Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Monday, September 1, 2008

Paijo: Puasa Oh Puasa

"Jo, sekali-kali mbok ya kamu ngomong soal puasa," kata Pak Santo pada Paijo sehabis mereka buka puasa bareng di rumah Pak Santo.

"Nggak ah Pakde, lagi males," jawab Paijo sambil menyulut rokok kreteknya.

"Wuih, tumben pake males segala. Biasanya kan kamu paling semangat kalau diajak ngobrol," Heru ikut nimbrung, "Sakit gigi apa ? Atau perlu doping biar bisa lancar ngoceh lagi ?"

"Kan udah banyak tuh yang ngomongin puasa. Di radio ada , di TV, di masjid apa masih kurang ?"

"Kurang sih nggak, Jo. Cuman pengin variasi saja, biar nggak lempeng terus. Siapa tahu kamu bisa ngasih warna yang lain," Heru melanjutkan.

"Enak aja emang aku tukang cat apa, ngasih warna, sorry lah yauw !" kata Paijo sambil menyelonjorkan kaki.

"Gayamu Jo. Udah deh, ntar aku traktir. Mau makan apa ?" Heru coba merayu.

"Nggak ya nggak. Aku mau nyantai, mau menikmati suasana tanpa harus mikir atau ngomong yang macem-macem."

Mereka akhirnya mengalihkan obrolan ke soal lain. Pak Santo dan Heru tahu betul, kalau Paijo sudah nggak mau, percuma saja mendesaknya. Mereka akan coba memancing Paijo di saat yang tepat.

"Jo, tadi teman sekantorku nanya, kalau disuntik waktu puasa itu boleh apa nggak sih ?" tanya Heru setelah ngobrol ngalor-ngidul.

"Puasa kok ... ," tiba-tiba Paijo menghentikan omongannya. "Udah deh, mas Heru nanya sama ustads sana .. enak aja mancing-mancing. Emangnya aku ikan apa ? Sorry ya umpannya nggak kena, wek !" kata Paijo sambil menjulurkan lidahnya.

"Ha .. ha .. Paijo .. Paijo," Pak Santo tertawa melihat ulah keponakannya itu."Makanya biar nggak perlu dipancing-pancing, nongol aja langsung. Dengan gitu kan lebih terhormat."

"Lebih terhormat lagi kalau tetap kukuh, nggak mempan dirayu, dan nggak kena dipancing."

"Dasar cah ngeyel ! Oke .. oke .. kita nggak ngrayu, kita nggak mancing, tapi minta," kata Heru.

"Sebenarnya ada apa sih, kok ngebet banget nyuruh aku ngomong soal puasa. Apa istimewanya ? Ntar kepalaku jadi gede, repot !"

"Ya itung-itung sambil nunggu waktu isya' kan, bisa diisi ngobrol yang bermanfaat soal puasa," kata Pak Santo. "Lagipula, sejak masih kanak-kanak dulu sampai setua ini kok kayaknya nggak ada perubahan yang terlalu berarti selama bulan puasa. Dari dulu yang diomongin itu-itu saja. Nah, dengan ngobrol-ngobrol gini, siapa tahu kita bisa menemukan sisi lain dari puasa, yang jarang kita dapatkan dari mimbar-mimbar."

"Ooo .. bunder .. he .. he .. oche deh, tapi apa yang mau diomongin ?"

"Itu tadi saja, pertanyaan temenku itu," kata Heru.

"Nggak ah, nggak menarik."

"Nggak menariknya di mana Jo ?" tanya Pak Santo.

"Ya nggak menarik, bosen. Mosok ngomong soal 'boleh - nggak boleh' terus. Emangnya urusan agama cuman 'boleh dan nggak boleh' saja."

"Lho .. soal 'boleh dan nggak boleh' kan penting Jo. Kalau nggak ada perkara 'boleh - nggak boleh' kan jadinya kacau, karena nggak ada aturan," sanggah Heru.

"'Boleh - nggak boleh' itu tempatnya di pagar, di batas-batas, bukan di tengah-tengah dan menjadi arus utama. Sesekali nggak masalah ngomongin soal itu, tapi jangan terus-terusan. Apa dalam menjalani hidup kita mesti selalu tolah-toleh dulu, ini boleh apa nggak ya ? gitu terus. Apa nggak ada soal lain yang lebih serius, yang mestinya lebih pantas menyita energi dan perhatian ?"

"Kalau nggak menarik ya udah. Sekarang gini saja, gimana kalau tentang hikmah puasa," akhirnya Heru ngalah.

"Lho kan udah sering orang ceramah soal itu, di buku-buku juga banyak."

"Menurut kamu Jo. Sekali lagi menurut isi gundulmu itu," kata Pak Santo dengan gemas.

Paijo nampak terdiam sambil menghela nafas. Terkesan agak berat dan terpaksa ketika ia akhirnya buka suara, "Puasa itu bulan pengendapan."

"Emangnya air, pakai endap-endapan," sela Heru.

"Kalau jiwa manusia diibaratkan dengan air, maka selama setahun ini air tersebut potensial menjadi keruh. Nah, di bulan puasa inilah air itu diendapkan, sehingga bisa jernih kembali. Dengan diendapkannya air akan jelas kelihatan mana airnya mana kotoran-kotorannya."

"Omonganmu terlalu abstrak Jo," kata Heru lagi.

"Di bulan puasa, manusia diberi kesempatan untuk mengedepankan kembali sisi-sisi kemanusiaannya yang di hari-hari lain mungkin harus rela mengalah, harus menyingkir dan digantikan oleh hal-hal lain, bahkan kadang harus rela direndahkan," Paijo terus nyerocos tanpa mempedulikan Heru. "Ketika orang bicara, berpikir, bertindak, seberapa besar porsi sisi kemanusiaannya diberi tempat, seberapa besar 'baju-baju' mengambil peranan. Manakah yang lebih penting, manusianya atau bajunya ? baju-baju itu bisa bernama Lurah, buruh, juragan, tukang becak, manajer, operator, kiayi, ustad, presiden, pelacur, preman, calo dan sebagainya."

Pak Santo senyam-senyum melihat keponakannya mulai 'ndadi'. Akhirnya bersama Heru mereka memilih membiarkan Paijo 'ngomyang' sambil menyimaknya.

"Ketika juragan memandang buruhnya, lebih besar mana porsinya, memandangnya sebagai manusia atau sekedar sebutir sekrup dari mesin penghasil laba ? Di mana manusia diposisikan, di tempat yang semestinya ataukah di bawah angka-angka ?" Paijo berhenti sejenak sambil menghisap kreteknya.

"Ketika tubuh lemas karena nggak makan dan kurang tidur, itu berlaku secara umum pada jenis manusia yang mana saja nggak peduli apa bajunya. Di sini ada celah, ada kesempatan yang bisa digunakan untuk menyuntik benak kita, ternyata lepas dari apapun baju kita, kita tetap manusia juga sama dengan yang lain. Jika suntikan ini berhasil, akan timbul kesadaran baru, akan timbul rasa malu, bahwa ternyata yang tiap hari kita pegang erat-erat, yang kita perjuangkan mati-matian, yang kita puja-puja, yang membuat kita terkadang memandang rendah orang lain sambil secara bersamaan merasa rendah diri terhadap yang lain, ternyata sekedar 'baju'." Paijo berhenti lagi.

"Jika kesadaran ini timbul secara masif, alangkah indahnya hidup ini. Barangkali tak kan ada lagi pemerasan buruh oleh majikannya. Tak kan ada lagi pemaksaan kehendak dari pihak yang kuat ke pihak yang lebih lemah. Orang akan malu jika mau merampas hak orang lain. Orang tak akan mau lagi main sikut-sikutan dengan sesamanya."

"Jo, udah adzan Jo. Yuk siap-siap," potong Heru.

24 November 2001

No comments: