Ketidakpastian itu sangat tidak mengenakkan. Bahkan dalam taraf tertentu ketidakpastian bisa menjelma menjadi sesuatu yang menyiksa, menyakitkan. Tidaklah mengherankan jika orang berlumba-lumba menggapai "sesuatu" yang bisa dijadikan pegangan kepastian. Kepastian tidak bisa dipisahkan dengan harapan. Kepastian menjanjikan harapan, juga harapan adalah pintu atau jalan menuju kepastian. Jenis dan tingkat harapan serta kepastian pun bermacam-macam. Tergantung apa dan bagaimana latar belakang seseorang.
Pengumuman lowongan pekerjaan adalah harapan kepastian pekerjaan bagi pengangguran. Seorang yang keluar dari gang adalah harapan bagi tukang ojek. Jika isyarat dari orang itu menunjukkan tanda dia akan menggunakan jasanya, maka harapan si tukang ojek bertambah besar. Apalagi jika transaksi serta jasa pelayanan sudah dimulai, itu berarti kepastian mendapat selembar-dua lembar ribuan. Kepastian di tingkat inipun kemudian menjelma menjadi harapan lagi menuju tingkat kepastian yang lebih tinggi. Misalnya, kepastian mampu membayar setoran atau kepastian lancarnya nafkah bagi keluarganya. Bagi orang yang sudah bekerja tetap (formal), harapan akan kepastian mendapat gaji yang cukup akan memberinya motivasi kerja yang luar biasa, meskipun -mungkin- harus bekerja melebihi jam normal. Seorang suami adalah harapan kepastian bagi seorang perempuan, begitu juga sebaliknya. Orang tua adalah harapan dan kepastian bagi anak-anaknya, begitu pula sebaliknya terutama waktu sang anak sudah tumbuh
dewasa.
Harapan akan kepastian bukan hanya monopoli individu, namun juga pada sekelompok orang. Tiap kelompok itu biasanya berbasis pada satu persamaan. Bisa persamaan nasib, persamaan profesi, suku, pola hidup, ideologi, agama, aliran agama, gender dan masih banyak lagi.
Harapan dan kepastian baik dalam skala individu maupun kelompok, adalah sesuatu yang wajar, alamiah dan tidak bisa disalahkan. Begitupun dengan usaha-usaha tiap individu atau kelompok dalam memperoleh harapan dan kepastian. Yang perlu diwaspadai adalah munculnya pola pikir serta budaya paternalistik yang selalu menyertai "pertarungan" (perhatikan tanda kutip) dalam memperoleh harapan dan kepastian itu. Dalam taraf tertentu pola pikir serta budaya paternalistik bisa dimaklumi, namun hal ini juga potensial memunculkan permusuhan dan kekacauan. Budaya paternalistik dalam istilah Jawa dikenal dengan "sapa sira sapa ingsun" (siapa kamu siapa saya). Pola pikir serta budaya seperti ini biasanya menganggap orang atau kelompok diluar kelompoknya sebagai "the others", yang berarti juga adalah saingan bahkan lebih parah lagi diidentikkan sebagai musuh jika "the others" itu sudah dianggap sebagai ancaman terhadap harapan dan kepastian bagi kelompoknya. Bahayanya -tentu saja- hal seperti itu akan dilanjutkan dengan upaya "membunuh" kelompok lain yang dianggap sebagai ancaman itu.
Bagi seorang politikus, jika pola pikir dan budayanya paternalistik, maka menyerang dengan segala cara politikus di luar kelompoknya menjadi hal yang wajar. Jika kelompok itu kelompok agama atau aliran agama, maka menyerang dan menjelekkan agama atau aliran agama lain merupakan menu favorit. Jika dia seorang ideolog atau penganut ideologi tertentu, maka menyerang ideologi dan penganut ideologi lain bisa merupakan kewajiban. Tentu saja, dalam tingkat tertentu saling serang seperti ini tidak mungkin ditiadakan, dan tidak perlu ditiadakan jika masing-masing kelompok berpegang pada etika universal yang disepakati bersama. Namun sangat disayangkan jika saling serang itu sudah mengabaikan etika, antara lain sudah mulai berbau fitnah, atau memberikan gambaran buruk secara ekstrem terhadap "lawan"nya yang bisa dikategorikan sebagai upaya pembunuhan karakter.
"Ngelamun !" bentak Dini yang tiba-tiba muncul.
"Uuuhh si sableng lagi. Nggangguin orang aja!"
"Salah sendiri siang-siang ngelamun di tempat terbuka. Kalau nggak mau diganggu, sono ngelamun di kolong tempat tidur. Aman!"
"Wealah dasar bocah sableng ! Eh, apaan tuh, jeruk ya ? minta atu donk .." kata Paijo yang melihat Dini membawa plastik berisi jeruk.
"Nggak ussyaah ya !"
"Ooo .. udah mentel pelit lagi ! dimintain satu aja nggak boleh."
"Biarin .. wek !" sahut Dini. "Mmm .. ya .. ya .. biar nggak ngambek, nih aku kasih atu. Tapi ada syaratnya.."
"Dasar sableng ! syarat apaan ?"
"Rasain lu, kena batunya. Orang sableng ketemu orang sableng .. hi.. hi..," kata Dini cengar-cengir. "Syaratnya, kasih tahu dulu, tadi ngelamunin apa ?"
"Ooo itu. Aku nggak ngelamun. Masak nggak bisa mbedain ngelamun sama merenung."
"Ah, sama aja !"
"Jelas beda donk !"
"Bedanya dimana ?" tanya Dini dengan gaya sablengnya.
"Bedanya kalau ngelamun itu angan-angan yang nglambrang nggak karuan. Kalau merenung itu otak bekerja buat mikir."
"Ah, bisa aja ! emang mikir apaan sih ?" tanya Dini.
"Aku lagi mikir budaya paternalistik yang subur di tengah masyarakat kita."
"Uuuh, kayak gitu dipikirin. Pikirin tuh, gimana caranya biar dapat kerjaan yang bisa jadi jaminan masa depan. Pikiran juga tuh, gimana caranya aku bisa segera punya kakak ipar .. hi .. hi .."
"Lho, apa salah mikirin hal kayak gitu ?" tanya Paijo.
"Salah sih nggak, cuman kurang kerjaan mikirin sesuatu yang di luar jangkauan !" jawab Dini.
"Terserah gimana kamu nganggepnya. Bagiku sih itu termasuk mikirin masa depan juga. Bukankah dampak negatif dari budaya paternalistik itu balik ke kita-kita juga."
"Kok bisa ?!" tanya Dini.
"Jelas dong. Emang kita nggak repot kalau di tengah jalan lagi ada tawuran anak sekolah. Emang nggak pusing kalau nasib menentukan kita berada di tengah kelompok preman yang berantem ? Belum lagi kalo lihat berita tu, tawuran antar kampung sampe antar suku segala ?"
"Ooo.. begitchu.. lantas apa hubungannya sama budaya paternalistik ?" tanya Dini lagi.
"Sikap paternalistik kan identik dengan solidaritas yang ngawur. Nggak peduli temen itu benar atau salah, yang penting dia dari kelompokku, ya harus dibelain. Masalah pribadi antar dua oknum kelompok bisa melebar ke pertikaian antar kelompok."
"Yaa .. itu mah sudah jamak. Emang kita bisa apa ?" komentar Dini.
"Syukur-syukur kita bisa ikut mencegah, berupaya melempar opini bahwa budaya seperti itu nggak sehat. Lha wong di balik perbedaan-perbedaan antar kelompok itu kan masih banyak persamaan yang lebih universal, kok mau-maunya ngotot menghuni kotak kelompok yang sempit dan sumpek. Toh, waktu dilahirkan semua bayi kondisi dan kebutuhannya sama."
"Kayak gitu kan susah. Bisa dianggap keminter lagi," kata Dini.
"Kalau belum bisa, minimal kita nggak nambah-nambahin jumlah orang yang terjebak dalam budaya seperti itu. Dan itu bisa dimulai dari diri kita sendiri, keluarga, temen dan seterusnya yang masih dalam jangkauan kita."
"Lalu ?"
"Lalu ? .... aku capek. Mana sini jeruknya .. "
23 Maret 2002
Selamat datang, sugeng rawuh ..
Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..
Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik" 
Custom Search
Monday, September 1, 2008
Paijo : Ketidakpastian Dan Budaya Paternalistik
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment