Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Monday, September 1, 2008

Paijo: 1 - 5

Paijo 1 - 5

1

Sore itu Paijo duduk-duduk sambil membaca koran di teras rumah orangtuanya. Sesekali dahinya mengerut, kepalanya dimiringkan ke kiri kanan.

"hmm .. apa lagi ini, gelut nggak abis-abis," gerutunya.

"Jooo.. Paijo."

Bergegas Paijo masuk ke dapur, mendengar panggilan khas ibunya. Setengah melempar ditaruhnya koran di atas meja.

"Ya mami, ananda siap menerima titah," kata Paijo setelah sampai di depan ibunya dengan gayanya yang khas, cengar-cengir.

"Oalah raimu Jo .. Jo .., lha wong mbokmu ini cuma bakul sayur di pasar saja kok kamu panggil mami, ya nggak pantes."

"Lho simbok iki piye to ? Apa hubungannya bakul sayur dengan panggilan mami. Toh sama saja." Paijo mulai keluar ngeyelnya. "Memangnya hanya orang kaya saja yang boleh dipanggil mami sama anaknya. Mau mami, mama, ibu, mbok, apa bedanya. Lha wong sama-sama manggil orang yang melahirkan kita." Makin ngerocos saja si Paijo. "Siapa tho mbok yang boleh mengkapling-kapling panggilan. Itu kan bertentangan dengan prinsip hidup egaliter."

"Embuh Jo, omonganmu bikin mumet. Ndak ngerti aku, sudah ini anterin baju ini sama pakde mu sana. Nanti pakde mu keburu berangkat."

"He .. he.. simbok ini lho. Maunya buru-buru saja. Mbok ya sekali-kali kita diskusi , biar tambah wawasan gitu."

"Jo .. jo, emangnya mbok mu ini siapa, kok disuruh diskusi-diskusi segala. Emangnya kamu pikir kamu juga siapa. Dokter bukan, Insinyur nggak, la wong makan bangku kuliah saja nggak pernah, kok ngomongnya macem-macem. Sudah sana cepetan berangkat."

"Ya ibunda tersayang, Paijo mau berangkat." Kumat cengar-cengirnya. "Tapi sebelum berangkat Paijo mau ngomong dikit lagi nih. Setiap orang itu bebas untuk ngomong. Nggak peduli dia Profesor, dokter, insinyur, tukang becak, bakul sayuran atau apa saja. Lha wong kita sama-sama hidup, masak hanya mereka yang punya titel atau pernah kuliah saja yang boleh ngomong. Perkara bener atau salah itu urusan belakangan. Toh kalau Paijo ngomong salah, kasusnya nggak ada beda sama profesor botak manapun. Emangnya mereka nggak pernah salah."

"Mumet .. mumet. Udah sana berangkat !" Potong ibu Paijo yang tahu kalau dibiarkan anaknya bakalan betah ngerocos berjam-jam.

"He.. he.. inggih mbok." Setelah menerima bungkusan baju , dicium tangan ibunya. Diambilnya kunci kontak dari atas lemari pakaian lantas ngeloyor keluar.

"Assalamu 'alaikum." Salam Paijo.

"Bismillahirahmanirrahim." Digenjotnya sepeda motor butut produksi awal 80-an. "Ngueng .. ngueng .. ngenng." weerr.

---------------------------------------------

2

"Assalamu 'alaikum," teriak Paijo setelah memarkir motornya di halaman rumah pakdenya.

"Wa 'alaikumussalam," sambut Heru, sepupu Paijo, yang sudah berdiri di depan pintu. "Wah, dari jauh aku sudah tahu kalau ada suara motor ribut kayak perang dunia kedua itu pasti Paijo he .. he .. Ayo masuk Jo."

"Matur nuwun, pakde ada mas ?"

"Ada, ayo masuk dulu, ntar aku panggilin bapak."

Tanpa dipersilakan, setelah masuk Paijo langsung duduk di kursi tamu rumah pakdenya. Paijo memang tidak biasa berbasa-basi di rumah pakdenya, boleh dibilang dia adalah keponakan kesayangannya. Pak Santo, pakde Paijo itu, adalah seorang duda, pensiunan guru SMU. Dia tinggal di rumahnya hanya ditemani Heru, anak bungsunya yang masih bujangan. Paijo sering nongol ke rumah pak Santo. Bahkan kalau sedang tidak ada obyekan, pak Santo sering diajaknya keliling kota diboncengin pakai motor bututnya.

Selang beberapa saat pak Santo keluar ditemani Heru.

"Hei Jo, piye kabare. Lama kamu nggak nongol. Pakde udah kangen nih pengin nonjok jidatmu."

"He .. he.., maklum pakde .. orang kerja serabutan kayak saya ini kan nggak bisa atur jadwal kapan ke sana kapan ke sini, nggak kayak mas Heru yang orang kantoran. O ya pakde, ini simbok nyuruh saya nganterin baju. Nggak tahu baju apaan."

"Ini lho Jo, bapakmu kan minggu kemarin pinjem baju, mau dipakai acara resepsi di kalurahan. Mauku sebenarnya ya nggak usah pinjem, biar bapakmu ambil saja. Tapi ya itu, bapakmu nggak mau. Lha wong sama sedulur kok pakai sungkan-sungkan," jelas pak Santo.

"Bukan sungkan kok pakde. Cuma, bapak itu sering ngajari saya soal prinsip. Na, salah satu prinsip bapak itu, bapak nggak mau gampang nerima pemberian orang."

"Lho, aku kan sedulure bapakmu Jo. Apa dianggapnya aku ini orang lain," potong pak Santo.

"Bukan begitu masalahnya pakde. Udah deh, ntar pakde tanya sendiri saja sama bapak kalau ketemu. Ngomong-ngomong jam berapa pakde mau berangkat sore ini ?" Paijo mengalihkan pembicaraan.

"Masih lama kok Jo, acaranya diundur nanti jam 8, sekarang kan baru jam 5. Kita ngobrol-ngobrol dulu saja, nyoh, sambil ngrokok biar nggak dikira orang lagi berantem," ujar pak Santo sambil merogoh rokok kretek dari saku.

"Jo, mau ngopi nggak," kata Heru menawari.

"Nggak usah mas." Jawab Paijo sambil cengar-cengir.

"Nggak usah apa, nggak usah ragu-ragu maksudmu. Wis apal Jo aku karo lagumu," Heru berdiri sambil tidak lupa menonjok pelan jidat sepupunya.

"Jo," kata pakde sambil menghembuskan asap dari rokok kreteknya."Tempo hari cewek anak tetangga sebelah nanyain kamu lho, Jo."

"Walah pakde ini, ada-ada saja," muka Paijo sedikit memerah. Memang kalau urusan cewek si Paijo paling tidak bisa. Disuruh menghadapi preman atau grenduwo macam apapun Paijo bisa gagah berani. Tapi giliran menghadapi cewek, kumat tololnya.

"Bener Jo. Dia nanyain, pakde siapa tuh yang sering ke sini yang motornya berisik banget itu. Ya aku kasih tahu, itu Paijo, keponakanku." cerita pak Santo sambil menikmati kreteknya. "Dia agak kaget lho Jo, dia nanyain lagi Paijo itu nama asli apa bukan." lanjutnya."Ya, nama asli jawabku. Emangnya kenapa kalau namanya Paijo. Dia bilang gini, nggak kenapa-kenapa, cuma orang ganteng begitu kok namanya Paijo, ndeso banget."

Paijo hanya diam. Diambilnya sebatang rokok kretek pak Santo, disulutnya. Diisapnya dalam-dalam, sambil sedikit tengadah dihembuskan asapnya seiring desah panjang nafasnya.

"Begitulah pakde, bangsa kita ini mengidap satu penyakit yang sudah akut," suara Paijo agak pelan.

"Penyakit apa to Jo ?" tanya pak Santo yang melihat air muka Paijo berubah agak serius.

"Inferioritas kompleks," jawab Paijo.

"Cailah, inferioritas kompleks, emang kamu ngerti apa ?"

"Asal nyeplos aja pakde he.. he..," mulai keluar cengar-cengirnya. Setelah diam sejenak Paijo melanjutkan lagi, "Bener pakde, ini serius. Kalau baru soal nama saja kita sudah rendah diri, bagaimana dengan yang lain-lain ? Apa kalau nama kita Robert, Joni, atau Tony, lantas menjadi tidak ndeso ? Perasaan rendah diri ini yang membuat bangsa kita makin nggak punya identitas. Semua yang berbau barat dianggap wah, modern. Semua yang asli dari bangsa ini dianggap kuno,
ndeso. Saya inget dulu pakde, orang suka malu-malu kalau ndengerin musik dangdut. Dianggapnya ndangdut itu musik kampungan. Anehnya setelah ndangdut diterima di luar negeri, orang baru mau ndengerin dan bilang suka sama ndangdut. Padahal itu si Indra Lesmana yang jagoan Jazz, sudah lama tanpa malu-malu menyatakan dirinya suka musik ndangdut. Apa ini bukan penyakit to Pakde."

"Jo, abis makan pisang to kamu ?" tiba-tiba Heru yang muncul sambil membawa tiga cangkir kopi di nampan memotong.

"Nggak, emang kenapa mas ?"

"Kok ngoceh nggak karu-karuan," kata Heru,"Udah ngopi dulu nih, biar lebih hot ngocehnya."

"Matur nuwun mas Heru. Pancen bagus tenan kangmasku iki."

Ketiga bapak, anak dan keponakan itu mulai menyruput kopi dari cangkirnya masing-masing.

"Jo, kamu kok kayaknya anti sama yang dari barat." kata Heru sambil mencomot sebatang kretek bapaknya.

"Siapa bilang mas. Aku nggak pernah anti sama siapapun. Aku cuma ingin meletakkan sesuatu darimanapun dia berasal sesuai proporsinya. Dalam banyak hal, harus diakui barat jauh lebih unggul dari kita, tapi itu bukan lantas berarti semua yang barat itu selalu lebih dari kita," jawab Paijo agak sengit, terbawa hawa panas kopi yang baru disruputnya. "Hubungan antar bangsa, antar suku, pribadi atau apapun mestinya didasari atas kesejajaran. Inferior itu dua sisi
mata uang sama superior. Jika suatu bangsa, suku atau orang sudah punya sikap mental rendah diri, dia pasti juga punya sikap merasa tinggi dan memandang rendah pada yang lainnya lagi. Ini kan sikap mental feodal."

"Ati-ati kalau ngomong Jo, jangan waton njeplak," Heru sengaja memancing Paijo agar makin merdu ngocehnya.

"Waton njeplak gimana ? Apa mas Heru nggak tahu sejak jaman Singosari, Majapahit sampai Mataram itu kan semuanya feodal. Lagian itu Mataram, lha wong ngakunya Islam kok feodal. Itu kan ngapusi, sejak kapan Islam mengajarkan feodalisme," pancingan Heru mulai mengena. "Belanda itu pintar, makanya bisa awet tiga setengah abad menjajah Indonesia. Mereka tahu mentalitas orang kita, kalau raja-raja itu udah dipegang, buntutnya nggak akan lari kemana-mana. Kalau pun ada perlawanan, paling sifatnya reaksioner dan tidak terencana dengan matang."

Paijo berhenti sejenak, dihisap rokok kreteknya dalam-dalam.

"Celakanya Mas," Paijo ngoceh lagi,"Sikap mental feodal ini merasuk kemana-mana. Ke sistem pemerintahan, masyarakat , kantor-kantor swasta, bahkan ke pendidikan. Coba tanya pakde yang guru itu, kalau ada murid berani membantah guru apa yang bakal didapatnya ? Sistem pendidikan kita kan feodal." Paijo melanjutkan lagi,"Temen saya itu mas, yang kerja di pabrik, pernah mengeluhkan atasannya pada saya. Lha wong nyuruh-nyuruh kok hal-hal yang nggak ada hubungannya sama pekerjaan. Suruh beli rokok, ambil minum sampe memarkirkan kendaraan. Tugasnya kan bukan itu," Paijo berhenti sebentar,"Lantas tak saranin aja, ya jangan mau, wong bidang tugas kamu udah jelas ini, ini, ini. Yang di luar itu ya jangan mau nurutin. Apa kata dia, wealah Jo, kalau aku ngikuti saran kamu, kenaikan pangkat atau gajiku bakalan seret. Kayak nggak tahu aja kamu ini. Nah, kayak gitu mas."

"Kamu jangan terlalu mendramatisir Jo, di kantorku nggak kayak gitu," kata Heru.

Pak Santo yang dari tadi diam berkomentar, "Bener kok Ru, apa yang dikatakan Paijo. Waktu masih dines dulu, Pak Marjan, itu si penjaga sekolah pernah mengeluh, kalau ada kegiatan di luar kantor bersama semua guru dan keluarganya, capeknya berlipat-lipat dibanding kalau kerja biasa. Gimana nggak, lha dia bukan hanya harus melayani guru-guru yang mestinya di acara itu sudah bukan lagi atasannya, tapi juga anak-anak, suami atau istri mereka. Wong cuma anak sama istrinya atasan kok maunya diperlakukan sebagai atasan juga. Wis .. wis.. gendeng tenan."

"Na, betul kan Mas," kata Paijo serasa mendapat dukungan.

"Ya uwis, sekarang kamu udah mandi apa belum ?" tanya Heru.

"Belum mas."

"Sana mandi sana. Ambil sendiri itu handuknya di jemuran belakang, nanti habis sholat maghrib tak ajak jajan bakso."

------------------------------------
3

Sehabis makan bakso dengan Heru, Paijo langsung ke rumah orang tuanya. Paijo tidak tinggal dengan orang tuanya. Mahkluk satu ini memang aneh, dia memilih kos di lingkungan kos-kosan yang penghuninya kebanyakan buruh pabrik, anak sekolahan atau mahasiswa. Padahal tempat kosnya itu masih satu kota dengan rumah orang tuanya. "Biar mandiri," begitu jawabnya kalau ditanya alasan kenapa memilih kos.

Sesampai di rumah orangtuanya, Paijo hanya ngobrol sebentar sama orangtua dan adik-adiknya, setelah itu ngeloyor lagi dengan sahabat setianya, si motor butut. Tujuan Paijo kali ini ke halte tempat mangkal para sopir becak kenalannya. Hari ini hari Minggu, begitu pikirnya. Kalau langsung ke tempat kos, paling agak malam temen-temennya datang dari kampungnya masing-masing.

Sampai jam 9 malam Paijo ngobrol sama sopir-sopir becak, untuk kemudian menstarter mesin perang dunia keduanya, lantar tancap ke tempat kosnya. Sesampai di rumah kos, Paijo melihat pintu kamarnya sudah terbuka. Ternyata Rakhmat, teman satu kamarnya sudah datang.

"Assalamu 'alaikum," salam si Paijo,"Mat, udah lama kamu nyampe ?"

"Sudah dari sore tadi Jo, darimana saja kamu kok sampe malem begini ?" tanya si Rakhmat.

"Biasa, dari rumah, trus main ke halte nongkrong sama temen-temen. Sorry ya, ngobrolnya nanti aja aku mau sembahyang dulu," jawab Paijo.

Paijo segera ke sumur ambil wudhu, lantas sholat di mushola yang memang disediakan khusus oleh yang punya rumah. Selesai sholat Paijo ganti pakai kaos oblong dan celana pendek. Tak ketinggalan sarungnya yang dipakai kemulan. Kemudian dia duduk di kursi di depan kamar di sebelah Rakhmat.

"Jo, kamu nggak ke pengajian malem ini ?" tanya Rakhmat.

"Nggak, bosen," jawab Paijo sekenanya.

"Ee ..ee.. mbok ya hati-hati kalau ngomong," tegur Rakhmat yang pernah nyantri di desanya itu, "bisa kualat nanti kamu. Wong pengajian dapet ilmu kok bosen."

"Dapet ilmu apa. Wong pengajian dari dulu gitu-gitu aja. Udah temanya bolak-balik, cara penyajiannya juga monoton," jawab Paijo lagi dengan gaya khasnya cuek sambil cengar-cengir.

"Lho, paling tidak kan akan membuat kita selalu ingat pada Allah. Lagi pula kalau dijalani dengan ikhlas bakal dapat pahala. Malah pilih nongkrong," Rakhmat yang penampilannya 'ngustad' itu menjelaskan.

"Jangan remehkan nongkrong sama tukang becak itu nggak ada manfaatnya," Paijo membela diri,"Dari mereka aku mendapat banyak pelajaran. Pernah nggak kamu mbayangin perjuangan mereka menghidupi anak-istrinya ? Pernah nggak kamu mikir jasa mereka membantu pemerintah menciptakan lapangan kerja sendiri ? Pernah nggak kamu melihat tingginya derajat mereka yang memilih untuk tidak mengemis, merampok di balik status-status terhormat ?"

"Lho, kok sengit," potong Rakhmat.

"Kamu yang mulai." Paijo tambah sengit, "Kau pikir kegiatanku nongkrong nggak ada manfaatnya ? Trus itu pengajian yang kamu bangga-banggakan itu manfaatnya apa ? Apa sudah cukup puas dengan kata-kata ustad, oh ini bernilai ibadah, akan mendapat balasan pahala dari Allah. Itu kan ngajari umat ngeloco."

"Hussh .. saru !", sergah Rakhmat.

"Gundulmu itu yang saru !" kata Paijo lagi,"Perkara saru atau tidak kan tergantung konteks omongannya. Apa kalau denger kata ngeloco yang ada di gundulmu melulu masalah seks ? Emang kamu nggak tahu apa, kalau ngeloco itu bisa juga di bidang sosial, intelektuil atau agama ?" kali ini suara Paijo mulai pelan, nadanya pun agak berat tanda Paijo serius.

"Iya, iya, tapi mbok ya pake istilah lain," Rakhmat mulai kewalahan melayani sahabatnya yang konyol itu.

"Terus pake istilah apa ? Kalau aku ganti pakai onani atau masturbasi apa lantas jadi nggak saru ? Dulu kata asu itu hanya nama binatang. Tapi kemudian diselewengkan buat misuhin orang. Jadinya, orang omong asu jadi jengah, bisa dianggap saru."

"Uwis, sak karepmu. Yang penting kalau ngomong kayak gitu jangan sampe didenger orang lain. Bisa dituduh sempalan kamu," Rakhmat coba mengingatkan.

"Biarin. Sempalan atau bukan itu urusan Tuhan. Nggak ada urusan sama omongan orang," Paijo masih nyerocos. "Budaya keagamaan kita memang budaya monolog. Kita nggak biasa dialog. Kalau ada pendapat yang dianggap nyleneh lantas dicurigai, kemudian dianggap sempalan. Apa ustad-ustad itu waktu nyantri dulu juga kayak gitu. Bisanya cuman ndengerin dari ustad atau kiyainya saja ? Sekarang giliran jadi ustad pun, maunya didengerin melulu, nggak mau ndengerin."

"Lantas bagaimana ?" Rakhmat mulai putus asa mengingatkan Paijo.

"Sesekali kumpulin ustad-ustad itu. Suruh mereka mendengarkan, gantian umat yang ngomong," jawab Paijo.

"Woo .. cah gemblung .."

-------------------------------
4

Malam itu selama perjalanan dari rumah ustad Abdullah, Paijo lebih banyak diam. Waktu sudah hampir tengah malam saat Paijo dan Rakhmat turun dari angkota di depan gang masuk ke rumah kos mereka.

"Kita minum wedang jahe dulu yuk," ajak Rakhmat sembari tanpa menunggu persetujuan Paijo, melangkah ke arah warung wedang jahe yang memang buka sampai subuh.

Sambil menikmati jajanan dan wedang jahe yang masih panas, Paijo menerawang jauh ke langit. Pertemuannya dengan ustad Abdullah benar-benar meninggalkan kesan yang mendalam. Ustad itu, bukan saja mampu menjelaskan ajaran-ajaran dari kitab klasik, tapi juga pandangan ulama-ulama komtemporer tanpa lupa menyelipkan kritik di sana-sini.

"Ngalamun Jo ?" tegur Rakhmat sambil menepuk pundak sahabatnya itu.

"Hmm enggak .. aku sedang memikirkan pertemuan kita dengan ustad Abdullah barusan. Terus-terang, aku malu dengan omonganku kemarin. Jujur kuakui, aku terlalu sembrono," ujar Paijo dengan nada pelan.

"Makanya Jo," kata Rakhmat. "Semalem tu bukannya aku nggak bisa njawab kamu. Tapi tiap tak jelasin selalu saja kamu ngotot. Akhirnya kan jadi nggak karu-karuan, ya males aku. Jujur saja, sebenarnya sengaja aku membawa kamu ke rumah Pak Abdullah itu biar kamu bisa melek, melihat sendiri bahwa apa-apa yang kamu simpulkan itu gegabah, meski aku akui ada kebenarannya juga."

"Para ustad itu sudah bertahun-tahun belajar agama, nggak instan kayak kamu," lanjut Rakhmat. "Kalau di pengajian ustad-ustad ngomongnya yang itu-itu juga, ya wajar. Yang dihadapi kan orang banyak yang rata-rata awam. Mau diajak ngomong tentang Islam yang mendalam, tentang fiqih, tarikh, tasawuf, filsafat, bisa nggak nyambung. Kamu jangan egois, jangan materi pengajian itu harus sesuai keinginan kamu. Kalau pengin yang mendalam nyantri sana atau datang langsung ke rumahnya. Memang sih ada juga ustad yang kayak kamu bilang kemarin, tapi tidak semua. Kamu jangan lantas gebyah uyah seenak udelmu sendiri."

Paijo hanya diam. Dia benar-benar nyahok kali ini.

-------------------------------
5

Persahabatan antara Paijo, Rakhmat dan Budi adalah persahabatan yang indah. Mereka bukanlah anak-anak yang memiliki pemikiran dan latar belakang sosial yang sama. Justru karena perbedaan itulah persahabatan mereka menjadi indah. Tidak ada kamus penyeragaman pendapat bagi mereka bertiga. Setiap kepala boleh memiliki pendapat berbeda-beda, toh setiap orang dewasa akan mempertanggung jawabkan pendapatnya masing-masing. Mereka adalah anak-anak muda yang memiliki toleransi tinggi terhadap perbedaan, sehingga mereka mampu menyelaraskan perbedaan itu menjadi harmoni indah dalam kehidupan sehari-hari mereka yang
tinggal dalam satu kamar kos. Ada satu prinsip yang mereka sepakati bersama, bahwa ketidak setujuan terhadap perilaku atau sikap di antara mereka bebas, bahkan harus diutarakan, dan yang tidak disetujui pun harus menjawab, tidak boleh dipendam. Sikap memendam dalam jangka pendek memang akan mampu menciptakan ketenangan, namun ketenangan yang semu, demikian menurut mereka. Dalam jangka panjang, ia adalah bara dalam sekam yang sewaktu waktu bisa meledak dan menimbulkan ekses yang jauh lebih dahsyat. Bagi mereka lebih baik berantem asal masalahnya bisa diselesaikan dengan baik, daripada saling diam namun menyimpan kedongkolan dalam hati masing-masing. Jika tidak terbiasa berantem dengan argumentasi, biasanya orang akan menyelesaikannya dengan kekerasan. Mereka secara sadar belajar menggunakan kekuatan logika, bukan logika kekuatan. Mereka, tanpa teori dan retorika yang muluk-muluk sudah langsung menerapkan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam penampilan dan cara berpakaian pun mereka jauh berbeda. Paijo yang cenderung urakan, lebih suka nge-jeans dan rambutnya dibiarkan gondrong. Rakhmat, seperti kebanyakan santri, dalam keseharian tampil sederhana dan selalu tidak ketinggalan pecinya. Sedangkan Budi, si mahasiswa yang anak priyayi, selalu tampil necis serta rambut kelimis. Di antara mereka tidak ada saling meledek apalagi merendahkan karena penampilan masing-masing yang berbeda itu. Mereka baru saling mengkritik, jika badan atau pakaian temannya kotor serta menimbulkan aroma tak sedap.

Penampilan hanyalah bentuk luar yang memiliki keabsahan berdasarkan nilai-nilai tersendiri. Penampilan Paijo adalah refleksi dari kultur kota yang relatif bebas, watak pemberontak, ditambah pemahaman agamanya yang cenderung liberal. "Pakaian itu yang penting bersih, tidak berbau apek dan menutup aurat, selebihnya bebas," demikian prinsip Paijo. Sementara penampilan Rakhmat adalah cermin budaya santri, budaya agama yang juga merupakan refleksi atas ketidak goyahannya menghadapi serbuan budaya kota atas nama 'tahayul' modernitas. Sedang penampilan Budi, adalah hasil didikan ketat khas kaum priyayi.

No comments: