Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Monday, September 1, 2008

Paijo : Banjir

Anugerah dan bencana
adalah kehendak-Nya
kita mesti tabah menjalani ...

"Uiih, nyanyi lagunya Ebiet .. " potong Dini di tengah asyiknya Paijo menyanyi sambil main gitar.

"Emang kenapa .. nggak boleh ?"

"Boleh sih boleh .. cuman agak aneh, la wong tongkrongannya serem kayak gitu kok nyanyinya lagu lembut," jawab Dini.

"Lagu lembut nggak ada hubungannya sama tongkrongan .. "

"Iya juga sih, tapi dulu kan kamu pernah ngatain tuh anak-anak yang potongannya metal tapi lagunya cengeng abis," kata Dini lagi.

"Lembut sama cengeng beda jauh Nduk !"

"Nduk, enak aja manggil Nduk !" Dini sewot sambil pasang muka galak.

"Lho manggil adiknya Nduk kan biasa .. "

"Iya .. iya .. tapi mbok ya jangan 'nduk', kesannya ndeso banget," Dini sengit.

"We alah, apa sih bedanya Nduk sama honey, atau sweet heart, toh sama-sama panggilan sayang. Heran deh, adikku masih mempersoalkan kulit bukan substansi."

"Pokoknya nggak mau dipanggil nduk ! lagian tuh kamu juga pake kata substansi "

"Ya lain dong .. aku mah nggak ada rasa bangga sama sekali make istilah asing, sekaligus juga nggak pernah minder pake istilah asli Indonesia atau Jawa."

"Emang nggak pernah mau kalah, pokoknya aku nggak mau .. nggak mau .. nggak mau .. titik !" Dini makin sengit.

"Ada apa sih pada ribut ? Kakak-adik kok kalau ngumpul nggak pernah akur," Ibu Paijo yang merasa terganggu menyela.

"Ini lho Bu, si Paijo ini !"

"Hussy .. dia itu kakakmu .. dibilangin berkali-kali, nggak baik manggil kakaknya njangkar begitu !" kata Ibu Paijo.

"Biarin deh Bu, la wong aku sendiri nggak pernah keberatan dipanggil begitu. Yang penting kan tetap sayang sama kakaknya," kata Paijo sambil cengar-cengir.

"Huh, sayang ? enak aja ! sorry lah yaw sayang sama kakak kayak kamu !"

"Yo uwis ! udah deh sono, aku mau nglanjutin nyanyi lagi," kata Paijo sambil mengambil gitarnya.

"Nggak boleh, brisik !"

"Lho lagunya kan lembut .. " Paijo cengar-cengir lagi.

"Pokoknya nggak boleh !" kata Dini sambil melotot dan berkacak pinggang. "Eh, tadi ngomongin soal lembut yang beda jauh ama cengeng, ayo .. pasti itu cuman pembelaan diri kan."

"Ya enggak, itu beneran. Lembut sama cengeng ya jelas sangat beda donk ! Cengeng itu rapuh, nggak ada kekuatan, sedang lembut itu salah satu bentuk kekuatan," jawab Paijo.

"Nggayii ... !"

"Apa itu nggayi ?"

"Uuu .. kuper ! Nggayi itu nggaya banget, pake sok berfilsafat segala."

"Apa aku salah sih ? kan bener kalau kelembutan itu lahir dari kekuatan, ya kekuatan mengendalikan diri, mengendalikan emosi. Jangan terjebak menganggap kekuatan itu hanya dalam bentuk fisik dong, tapi lihat juga kekuatan batin."

"Udah tahu .. nggak usah dikasih tahu lagi !" kata Dini.

"Kalau udah tahu, ngapain tadi aku diprotes ?"

"Pengin protes aja ! Eh, ngomong-ngomong lagu tadi judulnya apa sih ?" tanya Dini.

"Untuk Kita Renungkan .. suka ya, tertarik sama lagunya ?"

"Emm .. nggak terlalu, cuman pengin tahu tumben nyanyiin lagu itu ?"

"Nah kan, bilang aja kalau suka sama lagunya, nggak usah pake gengsi !"

"Aku nggak gengsi kok, emang nggak begitu tertarik !" Dini mulai sengit lagi.

"Ya udah, gitu aja ngeluarin keris .. aku nggak tahu juga sih, kok tiba-tiba pengin nanyi lagu itu. Kali aja karena tiap hari lihat berita soal banjir."

"Oohh .. jadi
lagu tadi dihubungin sama banjir ?" tanya Dini.

"Bisa juga .. kenapa ?"

"Ya nggak nyambung ! Kok lagi-lagi Tuhan dikambing hitamkan. Kan banjir di Jakarta itu bukan melulu disebabkan besarnya curah hujan, tapi juga ada penyebab lain. Tuh, daerah di Bogor yang mestinya dipake buat resapan udah disulap jadi real estate. Jadinya air hujan yang mestinya bisa tertahan oleh area resapan langsung ngeloyor ke Jakarta. Belum lagi kalau ditambah sistem tata kota Jakarta plus kebiasaan buang sampah sembarangan penduduknya," kata Dini.

"He .. he .. pinter juga kamu ya, tumben, tapi .. nggak nyambungnya di mana ?"

"Ya nggak nyambung dong. Masak dibilang kehendak-Nya, trus manusianya cuman disuruh tabah njalani. Kesannya fatalism, jabariyah !"

"Fatalism atau tidak sih .. tergantung !"

"Tergantung apaan, tergantung centelan ?"

"Nah, gitu dong, mbanyol-mbanyol dikit .. jangan cuma galak doang !" Paijo mulai menggoda. "Maksudku tergantung gimana pemahaman kita tentang kehendak-Nya itu tadi. Coba deh, kehendak-Nya kita pahami dalam ruang lingkup yang lebih besar."

"Ruang lingkup yang kayak apa ?"

"Gini .. kehendak-Nya itu jangan dipahami sebagai kehendak Allah thok, tanpa melibatkan unsur manusia dan alam dalam mekanisme sunnatullah," ujar Paijo.

"Nah, mulai kumat ruwetnya. Emang sih nggak ada manusia yang lebih ruwet dari kamu !"

"Din .. Dini .. mbok ya sopan dikit sama kakakmu. Apa nanti kata orang kalau lihat anak gadis nyebut kakaknya koma-kamu koma-kamu .. " Ibu Paijo menyela lagi.

"Biarin aja to Bu .. nggak usah formal-formalan deh .. lebih asyik gini kok, nggak ada sekat-sekat yang brengsek antara kakak-adik !" Paijo coba membela Dini.

"Sak karepmu cah !"

"Aku lanjutin ya Din .. maksudku gini, bukankah Allah sudah menetapkan apa yang disebut dengan sunnatullah. Sunnatullah itu tetap, tidak berubah. Sementara orang menyebut sunnatullah ini dengan hukum sebab-akibat, ada juga yang menyebut hukum alam."

"Trus .. ?" tanya Dini setengah cuek.

"Trus .. sesuai dengan sunnatullah, kalau hutan di dataran yang tinggi dibabat, maka jika hujan air akan terus nyelosor ke area di bawahnya tanpa ada yang bisa menahan."

"Udah tahu, di SD pun udah diajarin," komentar Dini.

"Sebagian besar orang, kalau tidak boleh dibilang semua orang, juga tahu hal itu. Tapi ada sebagian yang tidak mau tahu. Atau lebih tepat lagi tidak peduli pada nasib orang-orang yang tinggal di daerah yang lebih rendah. Repotnya kalau yang tidak mau tahu itu adalah para pemilik modal dan pembuat keputusan. Yang penting real estate berdiri, yang penting uang mengalir ke kantong," kata Paijo dengan nada tinggi.

"Lho kok ngamuknya ke aku ?" kata Dini. "Sono, ngamuk ke DPR sono !"

"Udah .. udah .. wong saudara-saudaranya kena banjir kok malah cuman diributin," Ibu Paijo nimbrung lagi. "Udah, berapa uang yang kalian ada, sumbangkan lewat masjid atau lewat mana saja. Dan, jangan lupa berdoa untuk mereka !"

8 Februari 2002

No comments: