Lha bukankah sudah jadi kesepakatan kita. Bahwa segala sesuatu yang dilakukan di kamar ini harus jelas maksudnya. Kalau nggak mau menjelaskan ya sudah, aku lepas tulisan itu," jawab Rakhmat setengah mengancam sambil bangun dari tempat tidur.

"Ya .. ya .. aku jelaskan, tapi jangan dilepas tulisannya," Paijo bergegas memegangi lengan Rakhmat.

"Nah gitu dong, itu baru namanya Paijo, The most atractive man of Indonesia he .. he.. ," Blothong cekikikan.

"Sebenarnya apa sih yang perlu dijelaskan dari tulisan itu, lha wong sudah jelas kayak gitu."

"Maksudmu Jo .. sekali lagi maksudmu. Kalau cuman menyampaikan toh kamu bisa pakai cara lain, nggak harus ditempel, apa masih sama dengan misi yang kemarin, mau mengingatkan ?" kata Rakhmat.

"Nggak salah."

"Terus .. apa yang mau kamu ingatkan kali ini ?" tanya Rakhmat lagi.

"Tentang bahayanya pemberian label pada seseorang, hanya berdasarkan informasi yang sepotong-sepotong, atau hanya berdasarkan sepotong hasil pemikiran tanpa mengaitkannya dengan keseluruhan pemikirannya secara utuh."

"Apa yang aneh Jo, bukankah yang kayak gitu udah biasa terjadi ?" Blothong ikut nimbrung.

"Apakah kalau udah biasa lantas berarti benar ? Apakah kita harus ikut arus begitu saja ?" Paijo balik bertanya.

"Ya nggak .. tapi kalau udah menjadi kebiasaan yang dianut sedemikian banyak orang kan .. susah," kata Blothong lagi.

"Susah atau nggak adalah perkara lain. Ini adalah perkara cara kita memposisikan diri di tengah-tengah arus yang demikian."

"Lantas gimana caranya, Jo .. jangan asal njeplak lho ya," Blothong bertanya lagi sambil pura-pura melotot.

"Caranya, kita lihat dulu latar belakangnya, penyebabnya, kenapa kebiasaan seperti itu bisa terjadi. Setelah penyebab ketemu, baru bisa kita pasang tameng agar 'virus' kebiasaan itu tidak menyerang kita."

"Jadi, apa penyebabnya menurutmu. To the point saja, jangan bertele-tele, biar aku bisa cepat tidur lagi," kata Rakhmat.

"Karena manusia sudah terkotak-kotak."

"Yang kotak-kotak kan katokmu, Jo .. manusia kok terkotak-kotak, piye to ? .. awas, kalau asal njeplak, aku timpuk pake sendal jawa !" Blothong menyahut.

"Lho,aku nggak asal njeplak. Apa kamu nggak sadar, kalau selama ini kita dikondisikan untuk menghuni kotak tertentu, apa nggak sadar, hampir tiap hari kita dijejali informasi tentang pengkotak-kotakan orang. Oh, si A kotaknya ini, si B kotaknya itu."

"Kamar maksudmu ? betul itu .. kamar kita emang bentuknya kotak," Blothong menjawab sambil cengingisan.

"Wo .. cah menyun .. Kotak itu metafor."

"He .. he .. ngerti Jo .. aku kan cuman nggodain kamu. Santai dikit kenapa sih, sejak kapan Paijo jadi manusia serius ? Lanjut Jo !" kata Blothong.

"Nah, Kotak-kotak itu bisa juga berarti pemikiran-pemikiran, bahkan juga sekte-sekte dalam agama."

"Kotak-kotak itu kan sesuatu yang niscaya, Jo. Kita nggak akan bisa lepas dari kotak-kotak. Bukankah kita juga harus memberi identifikasi tertentu untuk satu corak pemikiran," Budi coba menjawab.

"Sampai di situ adanya kotak-kotak nggak ada masalah," Paijo melanjutkan. "Masalah mulai timbul ketika kita sudah menarik garis tegas sebagai pemisah antara kotak-kotak. Dan itu akan lebih parah jika diikuti anggapan kotak kita selalu benar dan kotak lain salah semuanya."

"Tapi kan memang seharusnya begitu. Ketika kita menghuni suatu kotak, tentunya diikuti keyakinan bahwa kotak kita benar. Kalau yakin kotak kita salah, pasti kita nggak mau di situ," komentar Budi lagi.

"Itu betul. Tapi ingat, kebenaran manusia itu kebenaran relatif. Maksudku, kebenaran kita tidak lepas dari keterbatasan kita."

"Oh .. jadi masalah sebenarnya menurutmu bukan pada kotak-kotak itu, tapi cara menyikapinya ?" tanya Rakhmat.

"Yak, seratus buat Rakhmat," kata Paijo sambil mengacungkan jempol. "Cara menyikapi itulah yang sering merepotkan dan menjadi penghalang terciptanya suasana dialog yang sehat dan mencerdaskan. Yang sering terjadi ialah meletakkan kotak lain pada posisi 'the others'. Lebih parah lagi jika disertai aksi 'pembunuhan karakter' terhadap tokoh-tokoh dari kotak yang berbeda."

"Lantas ?" Rakhmat coba memancing Paijo agar melanjutkan, saat Paijo menghentikan omongannya.

"Lantas yang terjadi adalah saling hujat. Kalau sudah begitu dilanjutkan aksi boikot, ditambah lagi dengan larangan pada para pengikutnya agar tidak mengkonsumsi pemikiran dari tokoh-tokoh tertentu yang dianggap sebagai 'lawan'."

"Sepertinya .. ada indikasi ucapanmu itu tertuju pada gerakan keagamaan yang sekarang ini banyak digandrungi anak-anak muda ?" tanya Rakhmat lagi.

"Betul, dan hal itulah yang membuatku prihatin. Di satu sisi kita dilarang taklid dan harus bersikap kritis, tapi di sisi lain kita dihalangi untuk melihat 'dunia yang berbeda'. Bukankah itu sama saja dengan bilang, 'Jangan taklid, kecuali pada saya'. Kita dijejali doktrin, kita dikondisikan untuk menentukan mana 'kawan' dan mana 'lawan'. Bukannya diberi ruang untuk lebih mengembangkan dialektika batin kita dengan menggunakan seluruh perangkat yang telah Tuhan anugerahkan."

"Ya sudah, itu kan hak mereka masing-masing. Kalau kembali ke cara menyikapi, mestinya kamu nggak usah prihatin Jo," kata Rakhmat.

"Aku punya hak untuk prihatin, karena aku juga punya kepedulian. Lagipula toh aku hanya prihatin, bukannya mencela. Aku sadar di tengah situasi yang ruwet dan penuh ketidak pastian, gerakan keagamaan yang menawarkan kemudahan, jalan pintas serta kepastian seperti itu akan menjadi komoditi yang laris manis."

20 Oktober 2001

No comments: