Tujuhpuluh dua kepala yang sudah terpisah dari badannya ditancapkan ke ujung tombak. Masing-masing tombak dipegang oleh seorang prajurit dan diarak bersama kaum perempuan dan keluarga kepala-kepala yang terpenggal itu.
Cerita di atas bukan cuplikan naskah drama, meskipun ditanggung akan cukup memikat jika dipakai sebagai bagian dari naskah drama. Cerita di atas tertulis dalam kitab-kitab sejarah. Tujuhpuluh dua kepala yang dipenggal adalah kepala Husain bin Ali bin Abi Thalib yang diarak dari padang Karbala, tempat pembantaian mereka menuju Kufah, tempat kediaman gubernur Ibnu Ziyad. Peristiwa itu, menurut catatan sejarah, terjadi pada masa pemerintahan Yazid bin Mu'awiyah pada tanggal 10 sampai 12 Muharam yang kemudian diperingati sebagai hari Assyura, dan dikenal juga dengan tragedi Karbala.
Masih menurut catatan sejarah, seorang sahabat Nabi sampai menjerit ketika menyaksikan bahwa bibir yang diketuk-ketuk dengan tongkat oleh Ibnu Ziyad adalah bibir Husain, bibir yang sering dikecup oleh Rasulullah. Siapa yang sanggup tidak menangis melihat wajah yang dulunya begitu disayang oleh Rasulullah dihinakan sedemikian rupa.
Peristiwa Karbala adalah puncak polarisasi dua kubu kaum muslimin yang berseteru. Dua kubu yang di kemudian hari dikenal dengan nama (atau menamai dirinya) Ahlussunnah wal Jama'ah (sunni) dan Syi'ah. Peristiwa Karbala adalah "tinta hitam" dalam sejarah Islam yang sempat didahului oleh peristiwa "hitam" lainnya, sebut saja perang Jamal dan perang Shiffin, juga bahwa dari empat khalifah pertama, hanya Abu Bakar yang meninggal secara alamiah. Ada bermacam-macam ulasan berkaitan dengan peristiwa-peristiwa "hitam" dalam sejarah Islam itu. Salah satu versi menyebutkan, bahwa peristiwa-peristiwa itu kalau dirunut berasal sejak dari Saqifah Bani Sa'idah, tak lama setelah Rasulullah wafat.
Tragedi Karbala, menurut salah satu versi, adalah momen mengkristalnya Syi'ah menjadi satu madzhab tersendiri, terpisah dari madzhab mainstream (sunni). Syi'ah, kemudian berkembang dengan doktrin dan wataknya tersendiri. Husain seakan mewakili watak Syi'ah. Sikapnya yang tidak mau kompromi dan memilih menentang pemerintahan yang zhalim mewariskan watak revolusioner pada Syi'ah. Bandingkan dengan Ibnu Umar yang memilih berbai'at pada Yazid, yang di kemudian hari terumuskan menjadi salah satu doktrin Sunni "Lebih baik memiliki pemerintah yang zhalim daripada chaos". Sedangkan Syi'ah menganut prinsip taqiyyah
(menyembunyikan) untuk kemudian melawan jika memungkinkan.
"Buat apa sih kamu buka-buka lagi lembaran hitam kayak gitu Jo ?" tanya Budi.
"Buat apa ? ya .. biar sedikit banyak kita tahu, bahwa sejarah Islam itu nggak selamanya putih, mulus seperti gambaran yang sering kita terima selama ini."
"Lantas, apa manfaatnya coba ?" kejar Budi lagi.
"Yang jelas kan sejarah adalah bahan pelajaran buat kita menapak ke depan. Tapi kalau suruh nyebutin secara persis .. jujur saja, aku sendiri nggak tahu."
"Kalau nggak tahu, ya buat apa kamu buka-buka ?" Budi masih mengejar lagi.
"Bud .. " Rakhmat ikut nimbrung."Paijo nggak salah. Emang kita harus tahu juga lembaran-lembaran hitam dari sejarah Islam itu."
"Hore ... sang ustad udah angkat bicara," Blothong menyoraki.
"Selama ini kan kita selalu dijejali doktrin, bahwa masa terbaik adalah zaman sahabat, kemudian tabi'in, berikutnya tabi'in-tabi'in," kata Rakhmat yang pernah enam tahun nyantri itu.
"Itu kan sumbernya dari hadis Mat ?" tanya Paijo.
"Betul, aku nggak ingat persis hadis itu sanadnya sahih atau nggak. Tapi kalau dilihat matannya, kayaknya janggal. Lha darimana Nabi bisa menyebut generasi tabi'in dan tabi'ittabi'in itu. Istilah itu kan muncul belakangan. Sama kayak hadis tentang khulafa'ur rasyidin, padahal istilah khulafa'ur rasyidin itu baru lahir pada masa Umar bin Abdul Azis," jelas Rakhmat.
"Na itu .. Umar bin Abdul Azis. Beliau kan juga dikenal sebagai khulafa'ur rasyidin ke lima ?" tanya Budi.
"Ya, Umar bin Abdul Azis memang kekecualian dari daulah bani Umayyah. Beliaulah yang memerintahkan merehabilitasi nama baik Ali bin Abi Thalib dan keluarga beliau, mengakui bahwa Ali bin Abi Thalib adalah salah seorang dari khulafa'ur rasyidin. Sejak Mu'awiyah berkuasa, di tiap khutbah Jum'at khatib diharuskan mengutuk Ali dan keluarganya. Ketika Umar bin Abdul Azis memerintah, maka kutukan itu diganti dengan kutipan ayat 'Innallaha ya'muru bil adli wal ikhsan' .. dan seterusnya seperti tradisi yang kita kenal sampai sekarang ini."
"Mat, aku mau nanya," kata Budi."Kenapa kok peristiwa-peristiwa yang disebut Paijo tadi jarang muncul dalam pengajian, bahkan pengajian yang cukup intens sekalipun ?"
"Bud, kalau kamu membaca sejarah dari bermacam-macam sumber, kemudian kamu tempatkan diri kamu pada posisi netral, kamu akan bisa menyimpulkan bahwa lembaran hitam itu di kalangan sunni cenderung ditutup-tutupi, sementara di kalangan syiah cenderung dilebih-lebihkan."
"Lha motivasinya apa ? .."
"Mungkin saja untuk melanggengkan doktrin masing-masing," sela Paijo.
"Mungkin betul begitu, tapi mungkin juga karena sebab lain," ujar Rakhmat."Kalau hal ini diurai, bisa sangat panjang dan tidak bisa secara sembarangan. Cuman, pelajaran yang bisa diambil, kalau sekarang ini marak tuntutan tentang 'satu Islam', sebenarnya itu ahistoris. Karena sejak generasi sahabat saja Islam sudah nggak 'satu'."
"Aku mau nanya lagi nih, sekarang sama Paijo saja. Jo, kalau menurut kamu, mana yang lebih bener, ya paling tidak lebih deket benernya, Syi'ah atau Sunni ?" tanya Budi.
"Embuh !" jawab Paijo sambil menutupkan bantal ke wajahnya, tiduran.
2 Mei 2002
Selamat datang, sugeng rawuh ..
Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..
Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik" 
Custom Search
Monday, September 1, 2008
Paijo : Satu Islam, Mungkinkah?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment