Wanita-Muslimah Yahoogroups.com

RSS to JavaScript

Mbak Rita

Ardi Cahyono

Idiosyncracy

Mas Arcon

Opotumon

Map IP Address
Powered by

Selamat datang, sugeng rawuh ..

Apapun tujuan Anda membuka Blog ini, saya tetap selalu mendoakan semoga hari-hari Anda selalu indah, semoga bahagia selalu menyertai, dan yang penting semoga mbesuk-nya husnul khatimah dan masuk surga, terserah mau surga versi yang mana :-) ..

Catatan: Tidak terima kritik, karena kritik itu artinya "keri tur setitik"

 

Custom Search

Monday, September 1, 2008

Paijo : Anak Nakal

Orang Jawa punya istilah lain untuk menyebut anak nakal. Istilah itu adalah 'mbeling', entah apa padanannya dalam bahasa Indonesia. Mbeling adalah nakal yang tidak melulu dalam konotasi negatif, namun juga positif. Bahkan kalau ditelusuri lebih jauh bisa jadi muatannya hampir seluruhnya positif, karena muatan negatifnya, biasanya disebabkan sekedar ketidak mengertian lingkungan atau orang tua terhadap si anak mbeling. Anak mbeling rata-rata memang punya potensi memberontak terhadap hal-hal yang sudah mapan. Ciri ke-mbeling-an yang lain adalah, si anak biasanya punya sesuatu, menyimpan sesuatu yang sebenarnya sangat berharga jika tersalurkan dengan baik, di balik kelakuannya yang -nampaknya- negatif.

Sebutan 'mbeling' itulah yang mungkin agak pas kalau dialamatkan pada Paijo. Orang akan kecele kalau memasukkan Paijo ke dalam kelompok anak nakal, karena Paijo jauh dari kelakuan nakal yang destruktif, baik dalam skala personal maupun sosial. Namun tidak pas juga untuk menyebutnya anak alim, karena dari sudut pandang budaya tertentu Paijo tergolong anak yang degil dan kurang ajar.

Paijo terbiasa dengan pikirannya yang mandiri, sehingga menakut-nakutinya dengan norma yang sudah berlaku umum di masyarakat, atau membawa-bawa nama orang besar tidak akan membuatnya keder. Bahkan tidak segan-segan Paijo melontarkan kritik pedasnya jika apa yang disodorkan padanya dianggapnya keliru, meskipun hal itu sudah establish dalam masyarakat untuk jangka waktu yang sangat lama atau merupakan buah pikiran orang dengan nama besar. Cara-caranya menyelesaikan suatu masalah pun, terkadang dianggap aneh atau tidak normal.

Salah satu caranya yang dianggap aneh adalah ketika Budi membawa Bowo, saudara sepupunya yang bermasalah ke tempat kos mereka. Bowo adalah anak Pamannya Budi yang tinggal di sebuah kota besar di Jawa. Paman Budi itu seorang yang memiliki status sosial terpandang dalam masyarakatnya, juga dikenal sebagai pemuka agama yang cukup disegani. Sedang Bowo, yang masih duduk di kelas I SMU itu, berkali-kali terlibat tawuran antar sekolahan, bahkan boleh dibilang termasuk pentolannya. Bowo sudah akrab dengan minuman keras, bahkan mulai mencoba obat-obatan terlarang. Beberapa kali Bowo terjaring oleh aparat keamanan. Tentu saja hal itu merupakan pukulan berat yang mencoreng wajah orang tuanya. Karena merasa malu yang luar biasa ditambah rasa tidak sanggup mengatasi masalah anaknya, akhirnya orang tua Bowo memilih 'mengungsikan' anaknya ke rumah orang tua Budi, dengan harapan masalah anaknya tersebut bisa teratasi di lingkungan baru, yang tenang dan jauh dari kebisingan serta kebejatan kota besar.

Budi yang baru pulang kampung dan mengetahui masalah adik sepupunya itu, akhirnya mengajak Bowo ke tempat kosnya. Barangkali dengan suasana di tempat kosnya bisa membantu mengurangi masalahnya. Namun, setelah beberapa hari tinggal di situ Budi justru merasa dongkol. Penyebabnya siapa lagi kalau bukan Paijo. Paijo beberapa hari itu selalu saja mengajak Bowo melakukan hal-hal yang oleh Budi dianggap gawat dan potensial menambah keruwetan masalah Bowo. Puncaknya adalah pada malam Minggu itu, ketika Paijo bersama-sama Blothong dan Rakhmat mengajak Bowo main kartu sampai tengah malam. Permainan kartu itu disertai acara coreng muka pakai arang bagi siapa yang kalah. Bukan hanya sampai di situ, usai main kartu Paijo mengajak Bowo jajan wedang jahe di pinggir jalan, yang memang buka sampai pagi, sambil nyanyi-nyanyi diiringi gitar. Paginya, usai subuh si Bowo langsung nggelosor di tempat tidur, sedangkan Paijo santai merokok sambil minum kopi. Saat itulah Budi menyampaikan protesnya.

"Jo, kamu gila apa ?! kamu tahu kan, aku membawa Bowo ke sini supaya dia punya selingan, biar dia menjadi baik, kok malah kamu ajak gila-gilaan," semprot Budi dengan nada tinggi.

"Biar menjadi baik ? .. ha..ha.. , jadi kamu pikir selama ini Bowo anak nggak baik ?" jawab Paijo dengan cengar-cengir.

"Lho, bukankah aku sudah cerita panjang lebar soal anak itu tempo hari ?!" Budi bertanya dengan nada heran.

"Ya .. dan aku masih inget semuanya. Cuman .. anak nggak baik itu kan menurut kamu, sedang menurutku tidak, Bowo bukan anak nggak baik."

"Kamu jangan muter-muter .. jangan cari-cari alasan buat mbenerin kelakuan kamu !" hardik Budi.

"Aku nggak muter-muter dan nggak nyari-nyari alasan .. memang betul kok, menurutku Bowo bukan anak nggak baik. Dia hanya sedang bermasalah, dan masalah itu tidak melulu berasal dari dirinya sendiri."

"Embuh Jo, aku nggak mau tahu. Pokoknya kalau anak itu tambah mblunat kamu yang tanggung jawab," Budi mulai jengkel.

"Tenang aja Bud .. tiap orang dewasa itu bertanggung jawab penuh akan apa-apa yang dilakukan. Beberapa hari ini, tanpa kamu ketahui, Bowo sudah cerita banyak padaku. Tentang masalahnya, tentang keluarganya, tentang sekolahnya, pokoknya hampir semuanya."

"Terus ?"

"Kesimpulan sementaraku, masalah paling besar bukan berasal dari anak itu. Masalah paling besar itu malahan berasal dari orang tua dan lingkungannya."

"Kamu jangan mbacot sembarangan Jo ! Pamanku itu orang terpandang dalam masyarakat. Agamanya juga baik !" Budi agak tersinggung dengan omongan Paijo.

"Bud .. Bud .. apa kalau sudah terpandang dan baik agamanya itu berarti steril dari kekeliruan ?"

"Maksudmu pamanku keliru ?" tanya Budi.

"Menurut pendapatku .. ya ! Sejak kecil Bowo sudah kehilangan banyak haknya. Pagi sampai siang sekolah, sorenya les, malamnya harus belajar ngaji. Waktu bermain anak itu jadi sangat sempit, itupun masih dibatasi oleh orangtuanya, hanya boleh bermain dengan teman yang direstui saja."

"Lho .. kan nggak ada salahnya Jo ! Setiap orangtua tentu ingin anaknya punya modal yang kuat untuk sukses di kemudian hari ?"

"Itulah yang menurutku keliru ! Aku percaya, setiap orang menginginkan hal-hal yang baik saja bagi anaknya, dan itu didorong oleh rasa kasih sayangnya pada anak. Tapi, dorongan kasih sayang itu secara tidak sadar telah merubah menjadi nafsu menguasai anak, membentuk anak berdasarkan khayalan orangtua tentang anaknya dan masa depan !"

"Kamu ngomong apaan tho Jo ?" kening Budi berkerut.

"Nafsu seperti itu secara tidak sadar juga telah merampas hak anak untuk tumbuh berkembang secara wajar, karena segala sesuatunya sudah di set oleh orang tua," Paijo terus ngerocos.

"Terus ?"

"Jadinya anak tidak punya peluang untuk membentuk dirinya sendiri. Doktrin, norma, aturan dijejal-jejalkan pada anak. Setiap kali anak mencoba bersikap kritis selalu dianggap pembangkangan."

"Terus ?"

"Teras-terus saja .. tak gajhul pisan kowe ! Hal seperti itulah yang menyertai Bowo dari kecil. Kemudian ketika remaja, berada di lingkungan sekolah yang relatif lebih bebas dan terbuka, Bowo mengalami semacam "shock" !"

"Maksudmu piye Jo ?"

"Maksudku .. di lingkungan yang barupun tidak bebas dari tuntutan-tuntutan. Celakanya tuntutan dari lingkungannya yang baru bertolak belakang dengan yang diterima dari keluarganya. Bowo terombang-ambing pada pertentangan dua tuntutan yang bertolak belakang itu. Bowo, yang tidak terbiasa berpikir secara mandiri, kesulitan mengatasi konflik batin yang dialaminya. Akhirnya Bowo memilih bermuka dua. Di rumah dia penuhi tuntutan orang tua, di sekolah dia penuhi tuntutan teman-temannya."

"Lantas apa hubungannya dengan ajakan gila-gilaanmu ?" Budi mulai bisa mencerna.

"Aku hanya membantu Bowo menemukan kegembiraan secara wajar, tanpa tuntutan-tuntutan. Aku telah menyediakan diriku menjadi keranjang untuk menampung uneg-uneg Bowo selama beberapa hari ini. Aku coba membantu Bowo membuka, menggali potensi-potensi yang ada dalam dirinya agar bisa dan terbiasa mengatasi konflik batin secara mandiri."

"Jadi ... ?"

"Jadi ... kita kan teman Bud, masalahmu adalah masalahku juga. Aku akan berusaha membantu dengan atau tanpa kamu minta, meskipun yang kudapat malah semprotan," kata Paijo sambil nyengir.

"Sorry deh Jo, abis kamu suka misterius sih !"

"Ya .. begitulah ! aku bukan psikolog yang bisa memberikan terapi-terapi tertentu. Aku bukan ustad atau kyai yang bisa memberi wejangan dengan dalil-dalil agama. Aku melakukannya dengan caraku sendiri."

2 Maret 2002

No comments: