Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Monday, September 1, 2008

Paijo: Celoteh Tentang Osama

Lepas maghrib itu Paijo nampak asyik bersenandung dengan diiringi rebana. Dari Thala'al Badru 'alaina sampai kasidah modernnya Nasyida Ria digeber bergantian sekenanya. Yang agak aneh, kadang-kadang ia selipkan potongan lagu pop, dangdut, rock, bahkan gending jawa. Meskipun nyanyian Paijo terasa janggal dan tidak memiliki nilai estetis yang tinggi, namun ada yang cukup menarik dari ulah anak itu. Ekspresi wajahnya berubah-ubah mengikuti lagu yang dibawakan. Ketika menyenandungkan 'Ilaahi lastu lil firdausi ahla', wajahnya nampak mengiba dan penuh penyesalan. Saat sampai pada lagu-lagu riang, wajahnya pun berubah menjadi cerah. Begitupun ketika giliran protesnya Iwan Fals atau pas lagu-lagu rock, ekspresi kemarahan nampak di wajahnya.

Mendadak Paijo menghentikan nyanyian. Tanpa menghiraukan teman-temannya yang pada bengong, Paijo merogoh sesuatu ke dalam tasnya. Dikeluarkannya satu gulungan kertas, kemudian dibuka. Ternyata poster. Dipandanginya sejenak gambar di poster itu sambil cengar-cengir, lantas ditempelkan ke dinding. Teman-teman Paijo nampak tersentak ketika mengetahui gambar siapa yang ditempelkan Paijo. Itulah gambar Osama "The Man of The Year" bin Ladin. Mereka pun mulai pada ribut.

"Jo, kamu tadi habis makan apa ?", tanya Blothong yang sedari tadi mengamati Paijo.

"Emangnya kenapa ?", Paijo balik bertanya.

"Kelakuanmu kali ini kok macem orang gendheng, habis disambet jin ya ?"

"Gendheng atau tidak kan tinggal soal persepsi saja. Bisa saja yang gendheng akan nampak waras jika dipandang dari sudut yang berbeda, begitu juga sebaliknya," jawab Paijo seenaknya sambil meneruskan menabuh rebana.

"Soal persepsi gundulmu. Lha wong nyanyi nggak karuan, kok bilang soal persepsi. Mending kalau enak didenger," kali ini Budi yang menyahuti.

"Lagu enak atau nggak, karuan atau nggak, adalah soal persentuhan batin antara seseorang dengan lagu itu. Aku mau nyanyi lagu kayak apapun, tetap saja akan ada yang bilang nggak enak didengar. Karena memang nggak ada persentuhan batin itu," lagi Paijo berceloteh sambil rengeng-rengeng.

"Dasar wong gendheng, susah diajak ngomong !" Blothong menjadi sengit.

"Kalau tahu aku susah diajak ngomong, ya sudah diem saja, nggak usah ribut !" jawab Paijo tanpa menghentikan tabuhannya. Kali ini malah menjadi, karena kepalanya sudah mulai digeleng-gelengkan sambil matanya merem.

"Jo, wajar dong kalau kita ribut. Habisnya kelakuanmu memang nggak seperti biasanya," Rakhmat coba mendinginkan suasana. "Kamu toh bisa menjawab baik-baik, bisa menjelaskan kenapa kamu nyanyi seperti itu, kenapa tiba-tiba kamu pasang poster Osama."

"Apa penjelasan itu masih perlu, jika vonis 'gendheng' sudah dijatuhkan ?" Paijo bertanya setengah bergumam.

"Maksudmu Blothong ? Ah, kamu Jo. Kamu kan udah hapal gayanya Blothong, masak kamu nuduh dia udah memvonis kamu."

"Nggak, pertanyaanku tadi nggak hanya kutujukan pada Blothong, atau hanya pada kalian. Pertanyaan itu juga suara dari hatiku sendiri. Bukankah begitu banyak vonis sudah menimpa seseorang tanpa orang itu diberi kesempatan untuk menjelaskan ?"

"Ya sudah kalau begitu. Nggak usah muter-muter, langsung saja jawab !" tukas Budi yang agak jengkel juga dengan kelakuan Paijo.

"Aku punya hak sendiri kapan saatnya ngomong dan kapan saatnya diam. Jadi kalau nggak segera kujelaskan itu adalah hakku," jawab Paijo seolah sengaja makin membikin Budi jengkel.

"Udah tho Jo, senang betul kamu bikin jengkel temen !" tukas Rakhmat.

"Ok Guys .. aku jelaskan," Paijo meletakkan rebananya. "Kalian tentu tahu jenis-jenis lagu yang aku nyanyikan tadi. Lagu apa saja coba ?"

"Yo ngerti Jo. Itukan lagu gado-gado kamu uleg jadi satu," jawab Blothong.

"Kalian tahu maksudku menguleg lagu-lagu itu ?" tanya Paijo lagi.

"Ya nggak Jo. Emangnya kita ini dukun yang bisa mbaca isi hati orang," kata Rakhmat.

"Maksudku menguleg lagu-lagu itu ialah aku pengin menunjukkan, terutama pada hatiku sendiri tentang dua sisi dari musik. Sisi universalnya dan sisi primordialnya."

"Jelasnya ?" tanya Rakhmat lagi.

"Jelasnya .. lagu atau musik itu universal sebagai alat untuk mengekspresikan isi hati maupun pikiran orang, di belahan dunia manapun ia berasal. Namun ketika musik sudah melewati suatu proses kreatif dan menjadi satu bentuk atau jenis musik, maka ia berubah menjadi primordial."

"Maksudmu .. sebelum musik itu terbentuk menjadi macem-macem musik itu, ia adalah satu ?" Rakhmat menanggapi.

"Ya, musik akhirnya menjadi banyak jenisnya, karena ia terbentuk dari proses kreatif batin yang berbeda-beda, kultur yang berbeda-beda, bahkan juga ideologi yang berbeda-beda. Tiap jenis musik, ketika lahir ia selalu memiliki konteks tersendiri."

"Jadi, apa lantas kamu mau meramu jenis-jenis yang berbeda itu menjadi satu ?" Budi menyela dengan pertanyaan.

"Ya, nggak. Aku tahu, tadi ketika aku menyanyikan berbagai macam lagu hasilnya pasti nggak enak didengar. Akan lebih enak jika nyanyi kasidah, ya kasidah saja, pop ya pop saja. Saling terpengaruh dari unsur yang berbeda nggak masalah, malah bisa menjadi nilai tambah, tapi kalau lantas diuleg jadi satu, jadinya malah nggak karuan."

"Terus ?"

"Terus .. yang menjengkelkan adalah ketika yang terjadi bukan lagi saling mempengaruhi, namun saling menindas dan menafikkan. Akhirnya, orang pun menetapkan standar-standar, mana musik yang bagus atau layak dan mana yang tidak. Akhirnya ada jenis musik yang terus berkibar namun ada yang terancam punah."

"Itu kan sudah hukum alam Jo," kata Budi.

"Hukum alam atau hukum rimba ? terancam punahnya sebagian jenis musik bukan semata karena faktor musik itu sendiri, tapi juga dilatar belakangi bentuk penindasan yang lain."

"Maksudmu gimana Jo ?" kali ini Rakhmat yang bertanya.

"Maksudku .. bentuk penindasan yang terjadi pada musik itu hanyalah satu ekses dari bentuk penindasan yang lebih hebat. Penindasan di bidang budaya, ideologi bahkan agama."

"Lantas apa hubungannya dengan poster Osama ?" tanya Budi yang bisa mulai menangkap arah pembicaraan Paijo.

"Hmm .. tentang Osama nanti saja, aku mau ngomong dulu soal globalisasi. Kalian tentu tahu, bahwa yang sedang terjadi sebenarnya bukanlah globalisasi, namun westernisasi, bahkan lebih sempit lagi amerikanisasi. Dalam era globalisasi yang digembar-gemborkan itu, yang terjadi sebenarnya hanyalah serbuan Barat lengkap dengan segala nilainya ke dalam belahan dunia yang lain. Serbuan itu akhirnya menimbulkan sikap keterancaman dari tiap-tiap lokal. Dan dari keterancaman akhirnya memicu perlawanan."

"Oh .. aku tahu. Bukankah kamu mau bilang bahwa Osama merupakan simbol perlawanan," kata Budi.

"Betul, tapi hanya salah satu. Artinya masih banyak bentuk maupun simbol-simbol perlawanan yang lain. Dan ini terjadi bukan hanya masa sekarang, tapi sudah ada mungkin sejak dimulainya persentuhan dari satu kelompok masyarakat dengan kelompok yang lain. Dan bentuk perlawanannya pun macem-macem, tergantung bagaimana bentuk ancaman, keterancaman, maupun latar belakan kulturnya. Perlawanan bukan hanya dalam bentuk kekerasan, namun bisa juga dalam bentuk lahirnya budaya baru, pemikiran baru, bahkan bisa juga aliran agama yang baru. Tingkat perlawanannya pun beda-beda, tapi selalu ada kutub ekstremnya."

"Jadi Osama adalah kutub ekstrem model perlawanan terhadap amerika ?" tanya Budi.

"Yah begitulah. Perlawanan terhadap amerika aku yakin, cukup dalam mengendap di hati jutaan manusia. Orang-orang yang saat ini nampak mendukung Osama pun belum tentu menyetujui cara-cara teror seperti yang dituduhkan pada Osama."

"Maksudnya gimana sih ?" Blothong sekarang yang menyela.

"Maksudnya dukungan terhadap Osama lebih karena bersifat emosional. Karena sama-sama muslim, sama-sama merasa ditindas. Di samping itu juga karena tuduhan terhadap Osama belum dibuktikan oleh amerika."

"Kalau kesamaan ideologi ?" Budi bertanya lagi.

"Untuk ukuran indonesia, faktor kesamaan ideologi itu hanya ada pada sebagian kecil orang. Aku tahu betul, banyak temen-temenku yang sekarang mengelu-elukan Osama, ideologinya berbeda jauh dengan Osama."

"Yup, lantas sekarang apa maksudmu menempel poster Osama ?" ganti Rakhmat bertanya.

"Aku hanya ingin mengingatkan diriku sendiri, mengingatkan kita semua. Osama hanyalah simbol yang akan lenyap dan diganti simbol yang lain. Seperti poster itu, tadi belum ada, sekarang nangkring di dinding. Mungkin saja besuk pagi ia sudah menghuni tong sampah. Tapi ruh perlawanan itu selalu hidup. Ia selalu akan muncul jika ada penindasan di semua level kehidupan."

17 Oktober 2001

No comments: